Penanganan sampah Makassar, sebelum sapi dan kambing jadi solusi sampah organik

  • Whatsapp
Para pembicara di lokasi TPA Antang (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Belum masifnya inovasi pengelolaan sampah baru dan gerakan atas rendahnya kepedulian masyarakat untuk pilah sampah dari rumah, menjadi luapan diskusi Jurnal Warung Kopi Seri ke-5, di kedai kopi desKopidi, Antang, Minggu (12/6/2022).

Dari Sarekat Hijau Indonesia (SHI) turut hadir langsung, Ade Indriani Zuchri, selaku Ketua Umum Pengurus Pusat SHI bersama Co-Direction of WastePlant Australia, Dr. Andrew Hayim de Vries.

Perbicaraan dari pagi hingga siang hari, Andrew menawarkan sebuah solusi pengelolaan sampah yang ia sebut sebagai ‘low technology’ dalam sebuah diskusi terbuka yang mengangkat tema “Bagaimana harusnya sampah diperlakukan?”

Hadir Direktur Bank Sampah Sektor Manggala, Mohammad Saleh, yang juga menyoroti sampah organik.

“Pengelolaan sampah di kota Makassar sudah memiliki sistem yang cukup baik hanya saja masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam melakukan pemilahan sampah organik dan sampah non organic,” ujarnya.

Hal ini tentu berpengaruh terhadap pengelolaan sampah. “Yang harusnya bisa jadi 2 bulan bisa memakan waktu hingga empat bulan karena tidak ada pemilahan yang baik antara sampah organik dan sampah non organik. Perlambatan seperti ini juga terjadi dikarenakan cuaca,” tandas Founder Manggala Tanpa Sekat (MTS), Mashud Azikin.

Oleh karena itu, menurut Mashud, sampah akan terorganisisr dengan baik jika kita mulai penyadaran dari tingkat yang paling kecil yakni tingkat RW.

Para peserta diskusi Jurnal Warung Kopi Seri ke-5, di kedai kopi desKopidi, Antang (dok: istimewa)

Melalui Ade yang merangkap sebagai penerjemah Dr. Andrew, menyampaikan bahwa setelah kunjungan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) kita harus berpikir jangan hanya tahu membuang tanpa pengelolaan sebab akan berpangkal pada kekurangan lahan.

Hal itu juga dipertegas oleh Mashud Azikin “6 bulan yang lalu saat launching MTS belum ada gunungan sampah yang satu itu, kami juga kaget,” akunya. Hal ini menjadi tanda bahwa belum ada penanganan sampah secara signifikan.

Menurut Ade, sampah organik masih menjadi penyumpang terbesar dibandingkan dengan sampah non organik yang secara penanganan sudah terbantu dengan adanya pemulung. Lalu dengan sedikit guyon, “Akankah suatu saat sapi dan kambing akan menjadi solusi sampah organik.”

Diskusi kali ini telah sampai pada sebuah simpulan bahwa 70 persen sampah organik  tersebut akan dijadikan bahan dasar dalam pembuatan pupuk kompos. Dengan menggunakan ‘low tech’ yang hanya memakan waktu kisaran 6 minggu.

Proses pupuk kompos yang dihasilkan yang nantinya akan dipasok kepada para petani, tentunya dengan harga yang berbeda jika mendapatkan bahan organik dari luar.

 

Penulis: Wahyuddin Junus
Editor: Kamaruddin Azis

Related posts