SOSBOFI Berbagi Inspirasi Seri 7: Kisah Maudy menyuluh KB di Kota Makassar, dari Alokon hingga ide pil untuk pria

  • Whatsapp
Narasumber, penanggap dan peserta webinar SOSBOFI Berbagi Inspirasi Seri 7 dalam satu frame (dok: K. Azis)

DPRD Makassar

“Sekarang cenderung ke perempuan, selama ini pria hanya dikaitkan dengan kondom dan vasektomi. Jadi ada kecenderungan KB itu urusan perempuan. Nah, siapakah yang bisa memulai alat ini untuk pria? Pil untuk pria?”

Maudy Savitri, Penyuluh KB Ahli Madya Pemkot Makassar.

Read More

 

PELAKITA.ID – Saat karib SMA di pengujung 1989 berjibaku memasuki gerbang perguruan tinggi, gadis Maudy kepincut mendaftar pegawai negeri di tahun yang sama. Saat temannya diterima di kampus-kampus tenar seperti ITB, UI, UGM, Unhas hingga keluar negeri, Maudy percaya diri dengan menjadi penyuluh Keluarga Berencana.

“Tahun 1989 saya sudah pegawai negeri sipil, SK dapat tahun 90,” katanya saat menjadi pembicara pada SOSBOFI Berbagi Inspirasi Seri 7 bertema Partisipasi Pasangan di Balik Keberhasilan Program Keluaga Berencana yang digelar oleh IKA Smansa 89 Makassar.

Menurut Kamaruddin Azis, host webinar, tema ini menarik di tengah fakta bahwa Jumlah Penduduk Kota Makassar merupakan kontributor terbesar penduduk Sulsel yang mencapai 17 persen dari sekitar 8 juta jiwa.

“Penduduk banyak, besar, tak terkendali akan berdampak pada stabilitas ekonomi, pada ketersediaan lapangan kerja bahkan pada tingkat kriminalitas kota. Kita berharap pengalaman alumni seperti Maudy Savitri yang bekerja di Pemkot ini bisa menjadi inspirasi untuk kita semua,” ucapnya.

Webinar ini disiapkan IKA Smansa 89 Makassar ini untuk memperoleh gambaran, bagaimana seorang alumni berkontribusi dalam agenda kependudukan dan penanganan keluarga berencana di Kota Makassar.

Sempat ke Jakarta

“Tamat SMA, saya ke Jakarta, kursus komputer tetapi balik lagi ke Makassar,” kata Maudy yang malam itu mengenakan hijab warna gelap dan berkacamata.

“Sekarang bukan lagi BKKBN, sudah jadi badan sejak 2009. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, bukan lagi koordinasi, kita selalu mengandalkan kerjasama lintas sektoral,” katanya. “Tugas kami memberi informasi dari lapangan ke eksekutor di Dinas Kesehatan. Kami tidak diizinkan melayani akseptor, cuma membagi informasi, komunikasi dan edukasi.”

“Jadi kalau ada yang bersedia (jadi akseptor) kami kirim ke Faskes, P2M, PDM, atau ke dokter mandiri, bahkan ke dukun beranak karena mereka pun sudah diberi input tentang pelayanan kontrasepsi secara modern,” tambah Maudy.

Maudy menyebut bahwa ada beberapa pihak yang selama ini ikut mendorong program keluarga berencana seperti bidan, dokter, petugas layanan, hingga bidan. Di Makassar, bidan adalah salah satu ujung tombak program KB. Mereka ada di Puskemas hingga tempat praktik mandiri.

“Di Puskemas kita bahkan sudah ada fasilitas rawat inap. Puskemas sudah canggih, karena merupakan Faskes tingkat pertama,” tuturnya.

Maudy bercerita bahwa BKKBN yang dikenal sejauh ini mengurusi aspek kependudukan.

“Di beberapa kabupaten/kota, saat gagasan desentralisasi, kita pernah dialihkan ke Pemerintah Tingkat II, kami bahkan pernah diminta bergabung dengan Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak, tapi sekarang sudah berdiri sendiri,” katanya terkait profesi dan organisasi tempatnya bekerja.

“Namanya Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. Di organisasi ini, petugas itu vertikalnya, untuk penyuluh KB saja. Kalau pegawainya ke jalur Pemkot Makassar. Petugas KB seluruhnya ke Pusat, kecuali DKI. yang lebih tinggi tingkat kesejahteraannya,” katanya terkait posisi penyuluh KB di Makassar dan daerah lain.

“Kenapa saya di pekerjaan ini, bisa jadi karena saat tamat SMA tidak ada pilihan untuk saya. Sekadar coba. Ada paman kerja di BKKBN dan beri informasi. Apalagi saya memang kepikiran untuk bisa mandiri, lepas dari tanggungan orang tua,” tuturnya.

“Sebenarnya saat itu dicari tenaga kesehatan, yang dibutuhkan mendaftar sebagian itu anak tamatan sekolah kesehatan, ada yang lebih memilih Dinkes, ada juga yang memilih penyuluh KB. Karena ibu yang suruh, alhamdulillah lanjut jadi penyuluh,” kenangnya.

Perempuan yang kini merupakan Penyuluh KB Ahli Madya ini mengakui bahwa saat pertama, dia masuk menggunakan ijazah SMA tetapi dalam perkembangannya ada penyesuaian tingkat kesarjanaan “Seiring berjalannya waktu ijazah SMA tidak dipakai, sudah pakai sarjana,” katanya.

10 langkah

Sebagai penyuluh, Maudy telah melewati berbagai tahapan dan level posisi. Pengalamanya selama 30 tahun lebih adalah gudang pelajaran, bagaimana dia menjalani profesi tak biasa ini dan meyakinkan warga untuk mau berpartisipasi.

“Kita door to door, yang sudah dilakoni seperti mencari orang untuk sedia ber-KB. Ada 10 langkah, mulai dari pendekatan tokoh formal, kemudian informasi, lapangan ke RT, ke RW, data wilayah, dengan format yang bagus, melihat sejauh mana peran apa di bawah dan kita bikin peta. Sudah ada warna-warnanya. Ada peta PUS, pasangan usia subur, datanya konek dengan lembar data yang sudah disiapkan,” kenangnya.

Kesepuluh langkah itu secara lengkap adalah sebagai berikut: Pendekatan Tokoh Formal, pendataan pemetaan, pendekatan tokoh informal, pembentukan kesepakatan, pemantapan kesepakatan, KIE oleh tokoh masyarakat, pembentukan grup pelopor, pelayanan KB – KS hingga pembinaan Peserta KB.

Dia juga menyampaikan beberapa istilah dan apa saja yang menjadi output dari tugas kepenyuluhannya.

Misalnya, bagaimana mendekat kepala rumah tangga, menjelaskan apa itu alat KB, apa sasarannya apa.

“Pada PUSMUPAR, pasangan usia muda. Kita bisa jajaki apakah dia mau KB saat anaknya satu, atau umurnya masih 20-24 tahun. Atau, kok dia nggak ber-KB, itu yang biasa kita datangi,” akunya.

Hal lain yang disampaikannya adalah sebagai penyuluh, dia punya jaringan ke level kelurahan hingga RT/RW.

“Kita punya kader KB di setiap kelurahan, namanya Pembantuan Pembina Keluarga Kader, Pembantu Pembina Keluarga Berencana Kelurahan (PPKBK), ada sub PPKBK, yang mengurusi level RW. Mereka yang pegang data, mereka tahu Pasangan Usia Subur PUS, yang pakai implant, berapa yang belum, siapa yang hamil, hingga me-register PUS,” jelasnya.

Untuk konteks Makassar, relawan di kelurahan ini mendapat biaya operasional.

“Level kelurahan sebanyak 500 ribu perbulan, RW 300 bulan, jumlahnya disesuaikan saja satu kecamatan bisa 12 PPKBK 25 sub, tergantung RW dan kelurahannya, saya kira ada 1300 untuk Kota Makassar,” tambahnya.

Prinsip menjadi penyuluh

Maudy mengaku untuk menjadi penyuluh, setidaknya, dia harus mampu mengadopsi tiga unsur atau aspek.

“Jadi kami itu dititipi untuk mengutamakan 3 unsur. Logis, etis, dan empati. Logis sebagai ilmu, mereka (calon) diberi pengetahuan, sesuai dengan yang sebenarnya. Etis, pakai etikalah, kita harus melihat pula faktor seperti agama,” terangnya.

“Lalu empati lebih pada melihat situasi di keluarga. Jangan sampai kita datang menyuluh saat orang sedang berkelahi, selesaiko…” ucapnya sambil tertawa. Tentang keterampilan atau kompetensi untuk menjadi penyuluh menurut Maudy bisa berbasis pengalaman sedari SMA.

“Yang penting mampu melaksanakan tugas, untuk jadi penyuluh, tergantung skill masing-masing. Kami ada pelatihan, melalui pelatihan LDU, Latihan Dasar Umur, kami dilatih untuk jadi peyuluh, ada sertifikasi, itu modal kami ke lapangan,” ucapnya.

Lalu ada sertifikasi setelah pelatihan. “Sertifkat dari BKKBN dan dipakai untuk jenjang selanjutnya,” katanya.

Saat ini, kepenyuluhan menurut Maudy bukan lagi sekadar menyuluh tetapi konseling. “Tidak sama dulu di ORBA, Sejak KB dimulai di Jogja tahun 75, lalu luar Jawa Bali I dan Sulsel, jadi awalnya, ada organisasi PKBI, sampai sekarang kantornya di Landak Baru. Tetapi setelah PKBI, sudah diambl alih oleh Pemerintah. KB, dulu ada pemaksaan, ada upaya menggiring calon akseptor,” katanya.

“Dulu itu, untuk memilih kontrasepsi tertentu, kita yang pilihkan,” katanya seraya menyebut ada banyak alternatif kontrasepsi, ada jangka panjang, ada jangka pendek. “MJP, metode jangka panjang, yang pendek, ada yang berupa alat, cara dan obat. Bukan lagi Alkon, tapi Alakon; Alat, Obat dan Kontasepsi termasuk alat spiral, obat, implant atau susuk,” sebutnya.

Maudy ingat persis, nun lampau, untuk mengarahkan orang ber-KB kadang ada tekanan.

“Dulu itu, kadang digedor pintu rumahnya karena memang, kelahiran dulu masih tinggi. Dulu, TFR Total Fertility Rate, masih di atas 4, dalam satu rumah ada 4 anggota keluarga. Sekarang trend sudah berubah, TFR Kota Makassar itu 2,1 sementara target nasional 2,4. Jadi kita di bawah nasional,” sebut Maudy.

“Secara umum, Makassar sudah bagus, Toraja yang masih 3,9 TFR-nya bos,” kata Maudy.

Saat disinggung dua kecamatan tertinggi penduduknya seperti Tamalate dan Rappocini, Maudy menyebut bahwa telah ada inisiatif untuk mendorong pemberdayaan dan kesadaran warga dengan adanya Kampung KB.

“Jadi memang ada, program Kampung KB, oleh Pak Jokowi diluncurkan pada 8 Januari 2016. Daerah seperti Tamalate ini adalah daerah dengan mobilitas sangat tinggi jadi bisa dipahami kenapa tinggi populasinya,” katanya.

“Tapi di Tamalate, kita juga punya unit, mobil unit pelayanan, Uyan. Akseptor di layani dalam mobil, membantu faskes, yang penting mobil yang dipakai masuk lorong, kita layani, pencapain di situ, 100 di atas rata-rata,” katanya terkait upaya Pemkota agar upaya pengendalian kependudukan ini bisa efektif.

Dia juga menyebut kecamatan seperti Sangkrarrang didukung oleh tiga tenaga non-PNS. “Karena keterbatasan mobilitas, kami angkat penyuluh, adalah warga di sana, penyuluh non-PNS namanya,” tambahnya.

Inspirasi

Ada poin yang menarik yang disampaikan Maudy terkait anggapan warga tentang tidak lengkap satu keluarga jika tidak ada anak perempuan dan laki-laki.

“Sudah mulai ada pergeseran cara pandang, dulu, suami istri belum enak kalau tidak ada perempuan, tapi dengan pemahaman, laki dan perempuan sama-saja. Kita bisa lihat hasilnya,” katanya.

“Jadi alhamdulillah, dengan jadi penyuluh, karena bersentuhan masyarakat non KB menengah ke bawah, rasa lebih terasah, lebih melihat oh beginilah situasi di bawah, dan kadang bikin saya kesal, data yang berkaitan dengan OPD lain yang berkaitan Raskin namun tidak tepat sasaran,” katanya.

Pihaknya punya data, punya update, punya masukan dari level terbawah sehingga ada beberapa keadaan yang kemudian sampai pada kesimpulan, ada pembagian bantuan seperti Raskin yang tidak sesuai harapan. “Intinya kita punya data, by name by adddress, sehingga kita tahu warga mana yang pantas dapat,” katanya.

Pendekatan yang digunakan Maudy saat melakukan sosialiasi atau penyuluhan juga fleksibel. Tergantung profesi dan kemampuan bahasa.

“Pendekatannya pada tukang becak, tidak langsung pada kontrasepsi misalnya IUD, tapi tanyakan antekamma lurang, bagaimana penumpang,” ucapnya disertai senyum.

Dia juga menyebut bahwa sudah ada sistem pendataan terpadu yang disebut SIGA, Sistem Informasi Keluarga. Intinya, ini berkaitan dengan alur informasi keluarga, akseptor.

“Dulu manual, jemput ke klinik, aksptor lama atau ulangan. Kita rekpa secara manual, tapi sekarang sudah perjenjang, masuk SIGA,” imbuhnya. “Jadi dulu bisa saja ada bidan saat melayani akseptor kirim data ke pusat, masih bisa yang namanya koruspi data, karena jumlah saja yang dikirim.”

Sekarang lebih gampang dengan catatan terintegrasi. Tentang data Pasangan Usia Subur, by name by address. “Di layar bisa muncul, sudah terkoneksi, kita tinggal cari. Tinggal tulis NIK dan keluar datanya,” lanjutnya.

Aspek mendasar lainnya yang disampaikan Maudy adalah subsidi Pemerintah. “Ada Alokon didrop dari pusat, ini APBN yang berjenjang, ke provisni, sesuai kebutuhan Pemerintah Daerah.” Demikian pula skema BPJS, Kartu Indonesia Sehat hingga pelibatan pihak swasta dan berbayar.

“Mau yang antri, atau pakai obat pemerintah silakan ke Puseksmas, kalau mau tidak mengantri ada bidan mandiri,” ucapnya.

Nah, sekarang, alat kontrasepsi apa yang banyak paling digunakan? “Lebih banyak suntik, dianggap lebih praktis,” ucapnya. Hal ini terkait dengan anggapan warga pada implant atau metode lainnya yang disebut berdampak samping. “Padahal mereka takut lebih pada karena mereka kurang sosalisasi.”

Maudy menyebut bahwa bicara KB saat ini lebih terbuka, lebih berterus terang.

“Bukan lagi memotivasi untuk menggunakan kontrasesp, tetapi konseling. Dulu keunggulan kontrasepsi kita cerita. Sekarang kita harus terus terang, suntik bisa varises, perlu kita jelaskan pada mereka untuk memilih,” lanjutnya. “KB tidak boleh dipaksa, kalau ada efek samping, kita yang dikejar,” tegas Maudy.

Kelangkaan riset

 Dr Ahmad Haya penanggap dalam webinar ini menyebut bahwa program KB sesungguhnya telah dicetuskan dan dijalankan sejak tahun 50-an. “Cuma pada saat itu orang masih merasa, banyak anak banyak rezeki,” katanya.

“Jadi saat itu, ada penyediaan, ada upaya Rezim Soeharto mengurangi impor kondom, ada pabrik di Jawa Barat tahun 1987. Di situ kelihatan Pemerintah untuk medukung KB sangat besar, skearang  memang ada agak silent, kalau saya lihat, termasuk fasilitas, alat-alat yang digunakan, untuk mendukung KB tersebut, tidak ada inovasi,” ucapnya.

Dia juga belum melihat inovasi terkait program kependudukan atau keluarga berencana ini sejauh ini. “Hampir tidak ada kelihatan, jadi seakan-akan tidak terkait untuk inovasi di KB untuk mendukung keluarga bencana tersebut,” katanya.

“Kalau BKKN ini kan kita ingin melihat kolaborasi, supaya ada inovasi, dimana bisa didapatkan alat kontrasepsi bukan dalam segi alat, tapi bagimana mendukung penyuluhan yang bagus,” imbuhnya.

Terkait tanggapan Dr Ahmad Haya, Maudy menyebut perlunya membaca data dan kecenderungan saat ini dibanding tahun-tahun sebelumnya.

‘Yang perlu diketahui, piramida, sudah membesar di tengah, tahun 70-an banyak di usia balita karena banyak kelahiran, adanya program KB sudah ditekan, sudah mengecil di bawah, di atas, sudah remaja,” katanya.

Jadi, lanjut Maudy, Indonesia sedang dalam suasana bonus demografi. “Puncak di 2030, sudah mulai memetik tahun 2013, ada pergeseran program di BKKN lebih pada pembentukan keluarga, dari soal kontarsepsi sudah bergeser, bukan hanya alat kontraspesi, ada progam Bangga Kencana, bangga pembangunan pendudukan dan keluarga berencana,” jelasnya.

“Menurut kami, tidak perlu ada (kontrasepsi) yang baru, sekarang saja ada penolakan, vaginal tissues, itu tidak laku dan mahal,” katanya.

Poin menarik yang disampaikan Maudy lainnya adalah ‘pil untuk pria’.

“Sekarang cenderung ke perempuan, selama ini pria hanya dikaitkan dengan kondom dan vasektomi. Jadi ada kecenderungan, KB itu urusan perempuan, siapakah yang bisa memulai alat untuk pria? Pil untuk pria?” tanyanya menyungging senyum.

Sebelum menutup paparannya Maudy mengangkat cerita dari lapangan. Tentang akseptor ibu hamil yang telah punya anak 10 orang.

“Suaminya tukang becak. Istri pakai spiral tidak mau, takut, disuntik ada varisesnya. Satu-satunya dengan pil. Beberapa waktu kemudian si ibu datang ke Posayandu dengan perut bsar. Hamil mako sede?” tanya penyuluh.

“Kenapa bisa hamil sementara pil diminum?” kisah ibu kepada penyuluh.

Si ibu menjawab dengan santai. “Bapaknya kusuruh minum, ka capekma,” kata Maudy menirukan si ibu sembari terbahak.

“Mungkin ke depan, itu harapannya pada level atas (tentang Pil Pria), kami di bawah ada proram, kita sosialsiasikan. Apapun alatnya, KB itu berhasil, masyarakat dengan sadar dan mulai mencatat. Kita punya kelompok, Poktan, ada Tribina,” katanya.

Bagi Maudy, saat ini bukan semata menyuluh warga untuk menurunkan kehamilan, atau jumlah anak.

“Ada program bina keluarga balita, ada remaja. Ada tiga risiko yang harus dihindari. Seks bebas, narkotika dan HIV. Kita beri mereka wawasan perkawinan, tentang Genre, generasi dan reproduksi,” jelasnya.

“Lebih pada ketahanan, mengisi keluarga untuk punya daya tahan. Ada tujuh dimensinya, di antaranya penanganan lansia, berkolaborasi dengan Puskesmas, untuk balita. Termasuk melalui pengajian-pengajian atau kajian keagamaan lainnya,” pungkas Maudy.

 

Editor: K. Azis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts