PELAKITA.ID – Saya sangat setuju dengan konsepsi Bugis-Makassar yang diperjuangkan sejak lama oleh elite di Sulawesi Selatan. Untuk tujuan kolaborasi, pembangunan daerah dan keterpaduan dalam semangat pembangunan daerah. Itu sangat pas dan elok.
Meski demikian, kita juga harus menyadari bahwa kita semua dalam ancaman globalisasi dan modernitas dunia yang mulai mengabaikan pernak-pernik adat, tradisi dan pappasang turiolota – pesan orang dulu – yang tentu saja sangat relevan dalam tumbuh kembang generasi.
Sebagai yang telah tinggal di Kabupaten Tolitoli berpuluh tahun lalu, saya merasakan solidaritas kuat Bugis Makassar dan bahkan dengan Mandar higga Toraja di Sulawesi Tengah.
Kawasan yang selama ini dikenal sebagai wilayah multietnis, menjadi rumah bagi berbagai komunitas yang berasal dari luar daerah.
Pada kesempatan ini saya ingin memberi catatan untuk komunitas yang menggunakan bahasa Makassar sebagaimana induk generasi kami yang berasal dari Turatea Jenepono yang telah menyebar dan menetap di sejumlah kabupaten/kota di provinsi ini, dari pesisir hingga ke daerah pegunungan.
Sejak kapan migrasi Makassar ke Sulawesi Tengah? Belum ada informasi pasti. Namun mereka datang dalam berbagai gelombang migrasi—baik secara mandiri maupun melalui program transmigrasi—dan kini menjadi bagian penting dari dinamika sosial, ekonomi, dan budaya lokal.
Jejak Makassar di Tanah Kaili
Keberadaan warga Makassar di Sulawesi Tengah umumnya mengikuti jejak migrasi masyarakat Bugis yang secara geografi lebih dekat ke Sulteng seperti Wajo, Bone hingga Luwu. Komunitas Bugis-Makassar, kerap berpindah secara kolektif dan membentuk komunitas yang solid.
Saya menyaksikan bagaimana mereka hidup menyatu dengan warga setempat seperti di Kabupaten Donggala, Poso, Parigi Moutong, Morowali, hingga Tolitoli. Khusus warga berbahasa Makassar menjalani kehidupan sebagai nelayan, petani, pekebun, hingga pedagang pasar.

Di Tolitoli, komunitas ini telah eksis lebih dari dua dekade. Mereka berbaur dalam kehidupan masyarakat lokal dan aktif di sektor-sektor produktif seperti perdagangan hasil bumi, perikanan tangkap, serta kegiatan informal di pasar tradisional.
Bahasa Makassar, seperti yang penulis kuasai, dalam banyak hal, tetap digunakan dalam interaksi harian di lingkup keluarga maupun komunitas.
Pertanian, Tambang, dan Rantau Ekonomi
Kini, atau belakangan ini, sebagian warga Makassar juga bekerja di sektor pertambangan dan konstruksi di wilayah Morowali dan Bungku, terutama pasca ekspansi industri nikel.
Di sisi lain, di kawasan lembah seperti Lore Lindu dan Napu, sejumlah transmigran berbahasa Makassar seperti yang berasal dari Takalar, Makassar, Jeneponto hingga Selaayar terlibat dalam pertanian kakao dan padi, menggantikan pola kehidupan agraris yang sebelumnya diisi oleh penduduk lokal.
Tahun 90-an kita bisa menyaksikan sebaran orang Pangkep, Maros, atau Jeneponto dan Takalar di Parigi hingga Donggala yang mengelola kebun kakao. Mereka ada di Donggala Kodi hingga pesisir Parimo sebagai petambak dan nelayan.
Pekerjaan-pekerjaan ini tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga jembatan integrasi antaretnis.
Banyak dari mereka menikah dengan warga lokal atau komunitas lain, membentuk jaringan kekerabatan baru yang memperkaya keragaman di Sulawesi Tengah.
Jadi, penulis bisa katakan, Komunitas Makassar di Sulawesi Tengah umumnya terorganisir dalam wadah KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) yang memiliki cabang di berbagai kabupaten/kota.
Di Tolitoli, pengurus KKSS aktif menjaga semangat silaturahmi, melestarikan budaya, dan menjadi penghubung solidaritas sosial bagi warganya.
Selain itu, inisiatif seperti Forum Lontara Sulawesi Tengah juga menjadi ruang bagi warga Bugis-Makassar untuk menyuarakan aspirasi kolektif dan memperkuat posisi sosial ekonomi mereka, khususnya di wilayah Palu dan sekitarnya. Forum ini mewadahi pedagang pasar, nelayan, petani, hingga pekerja informal lainnya dari berbagai daerah asal di Sulawesi Selatan, termasuk Makassar.
Bahasa Makassar di Perantauan
Meski sudah bercampur dengan bahasa lokal dan bahasa Indonesia, bahasa Makassar tetap hidup. Ia dipertahankan dalam ruang-ruang domestik dan komunitas.
Di pasar-pasar, pelabuhan, hingga kedai kopi, percakapan dalam dialek Makassar masih sering terdengar. Ini menjadi penanda kuat akan identitas yang tetap dibawa, meski tanah yang dipijak telah berbeda.
”Apantumae kareba daeng.” atau, ”Tassiapa antu ladata.”
”Tassiapa anne jukutta.” Apa kabar daeng, berapa harga lada, berapa harga ikan.
Ungkapan itu acap terdengar di sejumlah pasar atau pusat keramaian di kota seperti Palu, bahkan Tolitoli. Bahasa ini bahasa Makassar.
Hemat penulis, sebaran warga berbahasa Makassar di Sulawesi Tengah adalah bagian dari dinamika migrasi internal yang memperkaya mozaik budaya Indonesia.
Mereka bukan hanya pelintas wilayah, tetapi juga pembentuk kehidupan sosial-ekonomi yang aktif dan adaptif. Di sinilah asiknya jika ada pendalaman sosilogis komunitas berbahasa Makassar di rantau seperti Sulawesi Tengah ini.
Dalam konteks ini, penting bagi negara dan masyarakat untuk mengakui serta mendukung keberadaan mereka, baik melalui kebijakan inklusif maupun penguatan solidaritas antarwarga bangsa.
”Jari, apantumae kulle dilangga-langga?”
Jadi, apa yang bisa dipanggang? Biasanya merujuk pada ajakan untuk bakar ikan, tanda keakraban.
Tolitoli, 24 Juni 2025