Sungai Jadi Tempat Sampah, Pengelolaan Sampah di Desa Belum Prioritas

  • Whatsapp
Sungai Bialo di Desa Bialo, Kecamatan Gantarang, menjadi saksi nyata dari lemahnya tata kelola lingkungan di tingkat desa. (Dok: Musakkir Satu Pena)

Sampah sudah menjadi persoalan di hampir semua desa di Bulukumba. Dinas PMD perlu mengevaluasi perencanaan dan asistensi anggaran desa agar ada alokasi yang jelas untuk penanganan sampah.

PELAKITA.ID  — Sungai Bialo di Desa Bialo, Kecamatan Gantarang, menjadi saksi nyata dari lemahnya tata kelola lingkungan di tingkat desa. Temuan 87 titik pembuangan sampah liar di sepanjang sungai tersebut menggambarkan kurangnya komitmen desa dalam menangani masalah sampah.

Padahal, regulasi daerah seperti Peraturan Bupati Bulukumba Nomor 11 Tahun 2019 telah mengatur dengan jelas bahwa pengelolaan sampah adalah bagian dari kewenangan lokal berskala desa.

Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa desa memiliki tanggung jawab dalam menyediakan fasilitas pengelolaan sampah, termasuk tempat penampungan dan bank sampah. Namun kenyataannya, hingga saat ini upaya konkret desa dalam hal ini masih minim.

Masalah sampah belum menjadi skala prioritas dalam perencanaan maupun pengalokasian anggaran desa, meskipun sudah ada Surat Edaran Bupati Bulukumba Nomor 000.1.5/817/DLH/Tahun 2025 yang mendorong pembentukan bank sampah di tingkat desa paling lambat tiga bulan sejak April 2025.

Andi Uke Indah Permatasari, S.STP., M.Si., Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kabupaten Bulukumba, menegaskan bahwa penanganan persoalan sampah tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah kabupaten.

“Dengan keterbatasan anggaran APBD, penting untuk mendorong desa agar menjadikan persoalan sampah sebagai prioritas dalam perencanaan dan penganggaran mereka,” ujarnya saat diwawancarai oleh Ecoton.

Menurutnya, tidak ada gunanya membangun infrastruktur desa yang megah jika lingkungan sekitarnya tercemar. Dalam Perbup 11/2019, desa telah diberikan kewenangan penuh untuk membangun fasilitas pengelolaan sampah.

“Mereka bisa memulai dengan membeli armada pengangkut, melakukan sosialisasi, atau merancang program penanganan sampah sesuai kondisi lokal,” tambahnya.

Andi Uke juga menyoroti bahwa dari 109 desa di Bulukumba, belum satu pun yang menjadikan persoalan sampah sebagai prioritas pembangunan. Padahal, setiap desa mengelola anggaran yang cukup besar, rata-rata sekitar dua miliar rupiah per tahun.

“Kalau semua desa menunggu kabupaten menyediakan mesin dan motor sampah, itu tidak akan mungkin. Anggarannya tidak ada,” tegasnya.

DLHK membuka ruang kolaborasi dengan pemerintah desa dalam bentuk pendampingan dan program bersama seperti sosialisasi atau Program Kampung Iklim (ProKlim). Desa juga bisa melibatkan kelompok seperti ibu-ibu PKK dalam pengelolaan bank sampah, guna menggerakkan partisipasi masyarakat sekaligus memudahkan pembentukan kelembagaan.

“Sampah itu dihasilkan setiap hari oleh masyarakat. Tidak bisa hanya menyalahkan warga yang membuang ke sungai jika tidak ada solusi atau fasilitas yang disiapkan pemerintah desa,” pungkas Andi Uke.

Saat ini, Desa Bialo sedang menyusun Anggaran Perubahan dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa 2026 bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD).

Permasalahan sampah seharusnya bisa dimasukkan dalam dokumen perencanaan ini agar bisa dialokasikan dalam APBDes tahun 2026.

Amiruddin, Koordinator Ecoton Wilayah Sulawesi, menekankan pentingnya peran DPMD dalam mengarahkan desa agar memperhatikan isu lingkungan. “Sampah sudah menjadi persoalan di hampir semua desa di Bulukumba. Dinas PMD perlu mengevaluasi perencanaan dan asistensi anggaran desa agar ada alokasi yang jelas untuk penanganan sampah,” ujarnya.

Amiruddin juga menyampaikan bahwa desa yang mengalokasikan anggaran untuk pelestarian lingkungan berpotensi mendapatkan Tambahan Alokasi Kinerja Ekologi (TAKE) sebesar 1,7 persen. TAKE diberikan jika desa memenuhi lima indikator, seperti:

  • Adanya regulasi desa terkait pelestarian lingkungan;

  • Proporsi anggaran untuk lingkungan dalam APBDes;

  • Indeks kualitas lingkungan;

  • Keberadaan bank sampah aktif yang dikelola oleh perempuan;

  • Tata kelola keuangan yang akuntabel.

Namun, Amiruddin mengakui bahwa kebijakan alokasi minimal 40 persen Dana Desa untuk program ketahanan pangan justru menjadi tantangan tersendiri.

“Dengan porsi itu, akan sulit bagi desa untuk mengalokasikan anggaran cukup untuk pengelolaan sampah,” tutupnya.

Penulis: Musakkir Satu Pena