PELAKITA.ID – Ada masa ketika manusia lupa bahwa hidup ini adalah karunia yang berjalan tanpa jeda. Kita terbiasa dengan sehat, hingga baru menyadari nilainya ketika tubuh mulai letih. Kita terbiasa dengan kelimpahan, hingga baru merasa kehilangan saat rezeki tertunda sehari saja.
Kita terbiasa dengan kasih sayang, hingga baru merasakan kehadirannya justru setelah ia menjauh. Begitulah tabiat kita, mudah merasa kekurangan di tengah kelimpahan, dan lambat bersyukur meski rahmat Allah SWT tak pernah berhenti mengalir.
Padahal, jika seluruh nikmat itu dicabut hanya sehari, kita akan tahu betapa selama ini DIA telah terlalu baik. Sakit yang datang sesekali bukanlah murka, melainkan panggilan lembut agar kita sadar telah lama menikmati sehat tanpa berterima kasih.
Kekurangan yang menyinggah sesaat bukanlah adzab, melainkan ruang hening agar kita belajar menundukkan diri di hadapan Sang Pemberi.
Manusia sering menilai hidup dari yang tampak: uang, jabatan, kedudukan, keberuntungan. Padahal nikmat sejati justru tersembunyi dalam hal-hal yang tak kita sadari : napas yang teratur, tidur yang nyenyak, air yang jernih, dan hati yang masih bisa merasakan kasih.
Kita tak pernah memohon agar matahari terbit setiap pagi, namun ia tetap datang tanpa alpa. Kita tak pernah meminta agar jantung tetap berdetak, namun ia bekerja tanpa lelah sejak hari pertama kita dilahirkan.
Begitu banyak yang kita terima, begitu sedikit yang kita syukuri. Seolah nikmat adalah hak, bukan pemberian. Padahal semuanya hanyalah pinjaman, dan pinjaman selalu berhak ditarik kapan saja. Maka ketika hidup terasa berat, jangan buru-buru menuduh Allah SWT tak adil.
Mungkin, DIA hanya sedang mengingatkan kita agar menundukkan kepala dan melihat kembali jejak kebaikan-Nya yang telah menumpuk di sepanjang perjalanan hidup.
Al-Qur’an mengingatkan dengan tegas: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34)
Betapa ayat itu seperti cermin, memperlihatkan betapa kecilnya rasa terima kasih kita dibandingkan dengan luasnya kasih-NYA.
Kita hanya mengingat satu kehilangan, tapi melupakan seribu karunia yang masih kita genggam. Kita kecewa karena doa tertentu belum terkabul, tapi lupa bahwa ribuan doa telah dijawab tanpa kita sadari: doa untuk hidup hari ini, doa untuk masih bisa bernafas, untuk masih bisa mencintai, dan dicintai.
Rasulullah bersabda: “Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang yang di atasmu, karena hal itu lebih pantas agar kamu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.”
Syukur sejati tidak lahir dari kelimpahan, melainkan dari kesadaran. Orang yang bersyukur bukanlah yang memiliki segalanya, tapi yang melihat segala sesuatu sebagai pemberian.
Ia tidak menunggu keadaan sempurna untuk berterima kasih. Ia tahu, setiap detik adalah pinjaman yang pantas disyukuri.
Bayangkan: seandainya Allah SWT menarik nikmat penglihatan hanya satu jam saja, betapa gelapnya dunia ini. Seandainya pendengaran tertutup sehari, betapa sepi kehidupan.
Seandainya udara tak lagi bisa dihirup, seluruh kekayaan dan jabatan kehilangan makna. Maka bersyukur bukanlah pilihan, melainkan kewajaran yang seharusnya hidup di setiap kesadaran manusia.
Namun ironisnya, kita baru sadar saat kehilangan datang. Saat sakit membuat tubuh tak berdaya, barulah kita mengingat masa-masa sehat. Saat rezeki terhenti, barulah kita teringat betapa mudahnya hidup kemarin. Saat kehilangan seseorang, barulah kita tahu betapa besar arti kebersamaan.
Padahal semua itu tak pernah hilang begitu saja. Allah SWT hanya menundanya sejenak agar kita belajar menghargai.
Syukur bukan sekedar ucapan Alhamdulillah di bibir, tetapi cara pandang yang menenangkan jiwa. Ia mengubah luka menjadi pelajaran, kehilangan menjadi kesadaran, dan cobaan menjadi jalan pulang kepada NYA. Syukur mengajarkan kita untuk tetap tersenyum di tengah hujan, karena kita tahu hujan pun adalah berkah.
Jika kita mampu bersyukur dalam sempit dan lapang, dalam sehat maupun sakit, maka kita telah mencapai kebijaksanaan tertinggi: menerima hidup sebagaimana adanya. Sebab setiap keadaan adalah pesan Ilahi, setiap kesulitan menyimpan rahmat tersembunyi.
Maka, jangan tunggu kehilangan untuk belajar menghargai, dan jangan tunggu penderitaan untuk belajar berterima kasih. Allah SWT tidak menuntut kita membalas semua nikmat-Nya, cukup dengan hati yang sadar dan lidah yang lembut mengucap, “Terima kasih, ya Allah.”
Karena sejatinya, bersyukur bukan tanda bahwa hidup kita sempurna, melainkan tanda bahwa kita masih melihat cahaya di balik segala kekurangan. Dan pada saat kita mampu bersyukur dalam segala keadaan—di situlah Allah SWT sedang tersenyum, karena hamba-Nya telah mengerti makna hidup yang sesungguhnya.
Gerhana Alauddin, tanggal tua Oktober 2025
