Antara Fakta dan Fake: Apa dan Bagaimana Bersikap

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Setiap saat, di balik layar ponsel dan kilatan notifikasi, kita dihadapkan pada satu pertanyaan penting: mana yang fakta, mana yang palsu? Mana cahaya, mana bayang-bayang?

Kebenaran kini sering dikalahkan oleh kecepatan. Kita lebih tergoda untuk membagikan informasi daripada memverifikasinya. Kita ingin jadi yang pertama tahu, bukan yang benar-benar tahu.

Padahal, seperti kata pepatah lama, “lidah bisa lebih tajam dari pedang”—dan di era digital, jari-jari di media sosial bisa menjadi senjata yang menyebar racun dalam sekejap.

Di masa lalu, menyampaikan kabar butuh waktu dan keberanian menempuh risiko. Kini, satu sentuhan bisa melesatkan kabar ke jutaan orang. Tapi, seperti peluru yang ditembakkan tanpa arah, informasi yang keliru bisa melukai, membakar, bahkan menghancurkan.

Fakta Bukan Sekadar Data

Fakta bukan sekadar angka atau kutipan. Ia adalah penerang bagi akal dan hati. Dalam jurnalisme, fakta adalah napas. Dalam demokrasi, ia menjadi fondasi. Dalam keyakinan, fakta adalah jalan menuju hikmah.

Namun, kita hidup di era post-truth, ketika emosi lebih dipercaya daripada bukti. Data dibelokkan, narasi dibingkai ulang, dan kebenaran dikaburkan oleh opini yang dibungkus dramatisasi. Di ruang publik, suara yang keras sering dianggap benar. Padahal, yang nyaring belum tentu bijak.

Fake: Bayang-Bayang yang Menggoda

Hoaks bukan hanya kebohongan—ia adalah bentuk kekerasan. Ia menyamar sebagai harapan, namun menyusupkan kebencian. Ia menebar keraguan, memperlebar jurang, bahkan memecah keluarga, sahabat, dan bangsa.

Si penyebar hoaks kadang tak sadar dirinya hanya alat dari mesin yang lebih besar: politik identitas, ekonomi klik, atau industri ketakutan. Dalam dunia digital, kebohongan yang viral bisa jadi komoditas. Sementara kebenaran, jika tak sensasional, dianggap tak menarik.

Tak heran, hari ini perang informasi tak lagi sekadar antarnegara, tapi antara nilai dan nafsu, antara nurani dan algoritma.

Agama dan Tradisi

Dalam Al-Qur’an, perintah yang tak lekang oleh zaman berbunyi:
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6).

Itu bukan sekadar anjuran moral, melainkan perintah intelektual.

Dalam ajaran Yesus pun tercantum seruan serupa: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (1 Tesalonika 5:21). Kebenaran tak gentar diuji. Hoaks selalu takut diselidiki.

Kearifan lokal pun mengingatkan. Di Sulawesi Selatan, dikenal prinsip siri’ na pacce—harga diri dan empati. Menyebar kabar palsu adalah pelanggaran terhadap siri’.  Di tanah Mandar, fitnah bisa memicu perang antar kampung. Di dunia digital, fitnah menciptakan perang dalam pikiran dan keyakinan.

Menjadi Penyejuk, Bukan Pembakar

Hari ini, kita tak butuh lebih banyak suara, melainkan lebih banyak kejernihan. Tak perlu menjadi jurnalis untuk menjaga kebenaran. Cukup jadi manusia yang mau berpikir sebelum berbagi, memeriksa sebelum menyebar.

Menjadi penyejuk berarti berani berkata, “Aku tidak tahu, biar aku cari tahu dulu.”
Menjadi penjernih berarti berani membela yang benar meski tak populer.
Menjadi penjaga nurani, bukan hanya intelektual.

Melawan Hoaks adalah Ibadah Sosial

Di tengah derasnya arus informasi, menjadi pemilih yang bijak adalah jihad zaman ini. Kita boleh lelah, boleh bingung. Tapi seperti pelita di malam pekat, satu cahaya kebenaran mampu mengusir seribu bayang.

Pada akhirnya, bukan siapa yang paling lantang yang akan menang, tapi siapa yang paling benar dan paling sabar.

Kita bisa memilih untuk tidak hanyut. Kita bisa memilih untuk tetap jernih.
Fakta dan fake hanyalah dua arah.
Tugas kita: memilih jalan yang benar—jalan yang membawa terang.


Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, dan Penggerak Literasi & Kebudayaan
“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”