Survival Strategy, Saat Chaos di Hasanuddin – Alauddin Jadi Tontonan

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita,ID

Kita kelelahan: penegak hukum capek, masyarakat bosan. Dan realitas keras memaksa mereka kembali ke titik semula, karena hidup tak menunggu petugas.

PELAKITA.ID – Sejak tinggal Gowa di awal tahun 2000-an, penulis kerap merekam dinamika di JK hingga Batas Kota Makassar. JK, Jembatan Kembar. Macet, klakson bersahut-sahutan, demo di Unismuh, sumpah serapah, aksi bakar ban Alauddin, sudah jadi memori.

Meski, tetap saja ada yang masih terus mengendap di pikiran dan pandangan. Suasana chaos perjalanan di Poros Hasanuddin menuju Alauddin yang semakin membuka mata, pikiran, dan entah kenapa ada rasa gatal di telapak tangan.

Seperti digoda untuk sedih, marah, sekaligus pasrah. Di pintu jalan dari perempatan Sungguminasa–Malino, anak-anak muda, beranting, juga gegadis dengan kain menutup mulut menjajakan gitar dan sapu bulu ayam. Seperti yang penulis rasakan pada 23 Juni 2025 lalu.

Uang jadi harapan, belas kasih jadi asa—dengan suara, petikan gitar, dan ayunan bulu ayam. Di perempatan Hasanuddin–Mallengkeri–Alauddin, seorang pemuda dan enam orang sepantarannya berdiri menghalang belokan. Mereka memetik gitar, mempertontonkan senyum hasil begadang 24 jam.

“Terima kasih, salamakki,” kata mereka meski tak digubris. Lalu mereka lanjut jadi tukang parkir tanpa karcis.

Deru kendaraan pagi itu adalah harapan bagi para pekerja yang menyemut di Poros Hasanuddin–Alauddin. Mereka datang dari selatan, timur, dan bahkan dari pesisir Makassar bagian selatan.

Di Alauddin, di sekitar Unismuh, ada banyak yang bertugas sebagai polisi lalu lintas tanpa seragam. Mereka siap membantu warga meski di baliknya berharap saweran. Juga di belokan ke arah Hertasning.

Di barat, Barombong tak lagi ramah saat pagi, pembangunan yang menumpuk di sini berdampak pada perubahan sosiologis dan mobilitas warga dari selatan Makassar. Mereka kini bahkan lebih senang lewat Kalukuang, lalu berbelok ke Pallangga.

Ada beberapa tanya sederhana yang kadang membuat kita bosan karena terlalu lama diperam, dan tak pernah mendapat jawaban pasti: Mengapa kita membiarkan mereka-mereka itu berdiri di tengah jalan saat orang lain bergegas menuju tempat kerja?

Mengapa mereka mempertontonkan nirdaya di tengah kota yang katanya kaya potensi sumber daya, yang masyarakatnya dikenal pekerja keras dan menjunjung harga diri?

Kadang kita bertanya pada diri sendiri saat melihat realitas ini: Gitar di kiri, rokok tersulut di kanan, dan mereka meminta dikasihani. Juga para pembersih kaca mobil yang di tangannya menggenggam gawai pintar. Itu realitas. Itu kondisi kita.

Kita juga dipertontonkan generasi harapan bangsa, yang bahkan di usia setara anak SD telah jadi tukang parkir, dan kita seolah tak peduli. Kita: pemerintah daerah, kita semua.

Kalau didalamai, bisa saja kita menemukan fakta yang mengejutkan: Mereka korban perceraian orang tua. Mereka sekumpulan pencari rezeki dengan keterampilan tak relevan. Mereka mungkin sekadar mau enaknya sendiri, meminta dan menikmati dengan bebas.

Tapi apakah itu cukup untuk membenarkan pengabaian kita?

Gejala Apa Ini?

Sembari menyaksikan para pedagang yang tumpah ruah di poros Jalan Syekh Yusuf, Gowa, penulis merenung.

Fenomena keberadaan pemuda-pemudi yang menjajakan barang atau jasa ala kadarnya di jalanan kota seperti di poros Hasanuddin–Alauddin, bisa dilihat secara sosiologis sebagai survival strategy dari kelompok marginal.

Mereka menempati ruang-ruang publik bukan karena pilihan bebas, tetapi karena keterdesakan struktural: tidak terserapnya mereka dalam sistem pendidikan, minimnya akses pekerjaan layak, dan ketiadaan jaringan pengaman sosial yang efektif.

Dalam teori konflik ala Karl Marx, sasah!, ini mencerminkan ketimpangan akses terhadap sumber daya yang dikendalikan oleh segelintir elite, sementara kelas bawah dibiarkan menjajakan keputusasaan di jalan raya. Pemerintah? Hanya mengulang himbauan.

Secara antropologis, perilaku ini bisa dipahami sebagai bentuk adaptasi budaya terhadap kota yang kian keras dan tak ramah. Budaya gotong royong dan rasa malu (siri’) yang dulu dijunjung dalam masyarakat Sulawesi Selatan, kini tergeser oleh logika pasar dan ekonomi bertahan hidup.

Remaja-remaja ini belajar dari lingkungannya—melalui proses imitasi dan transmisi budaya—bahwa mengamen atau menjajakan sapu bukan lagi aib, melainkan norma baru dalam ekosistem urban yang timpang.

Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut ini sebagai bentuk habitus yang dibentuk oleh medan sosial tertentu. Dalam konteks ini, ketika modal sosial dan kultural mereka lemah, tubuh mereka menjadi “alat tukar” yang paling tersedia—dibentangkan di trotoar, di tengah kemacetan, demi bertahan hidup.

Dari sisi hukum dan tata kota, keberadaan mereka jelas melanggar ketertiban umum dan menimbulkan risiko keselamatan. Tapi pendekatan represif yang selama ini ditempuh sering tak menyentuh akar masalah.

Kita kelelahan: penegak hukum capek, masyarakat bosan. Dan realitas keras memaksa mereka kembali ke titik semula, karena hidup tak menunggu petugas.

Dalam studi kebijakan publik, pendekatan ini disebut symptom-oriented approach—mengobati gejala, bukan penyakit.

Padahal yang dibutuhkan adalah kolaborasi antarsektor: pendidikan inklusif, perlindungan anak dan remaja, serta skema pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar.

Lalu ke mana program-program pemerintah yang sering dikampanyekan itu? Menguap? Tak berlanjut? Tak berakar?

Denun, 25 Juni 2025