Puisi Muliadi Saleh | Raja Ampat yang Gelisah

  • Whatsapp
Ilustrasi suasana nelangsa di laut Raja Ampat (dok: Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Muliadi Saleh, penulis, motivator dan pegiat pembangunan daerah menorehkan diksi-diksi sastrawi sebagai ungkapan hati nuraninya terkait realitas dan persoalan konflik tambang di Raja Ampat. Mari simak.

Di ufuk timur nusantara,
tempat matahari mencium laut pertama,
bersemayam Raja Ampat —
mahkota biru di kepala Ibu Pertiwi.

Tapi kini ia gelisah,
ombaknya tidak menari,
karangnya tidak bernyanyi,
dan burung cendrawasih enggan menari.

Luka-luka kecil tumbuh di tubuhnya,
kapal-kapal besar mencuri napasnya,
alam dijadikan tambang,
dan surga dijadikan pasar yang bising.

Di balik senyum turis dan kamera,
ada jeritan yang tak terdengar —
ikan-ikan kehilangan rumah,
dan nelayan tak lagi mengenal musim.

Oh manusia,
apakah indah bagimu berarti hancurkan?
Apakah kagum padanya adalah izin untuk membongkar?

Raja Ampat bukan etalase dunia,
ia adalah doa yang dijaga leluhur,
ia bukan trofi liburan,
melainkan titipan masa depan.

Tapi lihatlah kini —
hutan mangrove disulap jadi hotel,
pasir putih ditukar dengan beton,
dan suara adat disenyapkan dalam seminar.

Wahai bangsa yang katanya besar,
mengapa kau biarkan surga menangis?
Mengapa kau biarkan emas meracuni karang
dan keserakahan mengubur sejarah?

Raja Ampat gelisah —
bukan karena badai,
tapi karena tamu yang datang bukan untuk bertamu,
melainkan mengklaim, membelah, dan membakar pelan-pelan.

Bangkitlah wahai penjaga tanah dan laut,
dengarlah bisikan leluhur di angin senja,
Raja Ampat memanggil,
bukan untuk dikunjungi,
tapi untuk diselamatkan.

Sebab jika surga bisa menangis,
air matanya adalah laut yang perlahan menghitam.

Muliadi Saleh, 9 Juni 2025