Tangan, Lisan, dan Hati: Menyikapi Kemungkaran Ekologis

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Ini bukan sekadar perubahan alam. Ini adalah kemungkaran ekologis—kezaliman terhadap bumi dan seluruh makhluk di dalamnya. Bukan hanya dosa terhadap lingkungan, melainkan juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.

Rasulullah SAW memberikan kita tiga tingkatan sikap keimanan dalam menghadapi kemungkaran: mengubah dengan tangan, lisan, atau hati. Sebuah sabda sederhana yang sesungguhnya menyimpan pesan revolusi peradaban.

Mengubah dengan tangan berarti menggunakan kekuasaan, pengaruh, dan keberanian untuk melawan kerusakan.

Ia bisa terwujud dalam pemimpin yang menolak izin tambang di wilayah adat, aparat yang menindak pelaku pembakaran hutan, atau warga biasa yang menanam kembali pohon-pohon yang ditebang paksa.

Tangan yang mengubah bukan monopoli pejabat—ia juga milik petani yang memilih bertani organik, anak muda yang membersihkan pantai, atau aktivis yang berhadapan dengan korporasi rakus.

Namun sayangnya, di banyak tempat, tangan kekuasaan justru menjadi alat perusak. Tanda tangan menjadi tiket masuk perusahaan tambang, bukan perisai bagi rakyat. Hutan dibabat atas nama pertumbuhan. Alam direduksi menjadi angka statistik. Kehidupan dijual dalam tender.

Jika tangan tak mampu mengubah, maka suara seharusnya hadir. Lisan kita hari ini bisa menjelma khutbah yang menyadarkan umat akan tanggung jawab ekologis.

Ia bisa berupa artikel seperti ini, status media sosial, puisi yang menggugah, atau orasi dalam forum publik. Nabi Nuh AS menyeru kaumnya selama 950 tahun, walau hanya sedikit yang mendengar. Maka tak ada alasan bagi kita untuk diam.

Kita bisa berbicara. Kita bisa menulis. Kita bisa menyuarakan. Suara kita mungkin kecil, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa perubahan besar sering dimulai dari bisikan yang jujur.

Dalam Islam, diam terhadap kemungkaran adalah tanda kematian batin. Maka bersuara adalah bukti iman yang masih bernyawa. Seorang guru yang mengajarkan anak-anak untuk tidak membuang sampah sembarangan adalah ulama lingkungan. Seorang remaja yang membuat video edukatif tentang air bersih adalah da’i masa kini.

Namun, andai suara tak terdengar dan kekuasaan tak kita genggam, masih ada satu tempat yang menjadi benteng terakhir: hati. Di sinilah keimanan yang paling dalam bersemayam.

Saat hati merasa sesak melihat pohon ditebang sembarangan, saat air mata menetes menyaksikan paus mati karena plastik, saat rasa malu tumbuh karena membuang sampah sembarangan—itulah tanda bahwa iman belum padam.

Hati yang bersedih adalah bukti bahwa nurani masih hidup. Dan dari hati yang hidup, bisa lahir tindakan-tindakan kecil yang bermakna. Kita bisa mulai dari rumah: menghemat listrik, membawa tas belanja sendiri, mengurangi konsumsi daging, atau berjalan kaki ke masjid. Terlihat sepele, tapi bukankah tetesan air mampu mengikis batu?

Bumi ini bukan milik kita semata. Ia adalah warisan bagi anak cucu, amanah dari Tuhan. Dalam Al-Qur’an, disebutkan bahwa seluruh makhluk bertasbih memuji-Nya. Maka merusak lingkungan sesungguhnya adalah merusak simfoni pujian kepada Sang Pencipta. Bukankah itu bentuk kesombongan yang luar biasa?

Islam bukan hanya ajaran tentang shalat dan puasa. Ia adalah jalan hidup menyeluruh—termasuk bagaimana kita memperlakukan alam. Rasulullah SAW melarang penebangan pohon dalam perang, bahkan melarang mencemari air, meski di sungai yang mengalir.

Maka hari ini, di tengah gemuruh teknologi dan kerakusan ekonomi, kita ditantang: masihkah kita menjadi muslim yang sejati?

Jika tangan kita lemah dan suara kita dibungkam, biarlah hati menjadi pelita. Tapi jangan berhenti di sana. Doa yang tulus akan mendorong langkah. Dan langkah kecil, jika dilakukan bersama, bisa menjadi awal dari gerakan besar.

Mari jangan hanya menjadi saksi atas sakitnya bumi. Mari turut merawatnya. Karena iman bukan hanya di sajadah, tapi juga dalam cara kita memperlakukan tanah yang kita pijak dan udara yang kita hirup.

Dan kelak, ketika Tuhan bertanya di Hari Perhitungan, semoga kita bisa menjawab:
Kami telah berusaha, ya Rabb—dengan tangan kami, dengan suara kami, dan dengan hati kami yang tak pernah rela diam.


Tangan, Lisan, dan Hati: Menyikapi Kemungkaran Ekologis
Oleh: Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Motto Penulis:
“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban.”