Penjelasan Menteri Trenggono terkait urgensi penguatan kelembagaan Penataan Ruang Laut pasca UUCK dan PP 21/2021

  • Whatsapp
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memandang perlunya penguatan kelembagaan penataan ruang laut (dok: KKP)

DPRD Makassar

“Diharapkan organisasi dan kelembagaan penataan ruang laut semakin dikuatkan sesuai dengan implikasi tugas dan tanggungjawab penyelenggaraan penataan ruang laut pasca UU Cipta Kerja.”  MKP Sakti Wahyu Trenggono

PELAKITA.ID – Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono baru-baru ini menyelenggarakan dialog- daring terkait penataan ruang laut yang diikuti lebih 250 partisipan.

Read More

Dialog dipandu Dyah Erowati, Asisten Khusus MKP Bidang Planologi Laut  serta mengundang pembicara dari Kedeputian Kemaritiman dan Investasi Sekretariat Kabinet RI.

Hadir pula Kedeputian Koordinator Sumberdaya Maritim Kemenko Marves, Kedeputian Bidang Pengembangan Regional Bappenas, Inspektorat Jenderal KKP, pakar hukum tata ruang dari Unpad Bandung, Pakar Planologi dari ITB-Bandung dan ITS-Surabaya, dan pakar manajemen sumberdaya dari IPB-Bogor.

Dalam dialog tersebut Menteri Trenggono menegaskan bahwa pihaknya sesuai dengan amanat UU No 32 tahun 2014 tentang Kelautan dan UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki peran yang amat strategis dalam memadukan kebijakan dan program pembangunan bidang kelautan,

Pemaduan tersebut dimanifestasikan ke suatu kebijakan rencana tata ruang pesisir dan laut yang selaras, serasi, dan seimbang.

Hal itu dipertegas dengan lahirnya UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang memberi tugas dan tanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang laut, yang mencakup perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang laut.

Menurut Menteri Trenggono, penyelenggaraan penataan ruang laut diharapkan menghasilkan penyederhanaan rencana tata ruang laut yang terintegrasi secara utuh dengan rencana tata ruang darat yang ditetapkan kedalam satu peraturan penetapan.

“Dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola pembangunan darat dan laut yang selaras-serasi-dan seimbang untuk mendukung percepatan investasi dan penciptaan lapangan kerja,” sebutnya pekan ini. 

Menurutmya, pemanfaatan ruang laut harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip ekonomi biru (Blue Economy), karena laut merupakan tempat penghidupan, sumber bahan pangan, aktualisasi budaya, dan penopang perekonomian bangsa, baik pada saat ini maupun di masa yang akan datang.

Selain itu, penguatan kewenangan MKP dalam penyelenggaraan penataan ruang Laut mulai dari proses perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan ruang laut, pengawasan penataan ruang laut hingga pembinaan penataan ruang Laut memiliki konsekuensi hukum yang sangat kuat, tegasnya.

Berdasarkan Teori Hukum Pembangunan oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, L.LM, Hukum (Rencana Tata Ruang Laut) merupakan “Panglima Tertinggi” yang berdiri di depan dan menjadi dasar kebijakan penataan ruang laut secara keseluruhan.

Bagi MKP Trenggono hal tersebut penting, karena Rencana Tata Ruang Laut memiliki kedudukan yang mendasar sebagai dokumen hukum dan cerminan kebijakan pengelolaan ruang laut yang berperan untuk memberikan ketertiban penggunaan ruang, kepastian hukum dan keadilan serta optimalisasi kepentingan ekonomi dan lingkungan.

Relevan

Apa yang dipaparkan Menteri Trenggono di atas relevan dengan urgensi perluasan kewenangan MKP dengan memberi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) di seluruh wilayah Laut termasuk yang sebelumnya merupakan kewenangan Kementerian/Lembaga lain atau Gubernur.

Disebutkan Trenggono bahwa penguatan kewenangan KKP dalam penataan ruang laut ini menjadi semakin penting dan menegaskan urgensi Tata Ruang Laut sebagai pilar utama peningkatan kontribusi sektor Kelautan dan Perikanan dalam perekonomian nasional.

“Salah satunya mendukung perolehan Pendapatan Negara Bukan Pajak melalui Pemberian Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau PKKPRL,” sebutnya.

Potensi perolehan Pendapatan Negera Bukan Pajak (PNBP), dapat dicapai sekitar Rp 30 triliun dari pemberian PKKPRL untuk pemanfaatan 70 persen dari zona peruntukan perikanan budidaya di provinsi menurut peta rencana alokasi ruang dalam Perda RZWP-3-K.

Sementara itu, lanjut Trrenggono, estimasi perolehan nilai PNBP dicapai sekitar Rp 5 triliun hanya dari pemanfaatan 0,2 persen luas perairan pesisir di pantura Pulau Jawa saja.

Karena pertimbangan itulah, KKP menaruh perhatian terhadap penataan ruang laut ke depan menjadi semakin prioritas bagi KKP mengingat kedudukannya menurut PP No 5 tahun 2021.

“Sebagai acuan dalam proses perizinan berusaha dan sekaligus menjadi sumber penarikan PNBP dari pemberian PKKPRL,” tegasnya.

Lebih jauh lagi, potensi sumber daya alam laut yang megabiodiversity merupakan potensi ekonomi yang besar dan mengundang investor untuk memanfaatkannya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri yang harus dikelola sebagai  PNBP.

Lalu aspek mana saja yang memiliki poptensi untuk perolehan PNBP ini?

Trenggono menyebut mulai dari perencanaan ruang laut, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil terluar, pengembangan jasa kelautan (wisata bahari, BMKT, reklamasi, pasir laut) hingga kepada pemanfaatan kawasan konservasi untuk berbagai kegiatan yang ramah lingkungan.

Dari rapid assesment PNBP dari penataan ruang laut hingga tahun 2024 dapat mencapai paling sedikit 5 trilliun dan dapat lebih dengan catatan jika Revisi PP PNBP segera disahkan.

Penataan ruang

Pasca UUCK dan PP 21/2021, tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan Penataan Ruang Laut saat ini semakin kompleks dan harus menjadi prioritas utama, namun menghadapi fenomena “Wooden Bucket Problem” (WBP), dimana kapasitas kelembagaan yang tidak sebanding dengan tugas dan tanggung jawab yang diemban.

Menteri Trenggono saat menemui nelayan (dok: KKP)

“Diharapkan organisasi dan kelembagaan penataan ruang laut semakin dikuatkan sesuai dengan implikasi tugas dan tanggungjawab penelenggaraan penataan ruang laut pasca UU Cipta Kerja,” harapnya.

Menteri Trenggono memandang bahwa kelembagaan penataan ruang yang ada (level Eselon 2) belum mampu mengakomodasi semua langkah tugas dan fungsi penyelenggaraan penataan ruang sebagai amanat UUCK sehingga perlu dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan sesuai dengan beban kerja ke depan.

Sebagai perbandingan, di kementerian ATR/BPN, tugas Penyelenggaraan Penataan Ruang dibebankan kepada 2 (dua) lembaga setingkat Eselon 1, yaitu Ditjen Penataan Ruang dan Ditjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang.

“Ketidaksetaraan kelembagaan dengan kementerian dan lembaga lain yang menangani penataan ruang menyebabkan proses koordinasi dan/atau negosiasi untuk menyeimbangkan kepentingan penataan ruang laut dan daratan menjadi terhambat,” jelas Trenggono.

Lebih jauh lagi, tambah Trenggono, kompleksitas masalah penataan ruang laut sangat dipengaruhi oleh karakteristik ruang laut yang sangat berbeda dengan karakteristik pada ruang darat sehingga menyebabkan proses dan substansi dalam tata ruang laut berbeda dan lebih rumit dibandingkan substansi tata ruang daratan.

Kompleksitas masalah yang terjadi juga dipengaruhi oleh banyaknya stakeholder yang memanfaatkan ruang laut secara bersama pada ruang laut karena prinsip open space dan common property sehingga memicu tingginya konflik pemanfaatan ruang pada ruang laut jika dibandingkan konflik yang ada di darat.

Pelaksanaan penataan ruang laut yang dibebankan kepada lembaga yang kecil setara Eselon 2, akan dihadapkan kepada banyak kendala yang berhubungan dengan penetapan sasaran program penataan ruang laut utama (strategis), penunjang, indikator kinerja, penganggaran, infrastruktur manajemen, dan staffing secara memadai dan proporsional sesuai dengan spektrum tugas/kewenangan KKP dalam penyelenggaran penataan ruang laut.

Jadi jelas, ke depan, KKP akan semakin memprioritaskan penataan ruang laut mengingat kedudukannya menurut PP No.5/2021 adalah sebagai acuan dalam proses perizinan berusaha dan sekaligus menjadi sumber penarikan PNBP dari pemberian PKKPRL dan organisasi dan kelembagaan penataan ruang laut akan semakin dikuatkan sesuai dengan implikasi tugas dan tanggungjawab penelenggaraan penataan ruang laut pasca UU Cipta kerja.

Secara konkret, peningkatan kelembagaan setara Eselon 1 adalah opsi yang terbaik dalam menghadapi kondisi saat ini dan kompleksitas masalah di masa mendatang sehingga tidak terjadi Fenomena Wooden Bucket Problem atau kapasitas tata kelola yang terlalu kecil yang tidak sesuai dengan hasil atau output yang diharapkan sesuai perannya yang diatur dalam UUCK.

Selain itu, peningkatan kelembagaan dari Eselon 2 menjadi Eselon 1 akan dapat  mengimbangi kedudukan dan fungsi lembaga penataan ruang darat pada Kementerian ATR/BPN sehingga terjadi keseimbagan, keselarasan, dan kesetaraan dalam koordinasi dan dalam proses pengambilan keputusan integrasi rencana tata ruang darat dan laut.

KKP ke depan akan segera mendetilkan dan menginventarisasi pekerjaan apa saja dalam penataan ruang laut nantinya pasca UUCK dan PP 21, agar tidak ada benturan dengan K/L lain dimana ada banyak pengalihan kewenangan pengeglolaan ruang laut dari KL tertentu ke KKP berdasarkan payung UUCK.

Indonesia timur kaya sumber daya alam, laut dan ikan yang perlu ditata ruangnya (dok: istimewa)

KKP juga akan segera menyusun bank data kewenangan pengelolaan apa saja yang ada di ruang laut di KKP dan KL lain, dan tanggungjawab apa saja yang sudah dan belum didelegasikan atau dialihkan kewenangannya dari KL lain seperti dari Kementerian LHK.

Selain itu, KKP dalam penyelenggaraan penataan ruang akan memasukkan solusi terhadap dampak linguingan atau ekosistem dari peningkatan kewenangan pengelolaan ruang laut, dan diarahkan lebih adaptif di setiap program pelaksanaan pengelolaan ruang laut, misalnya restorasi ekosistem, pembangunan pulau kecil dan lainnya.

Prinsip Blue Economy merupakan landasan utama dalam penataan ruang laut.

Penerapan prinsip ekonomi biru secara praktis dalam penataan ruang laut ke depan akan terus kita upayakan, mengingat tujuan pelestarian ekosistem pesisir dan laut perlu disejajarkan kepentingannya dengan tujuan perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Tantangan yang kita hadapi untuk mewujudkan harapan ideal dari blue economy masih banyak yang belum dapat kita tangani, seperti eksploitasi sumberdaya laut secara intensif tanpa limbah, diversifikasi produk-produk turunan dari perikanan untuk penciptaan nilai tambah dan kesempatan kerja, dan pemanfaatan kearifan lokal dalam proses produksi untuk meminimalkan bahan impor.

Selain itu, penerapan blue economy juga perlu kejelasan tolok ukur keberhasilannya sehingga sumberdaya yang kita manfaatkan dalam upaya penerapan prinsip blue economy dapat diketahui keberhasilannya secara efektif, obyektif, dan transparan.

Yang terakhir, penataan ruang laut tidak bisa menggunakan cara lama dan semua stakeholder harus patuh sesuai amanat UUCK dan PP 21 tahun 2021.

“Untuk itu, saat ini, penguatan organisasi dan kelembagaan penataan ruang laut merupakan langkah yang urgen dan tepat sehingga KKP melalui Penataan Ruang Laut benar-benar mampu menjadi Panglima dalam pengelolaan ruang laut,” kunci Menteri Trenggono.

Sumber: KKP

 

Related posts