Merokok di ruang itu berarti menodai kesakralannya—sebuah bentuk ketidakhormatan bukan hanya pada hukum atau guru, tetapi juga pada roh pendidikan itu sendiri.
PELAKITA.ID – Pendidikan bukan semata urusan mentransfer ilmu pengetahuan. Ia juga merupakan proses menanamkan karakter, menumbuhkan disiplin, serta membangun etika publik.
Sebuah sekolah atau universitas yang berkualitas tinggi karena itu bukan hanya tempat belajar, melainkan cermin dari cara masyarakat seharusnya hidup.
Salah satu wujud paling nyata dari prinsip ini tampak pada bagaimana lembaga pendidikan ternama menegakkan larangan merokok di ruang kelas, di lingkungan kampus, bahkan di area sekitarnya.
Larangan itu bukan sekadar aturan administratif atau pilihan gaya hidup—melainkan pernyataan komitmen yang lebih dalam terhadap hukum, kesehatan publik, tanggung jawab bersama, dan penghormatan atas misi moral serta intelektual pendidikan.
Landasan Hukum: Melindungi Kesehatan dan Ruang Publik
Larangan merokok di lembaga pendidikan pertama-tama berdiri di atas landasan hukum. Di berbagai negara, regulasi kesehatan publik telah menetapkan sekolah dan universitas sebagai zona tanpa asap rokok.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tahun 2003 menyerukan kepada setiap negara anggota untuk melindungi warganya dari paparan asap tembakau, terutama di tempat-tempat umum dan fasilitas pendidikan.
Menindaklanjuti seruan tersebut, banyak pemerintah memberlakukan peraturan yang melarang merokok di area sekolah dan universitas. Di Amerika Serikat, misalnya, Clean Air Act dan berbagai peraturan daerah mempertegas larangan merokok di ruang publik tertutup termasuk ruang kelas dan gedung administrasi.
Di Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 secara tegas melarang merokok di sekolah, fasilitas kesehatan, dan rumah ibadah. Peraturan serupa juga berlaku di Uni Eropa, Jepang, dan Australia.
Kerangka hukum ini menyampaikan pesan moral yang jelas: pendidikan dan tembakau tidak bisa berjalan beriringan.
Dari sisi hukum, larangan tersebut bukan sekadar tindakan represif, melainkan instrumen perlindungan. Hukum menempatkan siswa—terutama yang masih muda—sebagai kelompok rentan terhadap pengaruh kebiasaan dan lingkungan.
Dengan menegakkan kebijakan bebas asap rokok, sekolah menjalankan tanggung jawab hukumnya untuk melindungi siswa, guru, dan tamu dari bahaya asap rokok, baik aktif maupun pasif. Dengan demikian, hukum menjadi sekutu moral bagi misi pendidikan: menjaga kehidupan, memajukan kesehatan, dan membentuk masyarakat yang bertanggung jawab.
Sikap Kelembagaan: Budaya Sehat dan Disiplin Diri
Namun, di balik hukum, terdapat hal yang lebih dalam: sikap kelembagaan—budaya yang membentuk wajah sebuah sekolah atau universitas.
Lembaga pendidikan yang berkualitas tinggi menolak rokok bukan karena mengikuti tren, melainkan karena rokok bertentangan dengan nilai-nilai dasar pembelajaran, disiplin, dan kemajuan.
Universitas sejatinya adalah ruang di mana gagasan tumbuh, di mana rasa ingin tahu bertemu dengan penelitian, dan di mana disiplin diri menjadi penopang pencapaian. Merokok, di sisi lain, adalah simbol dari ketergantungan dan kehilangan kendali. Bayangan seorang mahasiswa atau dosen yang menyalakan rokok di dalam kelas adalah ironi yang merusak atmosfer intelektual yang seharusnya suci bagi pencarian ilmu.
Lembaga yang berkualitas menumbuhkan budaya kesejahteraan—mendorong olahraga, kesehatan mental, serta mengedukasi warganya tentang bahaya rokok.
Universitas seperti Harvard, Oxford, atau University of Tokyo telah menerapkan kebijakan bebas rokok di seluruh kampus, disertai program konseling dan pendampingan bagi mereka yang berupaya berhenti. Tujuannya bukan menghukum, tetapi memulihkan; bukan menyingkirkan, tetapi menumbuhkan kesadaran baru—bahwa kesehatan diri adalah bentuk penghargaan tertinggi atas kehidupan dan ilmu.
Sekolah, dalam arti yang lebih luas, menjadi ekosistem yang memelihara tubuh sekaligus pikiran. Lingkungan bebas asap memastikan ruang belajar tetap sehat secara fisik, aman secara psikologis, dan subur secara intelektual.
Larangan merokok, pada titik ini, bukan sekadar peraturan, melainkan bagian dari filsafat pendidikan itu sendiri: bahwa pencarian ilmu harus berjalan seiring dengan upaya menjaga keseimbangan, kesehatan, dan pengendalian diri.
Penghormatan terhadap Gagasan: Fondasi Etika Pembelajaran
Di jantung permasalahan ini bersemayam nilai tertinggi: penghormatan.
Bukan hanya terhadap peraturan, melainkan terhadap gagasan itu sendiri. Sekolah dan universitas yang berkualitas berdiri di atas prinsip bahwa ilmu dan kebenaran adalah sesuatu yang layak dihormati. Ruang kelas adalah tempat suci bagi dialog intelektual, kreativitas, dan pembentukan moral.
Merokok di ruang itu berarti menodai kesakralannya—sebuah bentuk ketidakhormatan bukan hanya pada hukum atau guru, tetapi juga pada roh pendidikan itu sendiri.
Secara filosofis, pendidikan adalah kebaikan publik, bukan kenikmatan pribadi. Ia bertumpu pada kesepakatan moral antara guru, pengelola, dan murid untuk menjunjung norma demi kebaikan bersama.
Ketika sebuah lembaga menegakkan larangan merokok, sesungguhnya ia sedang memperbaharui kontrak etis itu—bahwa belajar adalah kerja kolektif, dan kesejahteraan seseorang tidak boleh dibangun di atas ketidaknyamanan orang lain.
Lebih jauh lagi, penghormatan terhadap gagasan juga berarti penghormatan terhadap sains. Fakta ilmiah tentang bahaya rokok tak terbantahkan: tembakau adalah salah satu penyebab kematian yang paling bisa dicegah di dunia.
Mengabaikan pengetahuan ini berarti menolak kebenaran yang diajarkan oleh ilmu itu sendiri—sebuah kemunafikan intelektual. Karena itu, universitas yang sejati harus konsisten antara yang diajarkan dan yang dijalankan. Lembaga yang mengajarkan kesehatan masyarakat atau etika lingkungan tetapi membiarkan rokok beredar di kampusnya, sejatinya tengah berbohong kepada dirinya sendiri.
Kisah di Balik Aturan: Dari Kesadaran menuju Transformasi
Perjalanan menuju kampus bebas asap sesungguhnya mencerminkan transformasi sejarah yang panjang. Pada awal abad ke-20, merokok kerap dianggap simbol keanggunan—bahkan keilmuan.
Dosen-dosen zaman dahulu bisa saja menyampaikan kuliah sambil mengisap pipa atau rokok, seolah-olah asapnya adalah bagian dari atmosfer akademik. Namun, sejak penelitian medis pada 1950-an dan 1960-an mengungkap keterkaitan antara tembakau, kanker, dan penyakit jantung, pandangan itu pun berubah drastis.
Memasuki dekade 1980-an, gagasan tentang kampus sehat mulai mengakar. Lembaga pendidikan di berbagai belahan dunia mulai menutup area merokok dan menggantinya dengan ruang terbuka yang ramah bagi semua.
Pergeseran ini tidak semata karena alasan kesehatan, tetapi karena kesadaran baru: bahwa pendidikan adalah miniatur masyarakat yang diidamkan—rasional, disiplin, dan penuh empati.
Dengan menegakkan larangan merokok, lembaga pendidikan sedang membentuk karakter warga masa depan: mereka yang menghormati diri sendiri, peduli pada sesama, dan menjaga alam sekitarnya.
Pembaca sekalian, pada akhirnya, sekolah dan universitas berkualitas menjauhi rokok bukan hanya karena kewajiban hukum, tetapi karena tuntutan moral: menjaga kesehatan, membangun budaya disiplin, dan menghormati ilmu.
Di balik setiap tanda “dilarang merokok”, tersimpan kisah panjang tentang integritas, tanggung jawab, dan misi kemanusiaan pendidikan.
Larangan itu bukan pengekangan, melainkan pembebasan—membebaskan ruang belajar dari asap, dari ketergantungan, dari kepalsuan. Ia mengajak siswa dan pendidik untuk hidup sesuai nilai-nilai yang mereka pelajari: akal di atas nafsu, disiplin di atas kebiasaan, dan kepentingan bersama di atas kenikmatan pribadi.
Dalam dunia pendidikan, pilihan untuk tidak merokok bukan hanya keputusan pribadi.
Ia adalah pernyataan nilai—dan dalam pernyataan itulah, sekolah dan universitas terbaik di dunia telah memilih berpihak pada kehidupan, pada ilmu, dan pada masa depan.
___
Tamarunang, 15 Oktober 2025
1. Regulasi dan Kebijakan Internasional
-
World Health Organization (WHO). (2003). Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Geneva: WHO.
Dokumen internasional yang menjadi dasar kebijakan bebas rokok di lembaga pendidikan di seluruh dunia. -
World Health Organization. (2021). WHO Report on the Global Tobacco Epidemic 2021: Addressing new and emerging products. Geneva: WHO Press.
Laporan ini menegaskan pentingnya kawasan tanpa rokok termasuk sekolah dan universitas sebagai bagian dari strategi global pengendalian tembakau.
2. Regulasi Nasional (Indonesia)
-
Pemerintah Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Menetapkan larangan merokok di fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan rumah ibadah. -
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 188/Menkes/PER/IX/2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Mengatur pelaksanaan kawasan tanpa rokok termasuk di sekolah, tempat kerja, dan sarana umum.
3. Regulasi Negara Lain (Sebagai Perbandingan)
-
United States Environmental Protection Agency (EPA). (1990). Clean Air Act (42 U.S.C. 7401 et seq.)
Melarang merokok di ruang publik tertutup termasuk fasilitas pendidikan. -
European Union. (2009). Council Recommendation on Smoke-free Environments (2009/C 296/02).
Mendorong negara anggota Uni Eropa untuk menetapkan zona bebas asap di sekolah, universitas, dan tempat kerja. -
Australian Government Department of Health. (2020). Smoke-free environments policy.
Mengatur kewajiban semua institusi pendidikan untuk menerapkan kebijakan bebas asap rokok di seluruh area kampus.
4. Literatur Akademik dan Sumber Ilmiah
-
Chapman, S., & Wakefield, M. (2001). Public health advocacy and tobacco control: Making smoking history. Oxford: Blackwell.
Buku ini menjelaskan perubahan sosial dan kebijakan publik dalam membangun lingkungan bebas rokok, termasuk peran institusi pendidikan.
