Tersingkapnya Watak dan Kedangkalan Pengetahuan Kepala Daerah di Balik Dana Mengendap

  • Whatsapp
Ilustrasi oleh Mustamin Raga

Dana yang mestinya sudah berputar untuk rakyat, terdiam seperti air tergenang di bendungan yang pintunya lupa dibuka. Padahal, waktu yang tersisa hanya sekitar 1,5 bulan sebelum tahun anggaran berakhir.

Oleh: Mustamin Raga

PELAKITA.ID – Kadang, kebenaran datang tidak melalui pidato panjang atau seminar kebijakan. Ia datang melalui angka—dingin, senyap, dan tanpa emosi—namun memantulkan kenyataan dengan kejujuran yang tak bisa disangkal.

Dan dari angka itulah, watak manusia berkuasa sering kali tersingkap: siapa yang jujur mengakui, siapa yang panik menyembunyikan, siapa yang justru menolak karena tidak paham apa yang sebenarnya ia tolak.

Begitulah ketika Menteri Keuangan, Purbaya, membuka data tentang dana pemerintah daerah yang masih mengendap di bank-bank. Seketika, ruang publik bergemuruh.

Ada kepala daerah yang tersenyum getir, ada pula yang menggertak seolah diserang secara pribadi. Padahal yang dikritik bukan pribadinya, melainkan lambannya nadi pembangunan yang mestinya berdenyut melalui belanja pemerintah.

Purbaya tidak sedang mencari kambing hitam. Ia sedang menunjukkan fakta. Sampai Oktober tahun ini, lebih dari 220 triliun rupiah dana daerah masih tersimpan di bank-bank.

Dana yang mestinya sudah berputar untuk rakyat, terdiam seperti air tergenang di bendungan yang pintunya lupa dibuka. Padahal, waktu yang tersisa hanya sekitar 1,5 bulan sebelum tahun anggaran berakhir.

Setidaknya 15 pemerintah daerah diketahui masih membiarkan dananya mengendap. Uang sebesar itu — jika digunakan dengan tepat — bisa memperbaiki jalan rusak di pelosok, membuka lapangan kerja baru, membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta mendorong ekonomi lokal. Tapi kini, uang itu hanya menjadi angka yang membanggakan di laporan kas daerah, bukan denyut kehidupan rakyat.

Purbaya, tentu, memahami bahwa ekonomi nasional digerakkan oleh dua mesin utama: investasi dan belanja pemerintah. Ketika sektor swasta melemah, maka roda ekonomi harus digerakkan oleh belanja publik. Karena itu, APBN dan APBD tidak boleh berhenti di meja pejabat atau rekening bank. Ia harus mengalir — cepat, tepat, dan bermakna.

Namun di sinilah persoalannya: sebagian pejabat daerah lebih pandai merancang pidato daripada merancang waktu.

Mereka mengira serapan anggaran adalah angka yang bisa dikejar menjelang akhir tahun. Maka, di bulan-bulan terakhir, proyek dikebut seperti lomba balap: jalan diaspal tengah malam, laporan disusun tergesa, kegiatan digelar tanpa makna. Semua demi menutup malu di laporan serapan.

Ironis, bukan? Anggaran yang seharusnya menandakan tanggung jawab publik berubah menjadi arena pencitraan birokrasi.

Dari 15 daerah yang disorot, dua kepala daerah tampil menonjol karena cara mereka merespons kritik.

Yang pertama, Gubernur DKI, Pramono, berbicara dengan jujur meski nada suaranya terasa getir. Ia berkata, “Temuan itu seribu persen benar.” Sebuah kalimat yang mungkin diucapkan dengan berat hati, tapi tetap menunjukkan keberanian untuk mengakui kenyataan.

Kejujuran memang tidak selalu manis, tapi ia menyembuhkan. Dalam pengakuan itu, kita melihat watak seorang pemimpin yang masih memiliki ruang refleksi — yang tahu bahwa mengakui kesalahan bukan tanda kelemahan, melainkan awal dari perbaikan.

Berbeda dengan Pramono, Kang Dedy Mulyana (KDM) justru tampil dengan reaksi yang berlebihan.

Ia menolak kritik Purbaya, seolah laporan itu tuduhan pribadi. Ia berkeliling ke berbagai lembaga — Kemendagri, Bank Indonesia, bahkan BPK — untuk mencari pembenaran. Ia sibuk mengklarifikasi, bukan memperbaiki.

Padahal, substansi kritik Purbaya sederhana: dana yang mengendap adalah tanda bahwa perencanaan kegiatan tidak berjalan baik, bahwa waktu terbuang, dan bahwa roda ekonomi lokal tidak berputar sebagaimana mestinya. Tapi KDM justru menunjukkan bahwa ia tidak memahami makna dasar itu.

Wataknya terbaca: antikritik, reaktif, dan cenderung panik. Dalam psikologi kepemimpinan, ini tanda dari defensive leadership — pemimpin yang lebih sibuk menjaga citra daripada memperbaiki kinerja. Ketika dikritik, ia menolak karena mengira kritik itu ancaman, bukan cermin.

Socrates pernah berkata, “An unexamined life is not worth living.” Dan saya ingin menambahkan: “Kekuasaan yang tidak mau dikritik adalah kekuasaan yang tidak pantas dijalankan.”

Kritik Purbaya mestinya dibaca bukan sebagai serangan politik, melainkan seruan moral dan administratif. Dalam sistem keuangan negara, waktu adalah faktor kunci. Belanja yang terlambat berarti manfaat yang tertunda. Ketika belanja tertunda, pertumbuhan ekonomi pun melambat. Rakyat kehilangan kesempatan kerja, dan daya beli tidak bergerak.

Purbaya, dalam posisinya sebagai Menteri Keuangan, melihat dari ketinggian sistem — bukan dari sentimen pribadi. Tapi sebagian kepala daerah yang terbiasa memerintah dalam gelembung pujian, gagal menangkap konteks itu. Mereka lebih sibuk merasa diserang daripada belajar dari teguran.

Kita bisa melihat pola lama berulang: pejabat yang senang dipuji, tapi alergi dikritik. Mereka mencintai panggung, tapi takut cermin. Sungguh, inilah wajah sebagian pemimpin lokal kita hari ini.

Mereka lebih sibuk membangun narasi daripada membangun daerah. Mereka pandai menjelaskan kenapa dana belum terserap, tapi tidak pernah berani bertanya pada diri sendiri: “Mengapa saya tidak mampu merencanakan dengan baik?”

Padahal, rakyat tidak menuntut penjelasan panjang. Mereka hanya ingin hasil. Mereka tidak peduli dana mengendap karena regulasi, sistem, atau birokrasi — yang mereka tahu hanyalah kenyataan bahwa jalan belum diperbaiki, bantuan belum cair, dan harga-harga belum stabil.

Kita hidup di masa di mana pejabat lebih takut pada citra daripada pada nurani. Setiap kritik dianggap ancaman politik, bukan bahan introspeksi. Dalam suasana seperti ini, perencanaan pembangunan kehilangan ruhnya: ia berubah menjadi formalitas administrasi, bukan lagi perjuangan moral untuk menyejahterakan rakyat.

Lihatlah bagaimana dua sikap tadi mencerminkan dua watak kekuasaan.

Pramono mungkin tidak sempurna, tapi ia memahami bahwa pengakuan adalah awal dari pembenahan. Ia tahu bahwa pemimpin bukanlah makhluk yang harus selalu benar.

Sementara KDM menunjukkan gejala umum dari pejabat yang hidup dalam ruang gema—hanya mau mendengar apa yang menyenangkan telinganya. Perbedaan keduanya bukan semata pada kalimat, tapi pada kedewasaan berpikir.

KDM tampak sibuk mengurusi persepsi, sementara Pramono mulai mengurusi realitas.

Dalam konteks ekonomi makro, belanja pemerintah daerah memiliki peran vital. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 34% perputaran uang di daerah bersumber dari APBD. Ketika belanja daerah tersendat, ekonomi lokal stagnan.

UMKM yang mestinya hidup dari proyek pemerintah kehilangan order, masyarakat kehilangan pendapatan tambahan, dan kemiskinan membatu. Maka, ketika dana 220 triliun mengendap, itu bukan hanya soal kelalaian teknis. Itu adalah tanda kegagalan dalam memahami fungsi ekonomi pemerintahan.

John Maynard Keynes, ekonom besar Inggris, pernah berkata bahwa dalam situasi ekonomi lemah, pemerintah harus menjadi “investor terakhir.”

Artinya, ketika dunia usaha berhenti, negara harus berbelanja untuk menggerakkan ekonomi. Tapi bagaimana ekonomi bisa bergerak jika dana pemerintah malah diam di bank?
Bukankah uang itu milik rakyat? Bukankah tugas pemerintah adalah memastikan uang itu bekerja untuk mereka?

Di sinilah kita perlu merenung.

Dana yang mengendap di rekening pemerintah daerah sebenarnya adalah simbol dari sesuatu yang lebih dalam: kemalasan merencanakan, ketakutan mengambil keputusan, dan kebiasaan menunda.

Kita sering mendengar alasan klasik: “Regulasi belum lengkap”, “Tender belum selesai”, “Proyek belum siap jalan.” Semua itu mungkin benar, tapi juga sekaligus menunjukkan bahwa birokrasi kita masih sibuk dengan dirinya sendiri, bukan dengan hasil.

Seorang pemimpin sejati justru bekerja dengan kesadaran waktu. Ia tahu bahwa setiap hari yang terbuang berarti rakyat kehilangan kesempatan. Tapi bagi sebagian pejabat, waktu hanyalah lembar administrasi, bukan detak kehidupan.
Barangkali itulah yang ingin disampaikan Purbaya: bahwa uang yang mengendap bukan sekadar saldo, tapi juga cermin dari kepemimpinan yang belum dewasa.

Purbaya tidak sedang berdebat. Ia sedang menunjukkan bahwa manajemen fiskal adalah cermin moral. Karena setiap rupiah yang tidak digunakan untuk rakyat adalah bentuk pengabaian terhadap amanah publik.

Sayangnya, tidak semua kepala daerah mampu membaca pesan itu. Ada yang menganggap kritik sebagai hinaan. Padahal, kritik adalah tanda bahwa pemerintah pusat masih peduli, bahwa sistem masih ingin diperbaiki. Tapi ego sering kali menutupi akal sehat.

Kita tentu berharap para kepala daerah tidak menjadi seperti Kang Dedy Mulyadi. yang lebih sibuk berkeliling mencari pembelaan daripada memperbaiki perencanaan. Karena sejatinya, klarifikasi tidak menggerakkan ekonomi. Yang menggerakkan adalah kerja nyata.

Watak antikritik tidak hanya berbahaya bagi pejabat, tapi juga bagi bangsa. Sebab dari watak itu lahir sistem yang tertutup, penuh kepura-puraan, dan miskin evaluasi. Negara yang demikian mudah kehilangan arah.

Sebaliknya, kejujuran seperti yang ditunjukkan Pramono, meski terasa pahit, justru membuka ruang pembenahan. Karena hanya dengan mengakui kekurangan, pembangunan bisa diarahkan kembali ke jalur yang benar.

Kita tidak sedang berbicara tentang siapa yang lebih pintar, tapi siapa yang lebih bijak.

Sebab dalam urusan pemerintahan, pengetahuan tanpa kerendahan hati hanya melahirkan arogansi administratif.
Dan dalam konteks sekarang, yang kita butuhkan bukan pejabat yang sibuk mengelak, tapi pemimpin yang mau belajar. Karena dana yang mengendap bisa diserap, tapi watak yang dangkal sulit diajarkan.

Purbaya telah menyalakan lampu kecil agar kita melihat ruang yang gelap.

Sayangnya, sebagian kepala daerah malah sibuk mematikan lampu itu karena silau oleh kenyataan.

Pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling keras membantah, tetapi siapa yang paling jujur berbenah. Sebab uang rakyat bisa dicairkan dalam sekejap, tetapi kepercayaan rakyat tidak bisa ditarik kembali bila sudah dibekukan oleh kesombongan.

Dan dari peristiwa ini, kita belajar satu hal penting: Ketika kritik datang, wajah sejati kekuasaan pun tampak.

Mustamin Raga
Pegiat lliterasi, tinggal di Gowa