Muliadi Saleh | Ruang, Waktu, dan Seni Mengisi Keluangan

  • Whatsapp
Muliadi Saleh (dok: Istimewa)

Dalam perspektif filsafat eksistensial, waktu bukan hanya kronologi, melainkan kualitas kehadiran. Heidegger menyebutnya Sein-zum-Tode—ada menuju mati—yakni kesadaran bahwa setiap waktu yang kita habiskan adalah gerak menuju kefanaan.

PELAKITA.ID – Ada yang menyebut waktu sebagai sungai yang terus mengalir, dan ruang sebagai tepiannya. Di antara keduanya, manusia berdiri—kadang menatap arusnya, kadang sekadar duduk di tepian sambil menunggu sesuatu yang tak pasti.

Maka ketika akhir pekan tiba, sebenarnya bukan hari libur yang datang kepada kita, tetapi ruang dan waktu yang memberi kesempatan untuk kita menata kembali makna keberadaan.

Weekend sering disalahpahami sebagai jeda tanpa arah. Kita ingin beristirahat, tapi tak jarang justru lelah.

Kita ingin tenang, tapi justru dikejar bayangan pekerjaan yang belum selesai, atau sepi yang tak diundang.

Padahal, waktu luang bukan ruang kosong yang harus diisi serampangan. Ia adalah taman batin tempat manusia belajar berdiam dengan dirinya sendiri.

Para sufi kerap menyinggung waktu sebagai dzarrah—butiran halus dari kehadiran Ilahi yang terus bergulir. Setiap detik, kata Jalaluddin Rumi, adalah “pintu kecil menuju keabadian.” Maka akhir pekan bukan sekadar Sabtu dan Minggu di kalender, tapi momen kecil untuk membuka pintu itu—menyapa diri, menenangkan jiwa, dan mengingat bahwa hidup bukan hanya deret aktivitas, tetapi juga keheningan yang bermakna.

Di dalam tradisi Islam, waktu adalah amanah, dan keluangan adalah ujian. Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Maka, waktu luang bukan milik mereka yang tak bekerja, tapi milik mereka yang mampu memberi makna pada diamnya jam.

Bila kita pandang lebih dalam, ruang dan waktu itu tidak berdiri sendiri. Ruang adalah wadah keberadaan; waktu adalah denyutnya. Ruang memberi kita tempat untuk berpijak, sementara waktu memberi arah bagi langkah. Dan ketika keduanya bersenyawa dalam keseharian, muncullah yang disebut “pengalaman.” Maka weekend sejatinya bukan tentang liburan atau rebahan, tapi tentang pengalaman batin yang memperluas ruang jiwa dan memperdalam makna waktu.

Di taman, udara pagi membawa pesan sunyi dari daun-daun yang jatuh perlahan. Di antara aroma kopi yang menenangkan dan buku yang belum selesai dibaca, ada dialog senyap antara manusia dan semesta. Saat itulah, waktu luang berubah menjadi ruang zikir, bukan sekadar istirahat.

Dalam perspektif filsafat eksistensial, waktu bukan hanya kronologi, melainkan kualitas kehadiran. Heidegger menyebutnya Sein-zum-Tode—ada menuju mati—yakni kesadaran bahwa setiap waktu yang kita habiskan adalah gerak menuju kefanaan.

Sementara dalam pandangan sufi, waktu adalah nafas ar-Rahman, hembusan kasih sayang Allah SWT yang menghidupkan setiap detik. Maka mengisi waktu luang berarti belajar menyadari hembusan itu—tidak terburu-buru, tidak juga menunda.

Weekend, dengan segala kelonggaran dan kesepiannya, seharusnya menjadi ruang refleksi. Di sanalah manusia menulis ulang peta dirinya: apa yang sudah dilakukan, apa yang perlu diperbaiki, dan ke mana langkah akan diarahkan. Ia bisa berupa perjalanan ke alam, percakapan dengan keluarga, atau sekadar merenung di kamar yang tenang.

Pada akhirnya, yang penting bukan seberapa sibuk kita mengisi weekend, tapi seberapa dalam kita hadir di dalamnya. Karena ruang tanpa kehadiran hanyalah dinding kosong, dan waktu tanpa kesadaran hanyalah angka di kalender.

Maka, isilah keluanganmu bukan dengan pelarian, tetapi dengan pengembalian—kepada diri, kepada sesama, kepada Tuhan. Sebab, waktu yang terisi dengan makna adalah bentuk tertinggi dari istirahat; ruang yang diisi dengan kesadaran adalah tempat paling damai untuk pulang.

“Sesungguhnya di dalam pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)

Weekend hanyalah bagian kecil dari pergantian itu—saat kita belajar bahwa setiap ruang adalah kesempatan, dan setiap waktu adalah panggilan untuk kembali menjadi manusia yang sadar, hadir, dan bersyukur.