Wawancara Muhammad ‘Om Boer’ Burhanuddin | Menjadi Sosok Berbeda di Antara Kumpulan

  • Whatsapp
Muhammad Burhanuddin (dok: Istimewa)

Saya melihat sendiri, banyak pemimpin hebat yang akhirnya hilang dari ingatan publik. Bukan karena mereka tidak bekerja keras, tapi karena mereka tidak visioner dan strategis.  Mereka datang dengan program, proposal, dan statistik, tapi lupa bahwa publik datang mencari sesuatu yang lebih dalam: harapan dan kemanusiaan.

Muhammad ‘Om Boer’ Burhanuddin

PELAKITA.ID – Founder Pelakita.ID Kamaruddin Azis mewawancarai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Garuda Astacita Nusantara (GAN) Muhammad Burhanuddin. Organisasi ini adalah salah satu unsur pendukung dan pengawal kebijakan ASTACITA Presiden Prabowo Subianto, Muhammad Burhanuddin.

Om Boer, demikian sapaanya dikenal sebagai sosok yang selalu punya cara berbeda dalam membangun relasi dan memaknai kepemimpinan.

Apa sebenarnya makna “menjadi sosok berbeda di antara kumpulan” bagi Om sendiri?

Bagi saya, dalam setiap pertemuan, selalu ada dua jenis orang: mereka yang sekadar hadir, dan mereka yang meninggalkan kesan.

Ada yang datang untuk mencari sesuatu, dan ada pula yang datang untuk memberi sesuatu. Saya memilih yang kedua.

Banyak orang berpikir networking itu soal memperbanyak kenalan — bertukar kartu nama, menambah kontak di ponsel, atau hadir di banyak acara agar terlihat aktif. Padahal, networking tanpa value hanya menciptakan kenalan. Ia berhenti di perkenalan, tanpa meninggalkan makna apa pun.

Sebaliknya, networking dengan value menciptakan peluang. Nilai yang kita bawa — bisa berupa ide, empati, keahlian, atau komitmen — itulah yang membuat seseorang diingat bahkan setelah waktu berlalu.

Dan perbedaannya hanya satu: apa yang bisa kita berikan, bukan apa yang kita harapkan.

Menarik sekali. Apakah prinsip ini juga berakar dari pengalaman pribadi atau nasihat yang Om dapat di masa lalu?

Betul. Saya masih ingat satu kalimat dari ayah saya yang sampai hari ini melekat di kepala saya: “Pemimpin itu bukan soal jabatan. Tapi soal siapa yang terus dikenang setelah semua jabatan hilang.” Dulu saya cuma tertawa mendengarnya. Tapi kini saya paham, ternyata itu bukan lelucon — itu peringatan.

Saya melihat sendiri, banyak pemimpin hebat yang akhirnya hilang dari ingatan publik. Bukan karena mereka tidak bekerja keras, tapi karena mereka tidak visioner dan strategis. Mereka datang dengan program, proposal, dan statistik, tapi lupa bahwa publik datang mencari sesuatu yang lebih dalam: harapan dan kemanusiaan.

Prabowo Subianto adalah contoh menarik tentang bagaimana seorang pemimpin membangun ingatan publik melalui cerita dan ketulusan.

Pemimpin harus bsia diterima di semua kalangan

Ia bukan hanya menampilkan kekuatan dan wibawa, tetapi juga kerendahan hati yang tumbuh dari pengalaman panjang — dari masa-masa sulit hingga posisi terhormat hari ini.

Cara beliau berbicara, menundukkan kepala saat menyapa rakyat, hingga memilih kata-kata yang menyejukkan di tengah perbedaan, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah soal menguasai, melainkan soal mengayomi.

Itulah mengapa kepemimpinan yang meninggalkan jejak bukan lahir dari pencitraan, melainkan dari konsistensi nilai dan ketulusan sikap.

Pemimpin yang dicintai rakyat bukanlah yang paling keras berbicara, tapi yang paling jujur mendengarkan. Seperti Prabowo yang kini menjadi teladan bagi banyak generasi muda: bahwa ketegasan bisa berjalan seiring dengan kasih, dan kekuasaan hanya berarti ketika digunakan untuk memuliakan rakyat.

Jadi menurut Om Boer, kepemimpinan tidak cukup hanya dengan kerja keras atau program yang bagus?

Benar. Publik tidak selalu terpesona oleh angka atau rencana yang indah di atas kertas. Mereka mencari sosok yang bisa mereka rasakan. Sosok manusiawi yang mampu menyentuh hati, bukan sekadar berbicara di depan mikrofon.

Saya belajar bahwa politik dan kepemimpinan bukan soal siapa yang paling keras berbicara, tapi siapa yang paling tulus mendengarkan. Kadang orang hanya ingin didengar, bukan diberi janji. Kadang mereka ingin dipahami, bukan dijelaskan. Dan di sanalah letak seni kepemimpinan yang sebenarnya.

Apa yang kemudian membuat Om tetap konsisten dengan prinsip “menjadi sosok berbeda di antara kumpulan”?

Saya menyadari bahwa menjadi berbeda bukan berarti harus menonjol di tengah keramaian, tapi memberi makna di setiap perjumpaan. Bukan tentang seberapa tinggi posisi yang kita duduki, tapi seberapa dalam kesan yang kita tinggalkan.

Setiap orang bisa hadir, tapi tidak semua bisa berarti. Setiap pemimpin bisa memimpin, tapi tidak semua bisa dikenang.

Pada akhirnya, yang diingat orang bukan apa yang kita miliki, melainkan apa yang kita berikan. Dan bagi saya, di sanalah makna sejati dari menjadi sosok berbeda di antara kumpulan.

Muhammad Burhanuddin (kiri) dan Seljen DPP GAN Erlambang Trisakti (dok: istimewa)

Kalimat itu sangat kuat, Om. Kalau boleh disimpulkan, apa pesan Om untuk generasi muda yang ingin tumbuh sebagai pemimpin atau pembawa perubahan?

Mulailah dari memberi nilai, bukan mencari pengakuan. Dunia akan selalu penuh dengan kumpulan orang pintar, tapi yang dibutuhkan adalah orang yang tulus. Jangan takut untuk berbeda, asalkan perbedaan itu membawa manfaat bagi orang lain.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa besar lingkaran kita yang diingat, tapi seberapa banyak hati yang tersentuh oleh kehadiran kita.

Jadilah orang yang keberadaannya menumbuhkan semangat, dan kepergiannya meninggalkan warisan kebaikan. Pemimpin sejati bukan diukur dari seberapa tinggi ia berdiri, tapi dari seberapa banyak orang yang tumbuh karena kehadirannya.

Redaksi