Kucing Hitam Bernama Baso, pada Sebuah Pagi di Barbershop

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Pagi itu tak ada yang luar biasa. Langit biasa. Angin biasa. Bahkan langkah saya ke barbershop langganan pun terasa seperti ritual sunyi yang sering saya ulang—datang, duduk, dicukur, bayar, lalu pergi. Tapi rupanya, Tuhan punya cara lain merias pagi. Dengan seekor kucing hitam bernama Baso.

Saya datang di waktu toko baru dibuka. Suasana masih sepi. Sang pemilik barbershop—seorang lelaki bersahaja dengan rambut sedikit beruban dan tangan yang sigap menggenggam gunting—menyambut saya dengan senyum ringan. ‘

Tanpa banyak basa-basi, saya duduk di kursi putar yang sudah sedikit reyot. Cermin di depan saya menampakkan wajah yang memuat kelelahan hari-hari, dan rambut yang mulai tak beraturan.

Kami berbincang soal hal-hal kecil: lemari tua di sudut ruangan, kabar tukang cukur lain yang pindah ke kota, harga minyak goreng, hingga perang Iran-Israel yang lagi viral.

Tiba-tiba, terdengar suara tok-tok-tok kecil dari arah pintu kaca. Seperti ketukan halus, bukan oleh manusia, melainkan oleh sesuatu yang lebih ringan. Kami menoleh bersamaan.

Seekor kucing hitam, bulunya lebat dan matanya tajam tapi bersahabat, berdiri di depan pintu. Seolah mengetuk minta izin masuk. Sang pemilik tersenyum. “Itu Baso,” katanya. “Kucing saya.”

Saya sedikit tertawa. Baso? Nama yang biasanya melekat pada. nama lelaki Bugis Makassar, kini jadi milik seekor kucing hitam. Ada sesuatu yang jenaka namun akrab dari nama itu.

Baso melompat masuk begitu pintu dibuka. Ia berjalan tenang, melewati kaki saya, lalu melingkar di bawah kursi cukur seperti mengamati proses pemangkasan rambut manusia dari dunia kecilnya yang datar.

Sang pemilik bercerita, Baso bukan kucing biasa. Ia sering menginap sendiri di barbershop ini. Malam-malam, ia tidur di kursi rotan. Tak pernah buang air sembarangan, tak membuat gaduh, dan pagi-pagi baru keluar ke belakang untuk urusan perutnya.

“Kadang saya heran,” katanya. “Kucing kok bisa tertib begitu.”

Saya mendengarkan sambil tersenyum. Ada sesuatu yang menyentuh dari cara pria ini memperlakukan Baso. Bukan sekadar hewan peliharaan, tapi seperti teman sejati dalam sunyi hidupnya.

Ketika potongan rambut saya mulai rapi dan jam di dinding bergeser ke arah siang, saya berdiri dan mengeluarkan dompet. Tapi sebelum saya sempat membayar, ia berkata pelan, “Pak, Bapak percaya kucing bisa bawa rezeki?”

Pertanyaannya seperti menyentil ruang kosong dalam kepala saya.

Saya jawab, “Saya percaya bahwa setiap makhluk Allah yang kita perlakukan dengan baik akan menjadi jalan rezeki. Rezeki itu bukan cuma uang, tapi tenang, sehat, berkah. Dan setiap kebaikan, pasti kembali. Bahkan kadang lipat-lipat.”

Ia mengangguk, seperti menemukan jawaban dari rasa yang selama ini hanya dipendam. “Sejak Baso tinggal di sini, Alhamdulillah, selalu saja ada pelanggan. Kadang di saat sepi pun, ada yang tiba-tiba datang.”

Saya terdiam sejenak. Takjub dalam hening. Seekor kucing hitam, yang bagi sebagian orang justru dihindari karena mitos buruk, justru di tempat ini menjadi simbol kebaikan yang tak terlihat—pembawa rezeki dalam bentuk yang paling sederhana: kehadiran.

Saya teringat firman Allah:

“Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya…” (QS. Hud: 6)

Dan juga sabda Rasulullah SAW:

“Dalam setiap yang hidup terdapat pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baso mungkin hanya seekor kucing, tapi kehadirannya mengajarkan kita bahwa kasih sayang tak pernah sia-sia. Bahkan untuk makhluk yang sering diremehkan, Allah punya cara menyematkan berkah.

Di luar barbershop, angin kembali biasa. Tapi hati saya pulang dengan tidak biasa.

Baso bukan hanya kucing. Ia adalah pengingat, bahwa rezeki bisa datang lewat kaki kecil yang berjalan tenang, melalui mata bulat yang menatap kita tanpa prasangka.

Dan pagi itu, saya belajar bahwa mungkin, yang paling banyak mengajar kita tentang hidup bukanlah manusia—melainkan makhluk-makhluk kecil yang Allah titipkan untuk kita rawat, agar hidup ini tidak hanya bersih dari rambut, tapi juga dari prasangka dan kekikiran.