Dalam ajaran Islam, ibadah haji bukan sekadar ritual fisik, melainkan juga perjalanan batin yang sarat nilai-nilai kerendahan hati dan penghapusan ego.
PELAKITA.ID – Setiap musim haji, jutaan umat Islam Indonesia memanjatkan doa agar suatu hari dapat menunaikan rukun Islam kelima.
Sayangnya, ketika sebagian besar masyarakat harus menunggu 20 hingga 30 tahun untuk bisa berangkat melalui jalur reguler, segelintir orang dengan kemampuan finansial tinggi dapat langsung menuju Tanah Suci melalui jalur Furoda.
Fenomena ini bukan hanya memunculkan kecemburuan sosial, tetapi juga menimbulkan pertanyaan etis yang mendalam: apakah Haji Furoda mencerminkan ketimpangan spiritual dalam masyarakat Muslim modern?
Haji Furoda adalah istilah populer untuk ibadah haji menggunakan visa mujamalah—visa undangan langsung dari Pemerintah Arab Saudi. Jalur ini berada di luar kuota resmi yang diatur oleh Kementerian Agama RI dan tidak melalui sistem antrean nasional.
Biaya Haji Furoda dapat mencapai tiga hingga empat kali lipat dibanding haji reguler, menjadikannya hanya dapat diakses oleh kalangan ekonomi atas.
Dari perspektif etika sosial dan keadilan spiritual, muncul pertanyaan penting: apakah jalur ini selaras dengan prinsip kesetaraan dalam beribadah, atau justru memperkuat eksklusivitas kelas dalam pengalaman keagamaan?
Dalam ajaran Islam, ibadah haji bukan sekadar ritual fisik, melainkan juga perjalanan batin yang sarat nilai-nilai kerendahan hati dan penghapusan ego.
Kesucian haji terletak pada maknanya yang mendalam—semua jamaah, tanpa memandang status sosial, mengenakan pakaian ihram yang sama, berdiri sejajar di hadapan Tuhan, dan menjalani rangkaian ibadah dengan semangat kesetaraan. Seharusnya, pengalaman spiritual ini mengikis batas-batas sosial, bukan mempertegasnya.
Namun dalam praktiknya, Haji Furoda sering kali menampilkan wajah sebaliknya. Ia telah menjelma menjadi simbol privilese kelas atas—ibadah yang dikemas dalam kemewahan, kenyamanan, dan kemudahan, namun jauh dari nilai perjuangan dan kesabaran.
Ibadah yang seharusnya menjadi manifestasi spiritual kini tergelincir menjadi simbol status sosial. Ini menimbulkan ironi yang mencolok: ibadah suci justru menjadi panggung eksklusivitas.
Etika Islam tidak hanya berbicara tentang sah atau tidak sahnya suatu perbuatan menurut syariat, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan kemaslahatan umat.
Ketika ribuan orang menabung seumur hidup dan bersabar dalam antrean panjang, hadirnya jalur Furoda, meski tidak mengambil langsung jatah mereka, terasa seperti menyayat kesabaran kolektif umat Islam.
Apalagi, lemahnya pengawasan negara terhadap jalur ini menambah panjang daftar persoalan, baik secara etis maupun administratif.
Negara terkesan membiarkan praktik pasar bebas dalam ibadah haji—sebuah kenyataan yang berlawanan dengan nilai Islam yang menjunjung keadilan dan ketertiban.
Lebih jauh lagi, fenomena ini mencerminkan kapitalisasi religius, di mana ibadah menjadi komoditas premium. Dalam kajian sosiologi agama, ini disebut sebagai komodifikasi agama—di mana nilai-nilai suci dikemas dalam bentuk layanan dan produk yang diperjualbelikan kepada konsumen.
Haji Furoda adalah manifestasi nyata dari bagaimana kapitalisme menyusup ke dalam ritual paling sakral umat Islam. Ini adalah tantangan serius bagi generasi Muslim terdidik: untuk tidak sekadar menjalankan ibadah, tetapi juga mengkritisi sistem yang membentuknya.
Etika sebagai Pilar Kesalehan Kolektif
Bukan berarti setiap orang yang menunaikan haji melalui jalur Furoda secara otomatis bersalah atau tidak sah ibadahnya. Sebagian mungkin terpaksa memilih jalur ini karena faktor usia atau kondisi darurat.
Namun demikian, penting bagi kita untuk meninjau ulang praktik ini dari sudut pandang etika kolektif dan keadilan spiritual.
Agama seharusnya menjadi ruang pemersatu, bukan pemisah berdasarkan kemampuan ekonomi.
Bila ibadah hanya bisa diakses cepat oleh mereka yang mampu membeli “jalur alternatif”, maka kita patut bertanya: apakah kita masih berjalan menuju Tuhan, atau sekadar menjadikan Tuhan sebagai legitimasi gaya hidup?
Haji adalah puncak ibadah dalam Islam. Namun jika ia kehilangan nilai kesederhanaan dan kesetaraan, maka yang tersisa hanyalah simbolisme kosong. Kini saatnya kita mengembalikan nilai-nilai etik dalam ibadah, demi kesalehan pribadi sekaligus integritas spiritual umat.
Tentang Penulis:
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban.