Lengan kanan berkata, “Hari ini aku telah berusaha. Aku menolong, aku bekerja, aku berjuang. Semoga yang kulakukan mendekatkanku pada-Nya.”
PELAKITA.ID – Mentari perlahan pamit. Senja merangkak menuju peraduannya. Langit memerah, seakan semesta bersiap menyambut ibadah yang suci.
Di sebuah tempat yang sunyi, dalam keheningan, air menetes lembut dari ujung jemari, menyapa tubuh yang letih setelah seharian berjuang.
“Assalamu’alaikum, wahai tangan yang tak kenal lelah,” bisik air. “Aku datang bukan sekadar membasuh, tapi juga menyucikan. Berapa banyak yang telah kau sentuh hari ini? Adakah tangan ini selalu dalam kebaikan?”
Tangan kanan menggenggam tangan kiri, merasakan kesejukan air yang mengalir di sela-sela jari mereka.
“Saudaraku, hari ini kita telah banyak berbuat. Semoga sentuhan ini tidak hanya membersihkan debu dunia, tapi juga noda dosa.”
Tangan kiri mengangguk.
“Bersama, kita memohon agar segala perbuatan kita diterima oleh-Nya.”
Telapak tangan menampung air dengan lembut, membawa kesejukan ke bibir yang sepanjang hari berbicara.
“Mulut, apakah kau ingat setiap kata yang kau ucapkan hari ini?” bisik air.
Mulut terdiam sejenak, lalu bergetar lirih. “Ada kata yang membawa kebaikan, namun mungkin ada pula yang melukai. Biarlah air ini membasuh, agar esok aku hanya berkata yang benar dan bermanfaat.”
Setetes demi setetes, air menyentuh wajah, membasuhnya dengan kelembutan. Wajah yang seharian memancarkan berbagai ekspresi kini beristirahat dalam sejuknya basuhan suci.
“Wajah, apa yang telah kau lihat hari ini?” tanya air.
Wajah menghela napas. “Ada pandangan yang baik, ada pula yang sia-sia. Semoga air ini menghapus segala kealpaan, agar aku hanya melihat dengan hati yang bersih.”
Air mengalir ke lengan, menyapu jejak kelelahan.
Lengan kanan berkata, “Hari ini aku telah berusaha. Aku menolong, aku bekerja, aku berjuang. Semoga yang kulakukan mendekatkanku pada-Nya.”
Lengan kiri menyahut, “Dan semoga air ini tak hanya membersihkan, tapi juga mengingatkan, bahwa segala daya berasal dari-Nya.”
Lalu air mencapai kepala, menyentuhnya dengan lembut.
“Wahai akal, betapa banyak yang telah kau pikirkan. Sebelum berbicara, ingatlah pesan dan simbol air ini (H₂O): gunakan dua kali (H)ati sebelum (O)tak berkata,” bisik air penuh kasih.
Kepala mengangguk. “Benar. Semoga dengan usapan ini, pikiranku tetap jernih, dan setiap keputusan yang kuambil bernilai kebaikan dari bisikan hati.”
Telinga pun tak luput dari sapaan air.
“Berapa banyak suara yang kau dengar hari ini?” tanya air.
Telinga termenung. “Ada lantunan ayat, ada juga bisikan dunia. Ya Allah, bimbinglah aku agar hanya mendengar yang mendekatkanku pada-Mu.”
Akhirnya, air mengalir ke kaki. Jemari tangan memijat jemari kaki dengan penuh syukur.
“Terima kasih, wahai kaki. Engkau telah membawaku ke tempat-tempat yang baik. Engkau letih, tapi tak mengeluh. Semoga setiap langkahmu selalu dalam ridha-Nya.”
Dalam keheningan yang penuh makna, bibir pun bergetar, melantunkan doa dengan hati yang lapang:
“Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaAllah dan Rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang suci. Maha Suci Engkau, ya Allah, segala pujian untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, dan aku meminta ampunan serta bertaubat kepada-Mu.”
Air mengalir pergi, kembali kepada takdirnya. Dan kini, tubuh dan jiwa telah bersih, hati pun tenang.
“Wallâhu a‘lam… Ya Allah, kini hamba siap menghadap pada-Mu.”
(Moel’S15032025)