Merawat Kesadaran Kritis dari Raja Ampat ke Banyak Tempat, merupakan akumulasi inspirasi setelah penulis mengikuti Diskusi Dampak Tambang pada Pesisir dan Laut, Geger dan Cemas dari Raja Ampat di Cafe Boska Tanjung Bunga, Selasa, 10 Juni 2025 yang digelar oleh Jaringan LSM dan Praktisi Kelautan dan Perikanan Nasional.
PELAKITA.ID – Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau. Ia adalah puisi bumi yang ditulis oleh Tuhan dengan tinta zamrud dan tinta laut biru.
Ia bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga rumah bagi kehidupan: terumbu karang, ikan-ikan eksotik, hutan bakau, dan masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam selama berabad-abad.
Namun kini, ada luka yang mulai menganga. Di tengah debur ombak dan desir angin, hadir suara-suara bising dari mesin tambang. Tanah yang dahulu sakral, kini tercabik. Hutan yang teduh, kini terancam gundul. Bukit yang memeluk laut, kini dijadikan batu kerikil.
Raja Ampat bukan tanah biasa. Ini adalah kabupaten konservasi pertama di Indonesia. Dengan 1.500 pulau kecil dan 553 jenis terumbu karang, 75% spesies karang dunia hidup di sini.
Tak ada tempat di dunia ini yang memiliki kekayaan laut seperti Raja Ampat. Maka, menggantinya dengan tambang adalah kejahatan ekologis dan moral.
Namun kita pun tak bisa berhenti di jeritan. Kita butuh kesadaran yang dibangun bersama. Kita butuh cara pandang baru yang adil dan menyeluruh.
Di sinilah gagasan hexafelix pembangunan menemukan relevansinya.
Kita tak bisa lagi menyerahkan nasib bumi hanya pada satu-dua pihak. Dibutuhkan sinergi enam aktor strategis: masyarakat, pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan, media pers, dan perbankan. Inilah pilar-pilar yang jika digerakkan bersama, akan melahirkan ekosistem pembangunan yang berkeadilan.
Sehingga, masyarakat harus diberdayakan, bukan ditaklukkan. Hak ulayat dan suara komunitas adat harus menjadi fondasi utama setiap keputusan pembangunan. Mereka adalah penjaga alam, bukan penghalang investasi.
Pemerintah wajib menjadi wasit yang adil, bukan sekadar pelayan investor. Regulasi harus berpihak pada lingkungan dan hak rakyat. Izin harus transparan, partisipatif, dan berbasis kajian ilmiah.

Perguruan tinggi adalah gudang pengetahuan. Di sinilah riset berbasis konteks lokal dibangun. Mereka bisa merancang model pembangunan pariwisata lestari, ekonomi biru, dan konservasi berbasis budaya.
Perusahaan bukan musuh, tapi harus menjadi mitra perubahan. Dunia usaha harus menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance), bukan sekadar CSR kosmetik. Tambang bukan satu-satunya cara tumbuh.
Media pers mesti terus bersuara kritis. Ia harus menjadi penjaga nurani publik, menyuarakan yang dibungkam, mengungkap yang disembunyikan. Ketika masyarakat tak punya panggung, pers adalah megafonnya.
Perbankan dan lembaga keuangan harus mengalihkan pembiayaan dari proyek yang merusak menuju investasi hijau dan lestari. Uang adalah pelumas pembangunan—dan bisa pula menjadi alat pemusnahnya.
Kita harus menatap Raja Ampat dengan kearifan, bukan dengan kerakusan. Alam bukan objek yang bisa dieksploitasi, melainkan subjek yang harus dihormati. Pembangunan sejati adalah yang meninggalkan jejak kebaikan, bukan kehancuran.
Apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, bangun dan kelola kesadaran kritis. Edukasi publik tentang pentingnya konservasi harus digencarkan. Generasi muda harus dilibatkan dalam gerakan jaga bumi.
Kedua, dorong kolaborasi hexafelix. Jangan biarkan pembangunan dikendalikan oleh segelintir elite. Rakyat harus punya ruang dalam setiap proses perencanaan.
Ketiga, desak reformasi regulasi tambang. Cabut izin yang cacat prosedur. Evaluasi semua bentuk ekstraksi di kawasan konservasi.
Keempat, kembangkan ekonomi alternatif yang lestari, seperti ekowisata, perikanan ramah lingkungan, dan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.
Raja Ampat adalah tambang kehidupan. Kekayaan sejatinya bukan pada emas di dalam tanah, tetapi pada warisan biru yang terbentang di atas laut.
Mari kita jaga bersama. Jangan sampai suatu hari anak cucu bertanya: “Mengapa dulu kalian biarkan tambang itu masuk?” Dan kita tak lagi punya laut biru untuk mereka selami, atau pulau hijau untuk mereka pijaki.
Makassar, 10 Juni 2025
Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”