Prof. Dr. Ir. A. Ida Rosada, M.Si, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia, mengirimkan artikel penting dan disebut ‘khusus’ untuk Pelakita.ID. Tentang Indonesia sebagai Poros Halal Dunia: Refleksi dari Rantai Pangan hingga Ilmu Pengetahuan. Mari simak.
PELAKITA.ID – Langit pagi itu cerah di kampus Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), tempat berlangsungnya International Conference on Halal, Sustainable and Ethical Industry (IC HALAL 7).
Sebuah perhelatan ilmiah lintas negara yang mempertemukan gagasan, riset, dan kesadaran global tentang makna halal yang kian meluas dan mendalam.
Konferensi yang berlangsung selama satu hari penuh ini diikuti sekitar 70 peserta, baik secara daring maupun luring. Mereka berasal dari kalangan dosen dan mahasiswa Malaysia dan Indonesia, serta para pembicara dari Malaysia dan Taiwan.
Suasana akademik terasa hangat dan penuh semangat kolaboratif. Kami berdiskusi bukan sekadar tentang label halal di kemasan produk, melainkan tentang halal sebagai falsafah hidup dan kerangka pembangunan berkelanjutan.
Halal: Dari Keyakinan Menuju Ekosistem Global
Dunia kini tak lagi memandang halal sebatas urusan umat Islam. Industri halal telah menjadi arus ekonomi global yang menggabungkan nilai spiritual, etika bisnis, dan keberlanjutan lingkungan.
Menariknya, arus besar ini juga digerakkan oleh negara-negara non-Muslim—seperti Taiwan.
Salah satu pembicara dari Taiwan, seorang peneliti muda, memaparkan bagaimana negaranya serius mengembangkan sistem rantai pasok halal. Taiwan memahami halal bukan sekadar ajaran agama, tetapi jaminan kualitas, kebersihan, dan integritas produk.
Nilai-nilai universal inilah yang menjadikan halal relevan bagi siapa saja, di mana saja.
Sementara itu, Malaysia telah jauh lebih matang dalam mengelola industri halal. Negeri jiran ini menempatkan halal sebagai strategi ekonomi nasional berbasis ilmu pengetahuan dan riset.
USIM, sebagai tuan rumah IC HALAL 7, memiliki lembaga riset halal yang aktif mengembangkan Halal Science and Management, lengkap dengan laboratorium analisis dan pusat audit halal.
Yang menarik, proses sertifikasi halal di Malaysia sangat efisien—hanya sekitar satu minggu untuk menyelesaikan seluruh tahapan perizinan. Semua proses dilakukan melalui sistem digital terintegrasi antara lembaga halal, kementerian, dan industri.
Bandingkan dengan Indonesia, di mana prosedur serupa bisa memakan waktu hingga satu bulan. Proses panjang ini sering kali menjadi beban bagi UMKM dan pelaku pertanian kecil, yang seharusnya menjadi ujung tombak ekonomi halal nasional.

Pertanian: Nadi dari Ekosistem Halal
Industri halal sejatinya berdenyut di ladang dan sawah. Sektor pertanian adalah jantung dari seluruh rantai nilai halal—dari benih yang ditanam petani, bahan baku pangan yang diolah di pabrik, hingga distribusi dan ekspor produk halal ke pasar dunia.
Halal bukan hanya tentang bahan yang boleh dikonsumsi, tetapi juga tentang proses yang suci dan beretika—mulai dari pemilihan bibit, penggunaan pupuk, pakan ternak, hingga sistem pengolahan dan pengemasan.
Konsep halalan thayyiban mengajarkan bahwa sesuatu yang halal harus juga baik, aman, dan berkeadilan.
Namun di Indonesia, tantangannya masih besar. Banyak aspek halal yang belum disentuh dengan pendekatan ilmiah. Sertifikasi halal sering bersifat administratif dan belum berbasis riset mendalam. Padahal, inilah saatnya kita memperkuat Halal Science—menjadikan kehalalan bagian dari sistem ilmiah, bukan sekadar urusan administratif atau ritualistik.
Perguruan Tinggi: Pilar Pengetahuan dan Transformasi Halal
Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam membangun masa depan industri halal. Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga harus menjadi pusat riset halal yang terintegrasi.
Fakultas pertanian, misalnya, dapat menjadi living laboratory untuk mengembangkan riset halal di sektor hulu—meneliti residu pestisida, bahan aditif, atau kontaminasi silang dalam pengolahan hasil pertanian. Perguruan tinggi juga dapat mencetak auditor halal profesional, lulusan yang tidak hanya memahami fikih, tetapi juga memiliki dasar kuat dalam sains pangan, bioteknologi, dan manajemen mutu.
Malaysia telah membuktikan keberhasilan model ini. Mereka menjadikan Halal Science and Management bagian dari kurikulum universitas, menghubungkan riset akademik dengan kebutuhan industri.
Dengan cara itu, mereka tidak hanya menghasilkan produk halal, tetapi juga ilmu halal yang menjadi fondasi bagi ekonomi etis global. Indonesia perlu segera menyusul, dengan fokus pada tiga agenda utama:
-
Reformasi birokrasi halal melalui sistem digital dan layanan terpadu yang cepat.
-
Peningkatan kapasitas SDM halal dengan pelatihan dan sertifikasi kompetensi lintas disiplin.
-
Sinergi riset dan industri agar hasil penelitian perguruan tinggi dapat langsung diterapkan pada sektor produksi dan ekspor halal.
Menatap Masa Depan Halal Indonesia
Dari ruang konferensi IC HALAL 7 di USIM, tumbuh satu kesadaran kuat: dunia sedang menatap Indonesia. Negeri dengan populasi muslim terbesar ini memiliki tanggung jawab sekaligus peluang besar untuk menjadi poros halal dunia—bukan hanya karena jumlah umatnya, tetapi juga karena potensi sumber daya alam, kekayaan pertanian, dan kekuatan moral budayanya.
Namun untuk menuju ke sana, Indonesia harus berani melakukan reformasi sistemik—menyatukan iman, ilmu, dan kebijakan dalam satu arah: pembangunan halal yang berkemajuan.
Halal bukan hanya label di kemasan produk. Ia adalah nilai, integritas, dan peradaban.
Ia adalah komitmen untuk hidup bersih, jujur, dan berkelanjutan—dari ladang petani hingga meja makan manusia modern.
Jika Taiwan dan Malaysia mampu menapaki jalan halal dengan kesungguhan dan kecepatan, Indonesia pun bisa.
Asalkan kita memandang halal bukan sekadar kewajiban agama, tetapi sebagai jalan ilmu, jalan berkah, dan jalan masa depan.
Dan dari ruang ilmu seperti IC HALAL 7 inilah, peradaban halal Indonesia tengah disemai—dengan harapan, doa, dan ilmu pengetahuan yang berakar di tanah yang halal dan subur.
Editor: Kamaruddin Azis
