Mustamin Raga | Bekerja Sistemik vs Bekerja Mengejar Citra

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Bekerja sistemik itu seperti menanam pohon jati, butuh waktu bertahun-tahun, tapi hasilnya kokoh. Sedangkan bekerja mengejar popularitas itu seperti menanam rumput hias, tumbuh cepat, tapi segera kering begitu musim hujan reda.

PELAKITA.ID – Di negeri ini, bekerja itu ada dua macam, yakni bekerja dengan sistem dan bekerja dengan kamera. Yang pertama sibuk menyusun kebijakan, yang kedua sibuk mencari pencahayaan.

Yang satu memikirkan rakyat, yang lain memikirkan sudut pengambilan gambar. Dan anehnya, yang kedua justru lebih cepat disebut “pemimpin hebat.”

Dari Rapat ke Rekaman

Bekerja sistemik itu tidak menonjol. Ia seperti akar, tidak kelihatan, tapi menopang pohon berdiri tegak. Sedangkan bekerja mengejar citra itu seperti kembang plastik di ruang tamu, selalu tampak segar, tak butuh air, dan selalu cocok difoto.

Para pekerja sistemik biasanya memulai pagi dengan membaca data, meninjau rencana, dan menimbang dampak kebijakan. Sedangkan para pemburu citra memulai pagi dengan bertanya:

“Sudah siap kameranya?”

Tak heran, yang satu sibuk menyiapkan sistem kesehatan, yang lain sibuk menyiapkan kostum safari warna khaki untuk “blusukan”. Rakyat sakit tetap antre di puskesmas, tapi videonya viral dan katanya itu sudah cukup membuat hati rakyat tenang.

Padahal tindakan tanpa refleksi adalah kekerasan terhadap nalar. Tapi di sini, tindakan tanpa refleksi malah disebut inovasi. Yang penting cepat, meskipun arah belum jelas.

Kita yang Gemar Drama

Kita hidup di masa di mana politik berubah menjadi sinetron panjang tanpa akhir. Ada episode pemimpin marah-marah di depan kamera, episode bagi-bagi sembako sambil disorot lampu, hingga episode inspeksi mendadak yang tentu saja… tidak mendadak bagi kru media.

Guy Debord menyebutnya society of the spectacle — masyarakat tontonan.

Di Indonesia, istilah itu mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai “pemerintahan rasa infotainment.” Setiap kegiatan harus punya angle, setiap keputusan harus bisa dijadikan caption. Bahkan kebijakan pun kini harus instagramable.

Yang penting ada pose, ada senyum, ada drone yang terbang. Soal efektivitas kebijakan? Bisa dibahas nanti asal jangan pas jam tayang utama.

Rakyat yang Gampang Tersentuh

Tentu saja, drama semacam itu berhasil karena kita sendiri yang gemar baper. Begitu lihat pejabat turun ke jalan di tengah hujan, langsung terharu dan berucap, “Itu baru pemimpin sejati!”

Padahal, yang lebih sejati mungkin justru staf kecil di belakang meja yang menyusun laporan keuangan agar proyek itu tak dikorupsi. Tapi ya, siapa yang peduli pada staf yang tidak pernah masuk berita?

Di negeri ini, kamera adalah sumber kebenaran. Jika terekam, maka dianggap nyata. Jika tidak terekam, dianggap tidak bekerja. Maka jangan salahkan jika banyak pejabat mulai berpikir: “Daripada repot membangun sistem yang hasilnya lima tahun lagi, mending membangun citra yang bisa trending lima menit lagi.”

Antara Sistem dan Sorot Lampu

Bekerja sistemik itu seperti menanam pohon jati, butuh waktu bertahun-tahun, tapi hasilnya kokoh. Sedangkan bekerja mengejar popularitas itu seperti menanam rumput hias, tumbuh cepat, tapi segera kering begitu musim hujan reda.

Max Weber pernah berkata, pemimpin sejati bekerja berdasarkan etika tanggung jawab, bukan etika perasaan. Tapi di sini, banyak pemimpin bekerja dengan etika penampilan.

Yang penting ekspresinya pas, nada suaranya tegas, dan hasilnya bisa dikompilasi jadi video motivasi dua menit.

Kita sering lihat saat rakyat kelaparan, ada pemimpin yang muncul membagikan sembako sambil tersenyum manis ke kamera. Bantuan mungkin hanya cukup untuk dua hari, tapi senyumnya bertahan di baliho selama tiga bulan.

Lomba Cepat Populer

Sekarang, jabatan publik nyaris seperti ajang pencarian bakat.
Yang penting punya branding. Ada yang tampil dengan gaya “pemimpin sederhana,” ada yang “tegas tapi berjiwa muda,” ada juga yang “nyentrik tapi merakyat.” Padahal kalau sistemnya tetap lemah, semua gaya itu hanya variasi dari kebijakan yang sama-sama tidak tahan lama.

Paulo Freire menulis, “Kesadaran kritis adalah langkah pertama menuju pembebasan.”

Namun di sini, banyak pejabat tampaknya lebih percaya bahwa “kesadaran kamera adalah langkah pertama menuju popularitas.” Maka tak heran bila setiap kali banjir, mereka lebih cepat datang membawa rombongan wartawan ketimbang alat berat. Air memang belum surut, tapi citra sudah mengalir deras ke layar televisi.

Rakyat yang Cerdas, Pemimpin yang Gelisah

Namun lambat laun, rakyat mulai cerdas juga. Mereka mulai bertanya: kenapa jalan yang baru diperbaiki tahun lalu sudah rusak lagi? Kenapa proyek besar dibuka megah tapi sepi manfaat? Dan kenapa pemimpinnya makin sering muncul di televisi tapi makin jarang muncul di rapat?

Saat pertanyaan -pertanyaan itu muncul, para pemburu citra mulai gelisah. Mereka sadar bahwa tepuk tangan publik punya masa kedaluwarsa.

Popularitas tanpa hasil nyata itu seperti kembang api: memukau sejenak, lalu meninggalkan asap dan bau gosong.

Dari Kamera ke Cermin

Pemimpin yang bekerja sistemik biasanya memulai harinya di depan cermin, bertanya:

“Apa yang sudah saya benahi hari ini agar sistem berjalan lebih baik?”

Pemimpin yang mengejar citra memulai harinya di depan kamera, bertanya:

“Sudut ini sudah bagus belum untuk live streaming?”

Yang pertama berurusan dengan realita, yang kedua berurusan dengan resolusi.
Dan anehnya, di negeri yang penuh masalah sistemik, yang sering dipuji justru mereka yang paling rajin mengadakan konferensi pers.

Akhirnya, Kita Menertawakan Diri Sendiri

Barangkali inilah saatnya kita menertawakan diri sendiri. Menertawakan betapa mudahnya kita terpikat oleh simbol dan lupa pada substansi. Menertawakan betapa seringnya kita memuji pemimpin yang bekerja seperti influencer, tapi menuduh lamban mereka yang justru sibuk memperbaiki sistem.

Socrates pernah bilang, “Orang bijak berbicara karena ia punya sesuatu untuk dikatakan; orang bodoh berbicara karena ia harus mengatakan sesuatu.”

Di zaman sekarang, mungkin bisa ditambah:

“Orang bijak bekerja karena ia punya rencana; orang populer bekerja karena ada kamera.”

Dan ketika kamera padam, barulah kita sadar yang tersisa hanyalah sistem yang bolong dan rakyat yang tetap menunggu solusi.

Kerja yang Tak Perlu Disorot

Mungkin kita perlu kembali ke hal paling sederhana: kerja yang benar tak perlu disorot kamera. Kerja yang sistemik akan bersuara lewat hasil, bukan lewat video.

Dan pemimpin sejati tidak butuh pencitraan, sebab cahaya kerjanya akan memantul sendiri di mata rakyatnya. Sebab pada akhirnya, sejarah tidak akan menulis siapa yang paling sering tampil di televisi, tetapi siapa yang diam-diam memperbaiki sistem hingga rakyat bisa hidup lebih baik tanpa perlu menunggu sorotan lampu.

Dan kalau nanti ada pejabat yang terlalu rajin masuk berita, biarkan saja, mungkin itu cara Tuhan menghibur rakyat di tengah kebingungan. Kasian Rakyatnya……selalu dibuat bingung……

Gerhana Alauddin, 22 Oktober 2025