PELAKITA.ID – “Cabut izinnya hari ini, tapi luka di tanah, laut, dan jiwa masyarakat akan terus berdarah jika pelaku kejahatan ekologis dibiarkan lepas.”
Sepenggal kalimat tegas itu diruapkan Ketua LSM Lingkungan Hidup Forum Komunitas Hijau, Achmad Yusran, usai acara Dampak Tambang Nikel pada Ekosistem Pesisir-Laut yang berlangsung di Cafe Boska Tanjung Bunga, Makassar, pada Selasa sore (10/6), dan dihadiri oleh pegiat lingkungan, akademisi, mahasiswa, serta masyarakat sipil.
Acara ini diinisiasi Jaringan LSM dan Praktisi Kelautan dan Perikanan nasional.
Menurut Yusran, meski pun pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM secara resmi mencabut izin operasi tambang nikel PT ASA (Anugerah Surya Alam) di kawasan sensitif dan suci ekologi Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Keputusan itu, kata Yusran, pastinya disambut dengan lega oleh masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan pejuang keadilan ekologis. Namun, pertanyaan besar segera muncul? Apakah pencabutan izin berarti selesai? Jawabannya: tidak. Justru sebaliknya.
Kejahatan Ekologis Tak Selesai dengan Pencabutan Izin
Pencabutan izin hanya menghentikan legalitas aktivitas tambang. Tapi, dampak ekologis dan sosial yang telah terjadi tidak otomatis lenyap. Hutan telah digunduli, tanah digali, sungai dialiri lumpur logam berat, dan wilayah sakral masyarakat adat dilanggar.
“Banyak kerusakan yang tak bisa direstorasi dalam waktu singkat, bahkan ada yang tak bisa dipulihkan sama sekali,”kata Yusran.
“Dalam konteks hukum lingkungan, apa yang terjadi di Raja Ampat adalah kejahatan lingkungan hidup yang berat. Ini bukan pelanggaran administratif biasa, tapi kejahatan luar biasa, bahkan lebih dari itu extra-extraordinary crime,”jelas Yusran.
Dia bahkan menyebut hal tersebut sebagai ‘bioterorisme?’. Istilah bioterorisme umumnya merujuk pada serangan terhadap kehidupan dengan senjata biologis. Tapi dalam konteks ini, sambung Yusran, bioterorisme ekologis adalah bentuk kekerasan sistemik terhadap alam dan manusia melalui penghancuran ekosistem yang disengaja, terorganisir, dan menguntungkan korporasi.
Di Raja Ampat, wilayah yang dikenal sebagai “Amazon Lautan Dunia” karena kekayaan biodiversitasnya, penambangan nikel adalah ancaman langsung terhadap pusat kehidupan laut global.
“Ketika tambang hadir di pulau-pulau kecil yang tak seharusnya disentuh alat berat, maka itu bukan lagi sekadar eksploitasi — tapi teror terhadap jantung ekologi planet,” ujar Yusran.
Tanggung Jawab Hukum Harus Jalan Terus
Pencabutan izin tidak menghapus jejak kejahatan. Harus ada audit lingkungan, investigasi menyeluruh, dan jika terbukti terjadi kerusakan permanen, maka korporasi dan pejabat yang terlibat harus diadili. “Sebab bumi tidak butuh belas kasihan, ia butuh keadilan,” kata Yusran.
Menyangkut sanksi dan jeratan hukum. Yusran yang juga para legal kementerian lingkungan hidup menyebut pasal-pasal dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perusakan lingkungan hidup dapat dikenai pidana penjara dan denda besar.
Namun selama ini, banyak kasus serupa berhenti di meja pencabutan izin, tanpa menyentuh akar kejahatan dan aktor utamanya. Hal ini menciptakan preseden buruk: seolah pelaku bisa “cuci tangan” setelah izin mereka dicabut.
Masyarakat Adat: Kami Tak Lupa
Bagi masyarakat adat di sekitar wilayah tambang, kerusakan bukan hanya pada ekosistem — tapi juga pada keseimbangan hidup dan spiritualitas leluhur. Tanah bukan sekadar lahan, tapi ibu. Laut bukan hanya sumber makan, tapi rumah roh.
“Kami tidak akan diam. Kami akan terus menuntut agar pelaku kejahatan ini diadili,” ujar salah satu tokoh adat di Waigeo Timur, dalam pernyataan sikapnya yang disampaikan oleh Yusran.
Dia juga berharap Pemerintah menghentikan impunitas hijau. Dikatakan Yusran, pencabutan izin tambang adalah langkah awal. Tapi perjuangan belum selesai.
Baginya, kejahatan terhadap lingkungan hidup harus dianggap setara dengan kejahatan kemanusiaan — karena pada dasarnya, keduanya saling terkait.
“Raja Ampat adalah titipan peradaban, bukan tempat untuk besi tua masa depan. Mereka yang menghancurkannya harus dihadapkan pada keadilan, bukan diberi celah untuk bersembunyi di balik pencabutan izin,” tegas aktivis lingkungan dan pewarta di salah satu media nasional itu.
Redaksi