Nelayan terdampak COVID-19, anggota DPRD Makassar: Pemkot harus kreatif

  • Whatsapp
Legislator Kota Makassar dari Partai Demokrat, Ray Suryadi (dok: istimewa)

DPRD Makassar

  • Jumlah penduduk Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar 13 703 jiwa. Ada 6 748 laki-laki dan 6 955 jiwa perempuan. Terdapat 3 451 KK dan 57 RT serta 15 RW. Mereka tersebar dari Pulau Barrang Caddi, Barrang Lompo, Bone Tambung, Lanjukang, Langkai, hingga Lumu-Lumu dan Kodingareng Lompo. Satu pulau lain, Lae-Lae masuk kecamatan induk, Ujung Tanah.
  • Sejak turun temurun, untuk bertahan hidup dan berkembang, warga di tujuh pulau berpenghuni memilih mencari nafkah di lautan, berdagang dan sebagian lainnya jadi karyawan toko hingga buruh bangunan. Pandemi COVID-19 telah mempengaruhi pola dan aktivitas ekonomi mereka. 
  • Saat pandemi Covid-19, volume dan nilai produksi perikanan dari Makassar turun drastis, profesi nelayan dan operator jasa seperti pappalimbang, kapal reguler hingga eksportir hasil laut sangat terpukul. Hasil laut tetap tersedia, tetapi daya beli masyarakat yang rendah dan tiadanya sarana transportasi membuat harga ikan sempat jatuh hingga 60 persen.
  • Pelakita.ID atas dukungan Mongabay.co.id melakukan observasi dan wawancara terkait dampak pandemi pada tiga pulau Makassar, Lae-Lae, Barrang Caddi dan Lumu-Lumu antara tanggal 17 hingga 23 Agustus 2020.

PELAKITA.ID – Sudah lama Makassar dikenal sebagai kota maritim, parameter pertumbuhan Indonesia bagian timur, hub lalulintas ikan antarpulau, antarkota, dalam negeri maupun ke mancanegara. Lalu, di tengah pandemi Covid-19 ini seberapa terdampak kota berjuluk Anging Mammiri ini?

Seberapa terpukul kehidupan pesisir dan masyarakat pulau-pulau dan pelaku usaha perikanan di Kota Makassar?

Read More

Ekspor ikan di tengah pandemi

Sejak merebak dalam bulan Februari 2020, COVID-19 menjadi musuh tak terlihat bagi segenap negara bangsa di dunia tak terkecuali Indonesia. Selain melumpuhkan mata rantai bisnis, pandemi ini juga mengubah relasi sosial. Salah satu yang disebut sangat terpukul adalah tatanan kehidupan di pesisir dan pulau-pulau.

Laporan Tim Percepatan Penanggulangan COVI-19 Makassar menyebutkan bahwa Kecamatan Sangkarrang ‘hanya’ 24 warga terpapar virus ini atau paling sedikit dari limabelas kecamatan di Kota Makassar. Bandingkan seperti Kecamatan Rappocini yang mencapai 800 orang pada periode yang sama hingga Juli 2020.

Sementara itu, laporan lalulintas perikanan ekspor dari Kota Makassar semester I tahun 2019 oleh Balai Besar KIPM Makassar menyebutkan total komoditi perikanan mencapai 44 039,036 kilogram dengan total nilai komoditi mencapai 2,4 triliun.

Ada lima komoditi teratas yaitu, rumput laut 79 persen, lalu karagenan 6 persen, udang vanamei 3 persen, tuna 2 persen dan gurita 1 persen. Komoditi campuran lainnya mencapai 9 persen.

Pada semester yang sama pada tahun 2020, komposisi dan jumlahnya berubah. Rumput laut masih dominan hingga 75,9 persen, lalu karaginan 8,7 persen, vanamei 5,5 persen, gurita 1,8 persen dan tuna 2 1,7 persen. Total komoditi 65 317, 20 ton dengan nilai 2,36 triliun dan komoditi lain, 7 persen atau turun sekitar 2 persen. Dari tahun lalu 6 683, 453 ton senilai Rp 627,1 miliar menjadi 4 586,64 ton senilai Rp4897,06 miliar.

Negara-negara tujuan adalah China, Korea Selatan untuk rumput laut, sementara karaginan untuk China, Inggris dan Belanda. Udang vaname dikirim ke China, Jepang dan Amerika, sementara gurita tujuan Amerika, China dan Italia disusul tuna untuk Jepang, Amerika dan Kanada.

Jika secara umum menegaskan bahwa ada penurunan namun secara spesifik penurunan itu dapat dilihat komoditi di luar kelima komoditi itu, di sini termasuk ikan-ikan karang, tenggiri, ekor kuning hingga kepiting. Produk atau komoditi ini umumnya dipasok oleh usaha perikanan skala kecil, para penangkap ikan di pesisir dan pulau-pulau sekitar Kota Makassar.

“Komoditi rumput laut menjadi komoditi ekspor primadona Sulsel dalam dua tahun terakhir, jadi perlu dikembangkan budidaya rumput laut di pulau-pulau kecil apalagi Sulsel sudah memiliki unit pengolahan yang dapat mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi (semi refined carragenan) sehingga added value-nya meningkat, bukan hanya diekspor dalam bentuk mentah saja,” kata Ir Sitti Chadijah, M.Si kepala BKIPM-KKP Makassar.

Berdampak ke pengusaha perikanan

Pelakita.ID mewawancarai Ray Suryadi, salah seorang pengusaha perikanan di Makassar yang juga anggota Komisi A, dari Fraksi Partai Demokrat. Saat ini adalah Direktur PT Artibuana Lautan Indoneia dan PT Makassar Singapore Fishery yang aktif mengirim ikan ke luar negeri.

“Saya kira hampir semua bidang terdampak pandemi Covid-19, terutama di nelayan kita. Sektor usaha penjual ikan, eksportir, semua terdampak. Mengapa terdampak karena secara umum seluruh unit bisnis seluruh dunia secara umum tengah dilanda pandemi juga,” kata Raya.

“Sebagaimana kita tahu mata rantai perikanan ini sudah jelas, nelayan dibiayai papalele, punggawa, dari nelayan ke supplier, lalu memberikan hasil produk perikanan ke eksportir, itu mata rantainya,” jelas Ray.

Ray mengatakan, itulah situasi permasalahan sekarang jika bicara perikanan. “Karena perkenomian kita tidak lagi berjalan normal seperti sedia kala. Patut dicatat bahwa tidak semua pemodal punya kekuatan finansial kuat, jadi banyak juga yang terpukul,” tambahnya.

“Artinya apa, tidak semua nelayan dapat modal lagi untuk melakukan kegiatan perikanan,” sebut Ray. Selama satu semester terakhir, dia mencatat bahwa bisnisnya ke Singapura, sebagai salah satu destinasi bisnisnya sangat terdampak.

“Sebagai eksportir hasil laut, jelas sekali kami membaca bahwa tangkapan nelayan kita tidak lagi melimpah seperti dulu. Sudah tidak banyak pemodal yang mampu memberi kekuatan operasional untuk penangkapan,” imbuhnya.

Ray mengaku banyak melihat dan mendengar dairi warga. Dia ke Pulau Barrang Lompo, ke Pelelangan Ikan Paotere atau di Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere terkait dampak pandemi ini.

Lalulintas komoditas hasil perikanan ekspor melalui BKIPM Makassar pada semester 1 tahun 2020 (dok: BKIPM Makassar)

“Kita tahu sendiri relasi antara nelayan dan pengusaha (papalele atau punggawa, middlemen) pada semua aspek keuangan. Semua terdampak, dari proses usaha penangkapan ikan hingga pemasaran,” jelasnya.

“Menjadi tidak bergerak, tabungan terkuras, kita semua membayar biaya operasional. Sehingga beberapa bulan sangat menyiksa di usaha perikanan,” ujarnya.

Dia menyebut bahwa karena proses bisnis tidak berjalan normal, antara si nelayan dan punggawa, ini juga berlanjut ke pola hubungan antara agen dan eksportir.

“Jika nelayan ke punggawa, punggawa ke supplier, lalu ke eksportir. Eksportir ke buyers di luar negeri. Antara si pemasok atau agen dan eksportir juga mengalami keadaan yang sama. Pemasok atau papalele tidak mampu membeli karena krisis. Tapi yang paling terdampak adalah eksportir,” jelasnya.

“Beberapa negara lockdown, ada penutupan, rantai kerja di dalam tapi pengriman untuk luar negeri. ikan pun di-lock down, biasanya mengirim ikan paling dekat Singapura. Sekalipun tidak di-lockdown, tetapi banyak sekali maskapai tidak berjalan normal. Dari yang dulunya lima maskapai, ada lima tujuan sekarang cuma satu,” paparnya.

Karena itu, lanjut Ray, kapasitas yang dikirim, dari beratus ton hanya menjadi beberapa ton.

“Kuota ini pun dibagi oleh pengusaha ekspor di Makassar dan Sulsel. Kalau jatah untuk Sulsel 20 ton, maka itulah yang dibagi-bagi antar eskportir. Apa yang menjadi permasalahan? Pengekspor ini mendapatkan beban pembayaran kargo yang malah kian membebani,” akunya.

“Dapat dipahami bahwa pesawat itu kan mendapat biaya tutup kargo dari penumpang, tapi kalau penumpang tidak ada? Makanya biaya kargo ditingkatkan,” ucapnya.

Tidak tanggung-tanggung, biaya kargo ini menekan kemampuan pembiayaan eskportir. “Untuk menutup biaya operasioanal pesawat, biayanya sampai 300 persen. Ini pelaku usaha yang sulit, sudah memberatkan dikarenakan tidak adanya pemodal,” katanya.

Menurutnya, karena tidak ada atau terbatasnya pemodal, mereka yang sebelumnya membeli ikan ke nelayan tidak terlalu mahal, tapi harus mengelurkan biaya berlipat pada kargo. “Kalau ikan ikan harga 50, kargo bisa 60,” imbuhnya.

“Ini masih dirasakan dan berdampak ke produksi nelayan. Memang masih ada beberapa pengusaha yang bertahan meski masih sangat terbatas. Memang, saat ini sudah ada jadwal penerbangan tapi itu tadi, biaya kargo masih mahal,” imbuhnya.

Ray menyebut bahwa turunnya harga ikan itu dapat dirasakan seperti harga ikan tenggiri. Jika selama ini mencapai 70 ribu per kilogram untuk kemudian diekspor, namun belakangan ini harganya jatuh ke 50 ribu per kilo.

Ray mengaku bahwa dengan anggota nelayan berikut relasi bisnisnya yang mempunyai sekurangnya 200 unit kapal ikan pencari dari berbagai ukuran, maka dampak pandemi itu dia bisa rasakan dari respon anggota dan jaringan bisnisnya ini. Ray terhubung dengan nelayan-nelayan di Sulawesi Selatan, mulai dari Makassar, Barru, Pangkep, Sinjai hingga Selayar,.

Pemkot belum efektif

Sebagai yang berbasis bisnis di Makassar, Ray membaca bahwa respon Pemerintah terutama Pemkot Makassar belum optimal atau belum efektif.

“Masih ada yang perlu dipertajam, apa itu? Pendampingan ke pengusaha. Harus ada kemudahan akses, Pemkot harus membangun komunikiasi ke pengusaha,” katanya. Maksud Ray adalah bagaimana Pemkot mendekati semua pengusaha untuk mencari tahu bagaimana dampak pandemi ini.

Mengeringkan ikan, alternatif bertahan di tengah pandemi (dok: Pelakita.ID)

“Sepert media ini (Pelakita.ID dan Mongabay.co.id) yang membangun komunikasi dengan kami. Pemkot melalui Dinas Perikanan Kota bisa melakukan pendekatan ini, membangun pola komunikasi yang baik,” kata jebolan Unhas, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2009 ini.

“Volume dan nilai bisnis perikanan saya kira terpangkas hingga 80 persen, artinya, yang masih berjalan antara 10 hingga 20 persen ini perlu didukung, diberi kemudahan, setidaknya ada komunikasi yang terjaga,” imbuhnya.

Kenapa Pemkot harus turun tangan sebab usaha perikanan tidak sekadar mencari ikan dan menjualnya tetapi melibatkan banyak aspek dan level masyarakat.

“Kalau saya ini kan sektor perikanan, tapi perlu diketahui juga ada sektor UMKM yang tumbuh. Mereka butuh pasokan ikan juga. Jadi harus ada pelatihan-pelatihan, yang secara masif. Misalnya bagaimana bikin produk olahan, kerupuk atau crispy yang diminati warga,” katanya.

“Jadi Pemkot harus kreatiflah. Lebih menghasilkan differensiasi program, lebih kreatif untuk warga yang bekerja di sektor ini. Masyarakat pesisir ini potensi kita, bahwa mereka mau bekerja, mereka punya talenta,” tutup Ray.

Kontributor: M. Rizki Latjindung, Muhammad Syukri, K. Azis (koordinator liputan) 

 

Related posts