Ia adalah bukti syukur atas rezeki yang dititipkan Allah, yang hakikatnya bukan milik mutlak seseorang, tetapi ada bagian yang harus sampai kepada mereka yang membutuhkan.
PELAKITA.ID – Di balik kata “zakat” tersembunyi makna yang dalam, jauh lebih luas dari sekadar kewajiban materi. Dalam bahasa Arab, ia berasal dari akar kata yang berarti penyucian, pertumbuhan, dan keberkahan.
Sebuah kata yang bukan sekadar tentang memberi, tetapi tentang memurnikan, bukan hanya tentang berbagi, tetapi juga tentang bertumbuh.
Zakat adalah hembusan kesejukan bagi hati yang sering terjerat oleh dunia. Ia membersihkan harta, menyucikan jiwa, dan menghadirkan keberkahan dalam kehidupan.
Sebagaimana tanah yang menjadi subur setelah dibersihkan dari gulma, demikian pula harta yang dikeluarkan zakatnya—ia tidak berkurang, tetapi justru tumbuh dalam keikhlasan dan manfaat.
Lebih dari sekadar hitungan angka atau perintah rutin, zakat adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri.
Ia adalah bukti syukur atas rezeki yang dititipkan Allah, yang hakikatnya bukan milik mutlak seseorang, tetapi ada bagian yang harus sampai kepada mereka yang membutuhkan.
Dari setiap zakat yang disalurkan ada doa yang tersampaikan, ada tangan yang terulur, ada duka yang berkurang.
Di dalam ajaran Islam, zakat tidak hanya menjadi kewajiban, tetapi juga janji akan keberlimpahan. Allah menjanjikan bahwa setiap harta yang dikeluarkan di jalan-Nya tidak akan sia-sia.
Seperti mata air yang terus mengalir dan menyuburkan tanah di sekitarnya, zakat menghidupkan kehidupan, menciptakan keseimbangan, dan meratakan keadilan sosial.
Firman-Nya dalam Al-Qur’an mengingatkan bahwa dengan zakat, seorang hamba tidak hanya membersihkan hartanya, tetapi juga membersihkan dirinya dari sifat kikir dan ketamakan. Dalam keikhlasan memberi, ada ketenangan yang tak bisa diukur dengan dunia.
Karena sejatinya, dalam memberi, kita sedang menerima—menerima ketenangan, keberkahan, dan kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Zakat bukan hanya ritual, melainkan manifestasi nyata dari ketundukan kepada Allah dan kepedulian terhadap sesama.
Ia berdiri sejajar dengan syahadat, salat, puasa, dan haji, menandakan bahwa keberislaman seseorang tidak hanya diukur dari ibadah vertikalnya kepada Allah, tetapi juga dari kontribusinya terhadap masyarakat. Sejak zaman Rasulullah, zakat telah menjadi instrumen penting dalam menanggulangi kemiskinan dan menciptakan pemerataan kesejahteraan.
Mengapa Zakat Penting?
Bayangkan sebuah umat yang anggotanya saling peduli, di mana yang kuat mengangkat yang lemah, di mana kemiskinan bukanlah kutukan permanen, tetapi tantangan yang bisa diselesaikan dengan kebersamaan.
Inilah hakikat zakat. Dalam Islam, kekayaan bukanlah milik individu semata, melainkan titipan Allah yang di dalamnya terdapat hak orang lain.
Al-Qur’an mengingatkan:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:وَفِيْۤ اَمْوَا لِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَا لْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta.”
(QS. Az-Zariyat 51: Ayat 19)
Artinya, dalam setiap harta yang kita miliki, ada bagian yang bukan milik kita, melainkan milik mereka yang membutuhkan.
Menahan zakat sama saja dengan menyimpan hak orang lain, dan dalam sejarah, ketidaktaatan dalam zakat sering kali berujung pada bencana sosial, meningkatnya kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi.
Zakat dalam Angka: Realitas dan Tantangannya
Secara teori, jika seluruh Muslim di dunia membayar zakat sesuai ketentuan syariat, kemiskinan bisa berkurang secara drastis.
Menurut studi dari Bank Dunia dan BAZNAS, potensi zakat di Indonesia saja mencapai Rp327,6 triliun per tahun. Namun, pada 2023, total zakat yang berhasil dikumpulkan hanya sekitar Rp30 triliun atau kurang dari 10% dari potensinya.
Angka ini mencerminkan dua tantangan besar, kurangnya kesadaran umat dalam menunaikan zakat, terutama zakat maal dan zakat penghasilan serta belum optimalnya pengelolaan zakat, baik dalam penghimpunan maupun distribusi.
Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa zakat yang dikelola dengan baik mampu menciptakan keadilan sosial.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat begitu efektif hingga nyaris tidak ditemukan lagi orang miskin yang berhak menerima zakat. Umat Islam saat itu tidak hanya sekadar memberi, tetapi juga memastikan bahwa penerima zakat diberdayakan hingga mandiri.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Agar zakat bisa menjadi motor penggerak kemajuan umat, beberapa langkah perlu diambil, meningkatkan literasi zakat, baik melalui dakwah maupun edukasi di media digital agar lebih banyak Muslim memahami kewajiban ini.
Lalu memperbaiki sistem penghimpunan dan distribusi, dengan memanfaatkan teknologi seperti fintech zakat, dompet digital, dan sistem blockchain untuk transparansi pengelolaan.
Selanjutnta, mengubah pola distribusi dari konsumtif ke produktif, dengan memberikan modal usaha bagi fakir miskin agar mereka tidak selamanya menjadi mustahik (penerima zakat), tetapi bisa naik kelas menjadi muzakki (pemberi zakat).
Terkahir, mendorong kebijakan pemerintah untuk menjadikan zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan yang terintegrasi dengan kebijakan fiskal dan perpajakan.
Pelajaran Berharga dari Zakat
Zakat mengajarkan bahwa kesejahteraan bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa besar yang kita bagi. Ia menanamkan keikhlasan, mengikis keserakahan, dan memperkuat solidaritas.
Dalam dunia yang semakin individualistis, zakat hadir sebagai pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukanlah dalam menumpuk harta, tetapi dalam berbagi keberkahan.
Jika zakat benar-benar diamalkan dengan kesadaran penuh, maka ia bukan sekadar ibadah, tetapi sebuah revolusi sosial—sebuah sistem yang mampu mengangkat derajat umat, menutup kesenjangan, dan menciptakan peradaban Islam yang kuat, mandiri, dan penuh keberkahan.
Wallahu A’lamu Bissawaab.
-Moel’S@22032025-