Penjelasan Prof Zainal Arifin tentang substansi kesehatan ekosistem laut pada webinar #7 FIKP-Unhas

  • Whatsapp
Profil Prof Zainal Arifin (P2O LIPI)

DPRD Makassar

Di Kanada, salmon adalah spesies yang sangat mahal dan unik. Di West Pacific Kanada itu, salmon bukan dibudidaya. Orang Kanada lebih konservatif, lebih suka makan ikan, yang natural daripada budidaya. – Prof. Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc.

 

Read More

PELAKITA.ID – Jelang Dies Natalis Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Unhas yang ke-25, digelar webinar seri 7 terkait aspek ‘Kesehatan Ekosistem Laut’ pada 20 Oktober 2020.  Kegiatan ini dimoderatori oleh Dr Shinta Werorilangi, dosen FIKP, dan dibuka resmi Dekan FIKP, Dr. Ir. St Aisyah Farhum, M.Si.

Ada tiga pembicara. Prof. Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc, yang merupakan Koordinator Penelitian Pencemaran Laut Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI sekaligus Ketua Intergovermental  Oceanoghraphic Comission (OIC-UNESCO) – Western Pacific Region.

Pembicara kedua adalah Awaluddinnoer ‘Wawan’, koordinator program Bentang Laut Kepala Burung Papua) pada Yayasan Konservasi Alam Laut Nusantara (YKAN). Wawan adalah jebolan Universitas Hasanuddin pada Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP.

Yang ketiga adalah Prof. Akbar Tahir, M.Sc, ketua tim peneliti plastik lautan Unhas serta merupakan Guru Besar polusi laut dan ekotoksikologi Departemen Ilmu Kelautan pada FIKP Unhas

Padangan Prof Zainal Arifin

Prof Zainal membawakan topik berjudul Kesehatan Ekosistem Laut: Konsep dan Praktiknya di Indonesia.

Kajian kesehatan ekosistem laut (KEL) merujuk pada dasar Ilmu Ekologi meski relatif baru berkembang pada tahun 90-an. Ekosistem sehat adalah suatu ukuran totalitas tentang performance suatu ekosistem yang dibentuk oleh perilaku komponennya. Demikian pandangan, mantan Kepala P2O LIPI ini.

Menurutnya, kesehatan ekosistem  awalnya sebagai metafora, lebih pada makna filosofis. Sehat adalah suatu ukuran keseluruhan ‘performance’ dari suatu ekosistem yang dibentuk dari perilaku komponen-komponennya.

“Ekosistem yang sehat adalah ekosistem yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan struktur (organisasi) dan fungsi (vigor) dalam rentang waktu menghadapi gangguan ekternal (reselience),” katanya. Kesehatan ekosistem merepresentasikan ‘hasil akhir dari pengelolaan ekosistem’,” katanya.

“Ada pada dimensi ruang, pada tekanan eksternal, bermacam-macam. Bisa pencemaran, bisa fishing pressure,” imbuhnya. Dia juga menyebut bahwa diskursus kesehatan ekosistem sebagian besar adalah lebih ke aspek filosofis sehingga tidak mudah diimplementasikan.

“Namun dalam beberapa dekade terakhir, diskursus terfokus pada kesehatan ekosistem sebagai kajian estetika  dan sebagai tujuan bagi masyarakat (societal goals),” ucapnya.

Terkait kesehatan ekosistem Prof Zainal menyebut juga faktor yang berpengaruh seperti pertambangan penduduk di pulau kecil.

“Itu pressure, jadi defenisi (terkait kesehatan ekosistem) yang kuat sangat tergantung pada perspektif masing-masing stakeholder. Ini karena ini  ditekankan pada lebh aspek manajemennya,” jelasnya. Bagi Prof Zainal, kesehatan ekosistem merepresentasikan output pengelolaan eksostem sejauh ini oleh siapapun.

“Jadi sangat human oriented, in boleh dibilang gabungan, ekologi, sosial bahkan medical. Jadi banyak aspek, engineering juga. Yang dimaksud kesehatan, boleh dibilang, adalah ekosistem yang dapat mempertahankan organisasi, vigor dan resiliensinya,” tambahnya.

Belakangan ini, konsep kesehatan ekologi berkembang seiring perkembangan waktu.Dari aspek yang lebih filosofis yang tak mudah diterapkan ke aspek yang lebih progressif.

“Tahun 90-an mulai terfokuskan bahwa kesehatan ekosistem sebagai kajian estetiik, kesehatan ekosistem sebagai societal goals, harapan dari masyarakat atau stakeholder. Konsep ini diadopsi dari kesehatan ekosistem di terestrial,” ungkapnya sembari menyebut beberapa contoh dari Kanada, dari Ontario dan kampus-kampus dari Amerika yang bertetangga dengan Kanada.

“Ini diadopsi di awal tahun 2000, lalu berkembang hingga 2013 dan diadopsi ke ekosistem laut dan makin kompleks. Ini tantangan bagi kita semua,” ucapnya.

Hal mendasar yang disampaikannya adalah bahwa kesehatan ekosstem telah bergeser dari kesehatan ekosistem yang subyektif dan kualitatif ke obyek dan kuantitatif, pada beragam metode.

“Jadi fokus pada interaksi manusia, lingkungan, perubahan atau kerusakan ekosistem dan kesehatan manusia,” tambahnya.

Pejelasan ini kemudian dielaborasi pada dimensi seperti disebutkan sebelumnya seperti food web, vigorisitas, reselience dan menekankan bahwa pengkajian pada aspek kesehatan ekosistem laut selalu merujuk pada ruang dan waktu.

“Penyebab perubahan, pendorong perubahan, indkatornya bisa mereprestasikan masa lalu, saat ini, dan juga yang akan datang,” ucapnya. Kesehatan ekosistem oleh Okey (peneliti) disebut sebagai ‘Integritas Kesehatn Laut”.

Dia juga memaparkan 8 unsur yang berkelindan dalam dimensi kesehatan ekosistem ini dan memberi contoh bagaimana lingkungan bisa ‘tertolong’ oleh perilaku manusia.

“Indeks kesehatan lingkungan laut Indonesia (IKLI) menggambarkan manfaat laut bagi masyarakat dan status kesehatan laut.  Melihat kontributsi laut  dalam kontek Ekonomi dan Lingkungan, ada 10 tujuan publik (societal goals) dan telah diujicobakan di Bali oleh CI dan rencana di tiga provinci oleh Menkomarves,” jelasnya.

“Di Kanada itu, salmon adalah spesies yang sangat mahal dan unik. Di West Pacific Kanada itu, salmon bukan dibudidaya. Orang Kanada lebih konservatif, lebih suka makan ikan, yang natural daripada budidaya,” sebutnya.

Beberapa bahasan menarik dari Prof Zainal adalah tentang ocean health index, 10 indeks, dengan dimensi mulai dari golas, pangan, perikanan dan budidaya, praktik tradisional, dan produk natural.

Pada paparan ini dia juga menceritakan bagaimana spesies lola di Maluku dari tahun ke tahun, yang terus menurun dan kolaps karena pola sasi yang semakin intens. Tak lagi lama baru dibuka seperti 3-5 tahun tapi belakangan ini hampir setiap tahun diambil.

Jadi, menurut Prof Zainal, ada prinsip dasar yang harus diperhatikan. Pertama, dalam pengelolaan sumberdaya laut ada prinsip dasar, eksploitasi pemanfaatan sumber daya laut yang tdak menyebabkan tangkap lebih. Kalau iya, perlu diperbaiki. Pemanfaatan lola harusnya tidak menyebabkan tangkap lebih.

Prinsip kedua, kegiatan perikanan harus memperhatikan produktivitas, fungsi, dan keanekaragama ekosistem, kesehatan ekosistem, struktur dan fungsi serta resiliensinya.

Berdasarkan hasil kajian lola di Maluku ini Prof Zainal menyebut ada beberapa tekanan pada sumber daya ikan.

“Pola panen seperti lola, pertumbuhan penduduk, sistem perladangan yang menyebabkan sedimentasi dan erosi, limbah rumah tangga dan perubahan iklim,” sebutnya.

Apa yang perlu dilakukan ke depan, menurutnya adalah perlu menggiatkan pengembangan ilmu pengetahuan, tentang reproduksi, mempertahankan sasi, pembatasan panen, perbaikan lingkungan.

Sebelum mengakhiri paparannya Prof Zainal menceritakan bagaimana Jakarta, pesisir dan lautnya dalam tekanan.

“Tekanan dari darat, ada 2050 industri di Jabotetabek, ada 13 sungai, ada tekanan dari laut seperti pelayaran, migas, parwisata, perikanan dan penerimaan kontaminan,” katanya.

“Status ekosistem Teluk Jakarta, trend sangat tinggi kandungan nitorgen fosfatnya, logam beratnya,” ucapnya.

Untuk riset kesehaan ekosstem laut Prof Zainal menyarankan agar peneliti harus paham konsep Kesehatan Ekosistem Laut (KEL) sebelum aplikasi.

“Perlu agenda riset jangka menenagah, pengembangan model statis ke dinamis, infrastruktur riset yang harus mendukung serta adanya jejaring lintas disiplin ilmu,” tambahnya.

“Riset KEL harus dirancang panjang dan menengah, riset harus jadi pemecahan masalah. kalau tidak menyelesaikan masalah di masyarakat, berarti kita tidak bisa memberikan kontribusi yang nyata,” pungkasnya.

Tentang Prof Zainal Arifin

Dr. Ir. Zainal Arifin, M. Sc, adalah peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan merupakan Profesor Riset Bidang Pencemaran Laut sejak 2018. Zainal pernah menjadi Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI.

Dia banyak menyorot dampak industrialisasi, pengembangan kota dan urbanisasi sebagai faktor paling signifikan yang memengaruhi kualitas ekosistem perairan pantai.

Zainal meraih gelar Sarjana Perikanan dari Institut Pertanian Bogor pada 1984 dan meraih gelar Magister Science dari Dalhousie Universitas Kanada pada 1989.

Memulai karir di LIPI pada 1985 dengan bekerja di Balai Penelitian Sumberdaya Laut, Lembaga Oseanografi Nasional LIPI Ambon yang sekarang menjadi Pusat Penelitian Oseanografi Laut Dalam LIPI.

Selanjutnya, ia pindah ke Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Jakarta sejak tahun 2000. Pria yang meraih gelar Doctor of Philosophy dari Simon Fraser University tahun 2000 ini pernah menjabat sebagai Kepala Bidang Sarana Penelitian P2O LIPI (2001-2006.

Lalu mejadi Kepala Bidang Dinamika Laut P2O LIPI (2007-2011), Kepala P2O LIPI (2011-2015), hingga menjadi Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI (2015-sekarang).

Zainal yang diangkat menjadi Peneliti Utama pada 22 Juli 2013 ini telah menghasilkan publikasi sebanyak 70 karya ilmiah. Ia juga aktif dalam berbagai profesi ilmiah.

Antara lain, anggota American Society of Limnology and Oceanography, Ketua Harian Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia (ISOI) tahun 2003-2008.

Prof Zainal adalah peraih Satyalancana Karya Satya X pada 2002, Satyalancana Karya Satya XX tahun 2012, dan Satyalancana Karya Satya XXX pada 2016 dari Presiden RI.

 

Related posts