Muliadi Saleh | Hijrah Bersama Alam

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

“Bukan sekadar wilayah, lautan dan daratan adalah persahabatan yang indah yang mengatur denyut nadi kehidupan. Saling menyentuh, saling menguatkan. Bila satu rusak, yang lain luka. Bila satu lestari, yang lain pun menari.”

1 Muharram dan Seruan Hijrah Ekologis

PELAKITA.ID – Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1447 Hijriyah, adalah momen spiritual yang penuh makna. Hijrah bukan sekadar perpindahan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, melainkan sebuah transformasi peradaban—dari gelap menuju cahaya, dari penindasan menuju pembebasan, dari kerusakan menuju keberadaban.

Hari ini, kita dihadapkan pada krisis ekologi global. Maka, Hijrah sejatinya juga menjadi seruan ekologis: hijrah dari gaya hidup eksploitatif menuju hidup yang memuliakan bumi; dari pembangunan yang merusak menjadi pembangunan yang memulihkan.

Seperti Nabi mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, kita pun perlu mempersaudarakan darat dan laut dalam ukhuwah ekologis.

Tahun Baru Hijriyah adalah ajakan untuk berpindah—bukan hanya dalam batin, tapi dalam tindakan yang merajut kembali kasih antara alam daratan dan lautan.

Dalam setiap doa menyambut Muharram, mari sisipkan harapan: untuk laut yang tenang, darat yang hijau, dan langit yang kembali biru. Karena mencintai bumi adalah bentuk syukur terdalam pada Sang Pencipta.

Simfoni Sunyi Dua Sisi Bumi

Setiap pagi, mentari menyapa pantai. Ombak menari pelan, menyentuh pasir, menyanyikan lagu yang diwariskan bumi sejak lahir. Akar bakau memeluk lumpur, menahan gelombang dengan cinta.

Di seberangnya, gunung-gunung hijau berdiri tenang, menatap samudra seolah berkata: “Tenanglah, kita akan tetap bersama menjaga semesta.”

Darat dan laut, meski tampak berbeda, adalah sahabat abadi. Ketika hutan gundul, hujan membawa lumpur ke laut, menyesakkan terumbu karang. Sebaliknya, ketika laut tercemar limbah dan plastik, daratan ikut menderita.

Dalam satu tarikan napas kita hari ini, bisa jadi ada oksigen dari fitoplankton laut. Dalam sepiring nasi, ada tanah yang dijaga akar pohon di hulu. Semuanya terhubung.

Keseimbangan yang Retak

Indonesia dengan 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 108.000 km adalah negeri bahari yang indah, tapi kini retak. “Perceraian ekologis” antara laut dan darat tengah terjadi.

Pesisir rusak oleh sedimentasi, limbah, dan reklamasi. Hutan mangrove—jembatan kasih darat dan laut—terus menyusut, padahal mereka adalah pelindung garis pantai, tempat bertelur ikan, dan penyerap karbon yang luar biasa.

Kita terlalu lama memisahkan pengelolaan laut dan darat. Padahal, keduanya satu tubuh. Laut tak akan sehat jika darat rusak. Kita butuh pendekatan lanskap-seascape—melihat mereka sebagai satu sistem ekologis utuh.

Ekologi: Bukan Sekadar Ilmu, Tapi Iman

Keseimbangan ekologis bukan sekadar urusan data, tetapi juga iman. Dalam Islam, laut (al-bahr) dan darat (al-barr) disebut lebih dari 40 kali dalam Al-Qur’an. Diciptakan untuk direnungi dan disyukuri.

Hijrah ekologis adalah jalan iman: berpindah dari eksploitatif ke kolaboratif, dari ego manusia ke keutuhan semesta. Ini bukan sekadar sistem baru, melainkan kesadaran baru—bahwa lingkungan hidup bukan hanya soal air dan tanah, tapi soal keadilan, cinta, dan amanah.

Hijrah Ekologis: Jalan Tengah yang Memeluk Semesta

Transformasi ini memerlukan keterlibatan semua pihak—pemerintah, masyarakat adat, pegiat lingkungan, pelaku industri, hingga generasi muda. Nelayan dan petani harus duduk bersama, merancang masa depan yang berkelanjutan. Gotong royong ekologis perlu tumbuh, seperti akar bakau yang saling menguatkan dalam lumpur.

Hijrah ekologis adalah ikhtiar membangun ekonomi berwawasan ekologi, menyatukan potensi pesisir dan pedalaman. Kita tak ingin lagi mendengar jeritan:

“Kami anak laut tak bisa lagi melihat karang, karena dari hulu datang lumpur. Kami anak darat tak bisa panen lagi, karena laut menelan tanah kami. Kami butuh hijrah, bukan hanya bantuan.”

Harmoni yang Tak Boleh Retak

Laut dan darat pernah berjanji menjaga kehidupan bersama. Dalam peluh petani, tersimpan doa nelayan. Dalam angin malam, pesan dari pesisir melintasi gunung.

Hijrah ekologis adalah ikrar baru—ikrar untuk bersahabat kembali dengan bumi. Untuk menjahit kembali retakan antara darat dan laut dengan benang cinta, bukan kepentingan sempit.

Kini saatnya bukan hanya bicara perubahan iklim, tapi menjadi bagian dari perubahan itu. Jika laut dan darat saja bisa saling menjaga, mengapa manusia tidak?

Tentang Penulis:
Muliadi Saleh adalah Direktur Eksekutif Lembaga SPASIAL. Penulis dan pemikir lingkungan yang percaya bahwa menulis adalah ibadah ekologi—sebuah cara menyelamatkan semesta dari kepunahan nurani.