Oleh Muliadi Saleh
PELAKITA.ID – Di sebuah taman kota, berdiri tegak patung-patung perlawanan: tangan mengepal, bambu runcing menusuk langit, wajah-wajah tegang membeku di tengah deru perang yang telah lama usai. Dari arah barat, sinar senja menimpa logam dan batu, menimbulkan kilau keperakan yang dingin.
Di situ, sejarah seakan tidak tidur — ia berjaga di setiap sorot mata patung yang menatap tajam ke masa depan, seolah masih siap bertempur melawan bayangan yang tak lagi ada.
Namun pertanyaan pun muncul: mengapa ruang-ruang publik kita — taman kota, monumen, bundaran — hampir selalu diisi dengan bahasa heroisme yang keras, garang, dan penuh dentum perlawanan?
Mengapa jarang kita temui patung yang tersenyum, anak-anak yang bermain, atau figur yang memeluk bunga dan menari bersama angin? Adakah ruang yang berbeda — yang memancarkan kelembutan, tawa, dan kedamaian — juga akan menumbuhkan jiwa kolektif yang berbeda?
Ketika kita berjalan di antara monumen-monumen itu, adakah kita merasa disapa kelembutan? Adakah ruang bagi tawa, pelukan, atau sekadar keheningan yang damai? Kota-kota kita seolah mematungkan satu sisi jiwa: keberanian dan perlawanan. Tapi di mana ruang bagi kasih dan kegembiraan?
Ruang sejatinya bukan sekadar wadah tubuh dan langkah, melainkan cermin batin kolektif — memantulkan nilai, rasa, dan cara berpikir suatu bangsa.
Arsitektur dan patung bukan hanya karya seni; mereka adalah bahasa tak bersuara yang perlahan membentuk cara kita merasa terhadap dunia.
Ruang memiliki kekuasaan yang halus. Ia tidak memerintah, tapi menuntun kesadaran. Patung bambu runcing menanamkan semangat juang; monumen kepalan tangan meneguhkan harga diri bangsa. Namun bila seluruh ruang publik hanya menampilkan gestur tegang dan garang, lambat laun jiwa kolektif pun akan menjadi cermin dari ketegangan itu.
Ruang adalah teks diam yang menulis ulang ingatan dan emosi kolektif. Setiap arsitektur, setiap patung, memiliki energi simbolik yang halus namun nyata — membentuk cara kita merasa, berpikir, dan bertindak. Ia adalah semacam spatial power — kekuasaan yang bekerja melalui bentuk ruang. Ia tidak memerintah, tetapi mengarahkan kesadaran.
Patung bambu runcing, misalnya, bukan sekadar simbol perjuangan fisik. Ia juga mengajarkan cara merasa terhadap masa lalu: bahwa hidup harus siap melawan; bahwa kemuliaan terletak pada keberanian; bahwa martabat bangsa ditakar dari luka dan darah.
Tak ada yang keliru di sana — sebab dari ruang seperti itu lahirlah semangat juang dan nasionalisme yang kokoh. Namun, bila seluruh ruang kita hanya memancarkan energi seperti itu, apakah tidak ada sesuatu yang hilang?
Ruang yang keras menanamkan ketegangan; ruang yang lembut menumbuhkan keseimbangan. Keduanya penting, tetapi keseimbangan di antara keduanya sering kali timpang.
Bayangkan, di tengah taman bambu runcing itu berdiri pula patung seorang ibu yang sedang menyusui, atau anak-anak yang berlarian mengejar kupu-kupu.
Bayangkan pula, di dekat monumen perjuangan, ada taman bunga atau kolam air yang menetes lembut — simbol damai setelah perang. Bukankah suasana batin kita akan menjadi lebih tenang, lebih manusiawi?
Jika simbol memengaruhi alam bawah sadar manusia, maka ruang publik yang terus menampilkan citra keras — kepalan tangan, senjata, wajah tegang — akan menyublimkan pola pikir serupa di masyarakat: tegas, namun mudah curiga; gagah, tapi kurang empati.
Sebaliknya, ruang yang lembut dan menenangkan — penuh lengkung, warna hangat, dan gestur kasih — akan menumbuhkan rasa syukur dan kehangatan sosial.
Seni publik adalah cermin jiwa kolektif. Bila cermin itu hanya memantulkan sisi heroik dan perlawanan, kita bisa lupa bahwa bangsa besar tidak hanya dibangun oleh para pejuang, tetapi juga oleh para pengasuh, guru, petani, seniman, dan anak-anak yang bermain di bawah cahaya sore.
Ruang yang garang menciptakan energi adrenalin — mendorong keberanian dan semangat bertahan. Tapi ruang yang lembut melatih kontemplasi, menumbuhkan cinta kasih, dan memperhalus nurani. Dalam psikologi lingkungan, hal ini dikenal sebagai emotional atmosphere — suasana emosional yang dibentuk oleh tata ruang, warna, cahaya, dan simbol.
Seseorang yang tumbuh di ruang penuh tanda kekerasan — bahkan dalam bentuk simbolik — akan lebih mudah menormalisasi ketegangan.
Sebaliknya, ruang yang menghadirkan harmoni dan keindahan memperkuat rasa tenteram dan empati sosial. Di sinilah kita memahami bahwa ruang sejatinya adalah guru diam bagi peradaban.
Mungkin sudah waktunya kita menata ulang lanskap simbolik bangsa ini: bukan untuk menghapus patung-patung perlawanan, tetapi untuk menyeimbangkannya dengan ruang-ruang kasih. Agar monumen heroisme berdampingan dengan taman keramahan; agar di antara kepalan tangan dan bambu runcing, ada juga tangan yang menggenggam bunga, wajah yang tersenyum, dan anak-anak yang tertawa.
Sebab bangsa yang hanya mengenang perang tanpa merayakan damai akan mudah lelah di tengah perjalanan sejarahnya sendiri. Bangsa yang hanya mematungkan perlawanan, tanpa mematungkan kebahagiaan, akan kehilangan separuh jiwanya.
Di situlah pentingnya menghadirkan ruang yang menyejukkan — ruang yang tidak hanya berbicara tentang kematian dan keberanian, tetapi juga tentang kehidupan dan keindahan.
Mungkin suatu hari nanti, taman-taman kita tak hanya dihiasi monumen garang, tapi juga patung tangan yang saling merangkul, anak-anak yang menari, dan perempuan yang menabur bunga di tepi air.
Di sanalah, bangsa ini benar-benar menemukan dirinya — bukan hanya sebagai pejuang yang gagah, tetapi juga sebagai manusia yang penuh kasih.
Sebab keindahan yang lembut pun adalah bentuk heroisme yang lain — heroisme untuk hidup dengan damai di dunia yang pernah berperang.
