PELAKITA.ID – Ilmu tidak sekadar kumpulan pengetahuan yang tersimpan di buku, jurnal, atau kepala para ilmuwan.
Ia adalah sebuah proses hidup yang melibatkan aktivitas berpikir, metode yang sistematis, dan hasil berupa pengetahuan yang terus berkembang.
Hakikat ilmu, dengan demikian, dapat dipahami melalui tiga dimensi utama: aktivitas sebagai proses, metode sebagai prosedur, dan pengetahuan sebagai produk.
1. Ilmu sebagai Aktivitas (Proses Mencari Kebenaran)
Dalam pandangan filsuf ilmu Karl Popper (1959), ilmu adalah upaya manusia untuk mendekati kebenaran melalui proses falsifikasi—yakni menguji teori dengan kemungkinan kesalahan.
Bagi Popper, ilmuwan sejati tidak mencari pembenaran, tetapi justru berusaha menemukan kesalahan dalam teorinya sendiri. Proses ini mencerminkan bahwa hakikat ilmu adalah aktivitas dinamis, bukan keadaan statis.
Ilmu tumbuh dari rasa ingin tahu manusia terhadap alam dan realitas sosialnya. Ia bukan hanya kegiatan laboratorium, tetapi juga melibatkan kepekaan terhadap fenomena kehidupan.
Dalam konteks ini, ilmu adalah wujud dari “aktivitas pencarian kebenaran”, sebagaimana disampaikan oleh filsuf John Dewey (1938) bahwa “to be scientific is to be inquiring” — bersikap ilmiah berarti terus mencari dan mempertanyakan.
2. Ilmu sebagai Metode (Prosedur Sistematis)
Metode ilmiah menjadi tulang punggung dari setiap kegiatan keilmuan. Tanpa metode, ilmu akan kehilangan arah dan objektivitasnya. Menurut filsuf Auguste Comte, metode ilmiah adalah cara manusia menyusun pengetahuan berdasarkan pengamatan, eksperimen, dan penalaran rasional.
Proses ilmiah harus mengikuti langkah-langkah yang terstruktur: merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji, dan menarik kesimpulan.
Thomas S. Kuhn (1962) dalam The Structure of Scientific Revolutions menjelaskan bahwa metode ilmiah tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga dipengaruhi oleh paradigma — kerangka berpikir kolektif yang membentuk cara ilmuwan melihat dunia. Artinya, metode bukan hanya prosedur logis, melainkan juga konstruksi sosial dari komunitas ilmiah.
3. Ilmu sebagai Pengetahuan (Produk yang Teruji)
Hasil akhir dari aktivitas dan metode ilmiah adalah pengetahuan. Pengetahuan ilmiah berbeda dari opini karena ia lahir dari proses pembuktian dan dapat diuji oleh siapa pun.
Dalam pandangan Michael Polanyi (1966), pengetahuan ilmiah selalu bersifat tacit dan eksplisit — ada bagian yang dapat dijelaskan secara rasional, dan ada pula bagian yang bersumber dari intuisi serta pengalaman ilmuwan.
Namun, ilmu tidak pernah final. Setiap teori, seberapa pun kuatnya, selalu terbuka terhadap kritik dan revisi. Dengan demikian, pengetahuan ilmiah adalah produk sementara dari proses yang terus berlanjut. Ia bersifat kumulatif dan reflektif, membangun dari masa lalu untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat ilmu mencakup tiga dimensi yang saling melengkapi:
-
Sebagai aktivitas, ilmu merupakan proses pencarian kebenaran yang terus-menerus.
-
Sebagai metode, ilmu adalah prosedur sistematis yang menjamin objektivitas dan keterulangan.
-
Sebagai pengetahuan, ilmu adalah produk yang telah diuji kebenarannya, namun tetap terbuka terhadap perubahan.
Seperti dikatakan oleh Albert Einstein, “Science is a refinement of everyday thinking” — ilmu adalah penyempurnaan dari cara berpikir manusia sehari-hari. Dengan memahami hakikat ilmu secara utuh, kita tidak hanya menjadi penghafal pengetahuan, tetapi juga pelaku aktif dalam penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Daftar Rujukan Singkat
-
Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge.
-
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions. University of Chicago Press.
-
Dewey, J. (1938). Logic: The Theory of Inquiry. Henry Holt and Company.
-
Polanyi, M. (1966). The Tacit Dimension. Routledge & Kegan Paul.
-
Comte, A. (1974). The Positive Philosophy. AMS Press.
-
Einstein, A. (1936). Physics and Reality. Journal of the Franklin Institute.
