Sabuk Hijau Terakhir Kota Makassar

  • Whatsapp
Peta kawasan sabuk hijau sekitar Untia dan Lantebung (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Pernah dengar rencana reklamasi ekosistem pesisir di Untia atau Lantebung? Bagi yang pernah berkunjung ke situ, reklamasi atau menguruk tanah sudah sering. Sejumlah gedung, permukiman, dan bahkan pelabuhan perikanan di situ pasti pernah mereklamasi lubang atau ceruk demi bangunan mereka bukan?

Bagaimana dengan reklamasi skala luas demi bangunan baru atau peruntukan baru yang disebut sampai puluhan hektar di lanskap itu?

Desas-desusnya ada, tapi demi itu pula artikel ini hadir.

Sosodara, di tengah deru pembangunan pesisir Makassar yang kian masif, tersisa satu kawasan yang masih menyimpan ekosistem warna hijau alami atau greenbelt atau sabuk hijau, atau ekosistem mangrove —Untia dan Lantebung.

Terletak di bagian utara kota, kawasan ini sesungguhnya adalah benteng terakhir hutan mangrove yang disebut pernah melingkupi pesisir Makassar dari Barombong ke Tallo atau Biringkanaya dengan luas lebih dari 400 hektare.

Kini, menurut temuan Pelakita.ID, hanya sekitar 68 hektare yang tersisa, bertahan di bawah tekanan desis hasrat investasi, real-estate hingga permukiman warga yang terus merangsek jauh ke labirin akar-akar propagul.

Mangrove di Untia–Lantebung bukan sekadar pepohonan yang tumbuh di lumpur. Ia adalah rumah bagi udang, kepiting, dan ikan yang menjadi sumber pangan masyarakat pesisir. Ia menyerap karbon, meredam banjir rob, dan melindungi garis pantai dari abrasi. Namun fungsi-fungsi vital itu kini terancam.

Dalam dua dekade terakhir, Makassar kehilangan lebih dari 80 persen tutupan mangrove-nya—penurunan drastis yang bukan karena bencana alam, melainkan ulah manusia: tambak, pelabuhan, perumahan, hingga reklamasi.

Ironisnya, upaya konservasi seperti penanaman bibit mangrove oleh pejabat publik dan perusahaan tetap berlangsung, tetapi tak mampu membendung derasnya proyek pembangunan yang justru merusak kawasan itu.

Sosok seperti Saraba, penerima Kalpataru dari KLHK dari kawasan ini, adalah simbol harapan—namun harapan butuh lebih dari sekadar simbol. Ia butuh perlindungan nyata.

Tantangan yang dihadapi sangat konkret: sengketa lahan, lemahnya penegakan Perda zonasi pesisir, dan absennya kepastian hukum menjadikan ekosistem mangrove seperti rumah tanpa pagar. Siapa saja bisa masuk, merusak, lalu pergi tanpa pertanggungjawaban.

Meski begitu, jalan keluar bukan tidak pernah ada. Rehabilitasi yang dilakukan oleh komunitas, dukungan perusahaan seperti PT Pelindo bahkan, organisasi alumni, Unhas yang merestorasi puluhan hektare mangrove, serta penanaman puluhan ribu bibit beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa perbaikan bisa dilakukan.

Lalu apa yang penting bagi konservasi ekosistem mangrove di Makassar saat ini? Yang dibutuhkan adalah komitmen politik, regulasi yang ditegakkan, dan kesadaran kolektif warga kota bahwa menjaga Untia–Lantebung bukan hanya soal menyelamatkan pohon-pohon bakau, tetapi soal merawat warisan ekologis kota.

Kini saatnya memilih: ingin kita wariskan Makassar yang kuat karena alamnya dijaga, atau kota yang kehilangan arah karena alamnya dikorbankan?

___
Denun

Tamarunang, 27 Juni 2025