PELAKITA.ID – India adalah salah satu negara dengan potensi ekonomi terbesar di dunia saat ini.
Dengan populasi yang sangat besar dan terus berkembang, basis pengetahuan industri yang kuat, posisi geografis strategis untuk perdagangan global, populasi penutur bahasa Inggris terbesar kedua di dunia, serta lahan pertanian yang luas untuk menopang kebutuhan pangan penduduknya, India terlihat seperti calon kuat untuk menjadi kekuatan ekonomi global.
Terlebih lagi, India kini menjadi mitra ekonomi yang semakin menarik di tengah langkah China yang memperketat kontrol negara terhadap industri domestik dan menjalankan ambisi geopolitik yang menimbulkan kekhawatiran.
Namun, seperti halnya negara mana pun, potensi ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan realitas kemakmuran. Meskipun banyak alasan yang membuat India bisa menjadi kekuatan ekonomi super, ada pula hambatan besar yang hingga kini menghalangi langkah tersebut.
Jika ekonomi India tertinggal, maka orang-orang dengan keterampilan tinggi bisa mencari peluang kerja yang lebih baik di negara-negara Barat, sementara pekerja fisik bisa berpindah ke negara-negara Teluk untuk gaji yang lebih tinggi.
Sementara itu, mereka yang tertinggal akan menghadapi tantangan yang tidak kalah besar. Untuk memahami bagaimana India bisa mencapai “keajaiban ekonomi” seperti yang dialami China dalam tiga dekade terakhir, penting untuk memahami apa saja yang menahannya.
Selama sepuluh tahun terakhir, ekonomi India telah menggandakan outputnya, seiring dengan industrialisasi dan perannya sebagai alternatif yang lebih murah dibandingkan China.
Saat upah pekerja di China meningkat dan tantangan geopolitik menekan keuntungan dari manufaktur di sana, perusahaan global mulai mencari alternatif baru.
Negara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Bangladesh juga ikut menawarkan biaya tenaga kerja yang lebih rendah, namun India memiliki keunggulan jumlah tenaga kerja yang lebih besar.
Jenis manufaktur yang sangat bergantung pada tenaga kerja manusia—seperti produksi pakaian, furnitur, dan barang-barang rumah tangga—masih sulit untuk diotomatisasi. Ini adalah jenis pekerjaan yang hampir selalu akan dilakukan oleh penawar terendah.
Sementara produksi barang-barang kompleks seperti mobil, komputer, atau chip semikonduktor jauh lebih bergantung pada mesin canggih, yang membuat biaya tenaga kerja menjadi porsi kecil dari total biaya produksi.
Oleh karena itu, barang-barang dasar lebih mungkin untuk dialihkan ke India, sementara China bergerak ke arah barang-barang bernilai tinggi.
Namun, pergeseran produksi dari China ke India bukanlah satu-satunya peluang besar India, dan bukan pula ancaman terbesarnya. Sumber daya ekonomi utama India adalah penduduknya. Dengan populasi terbanyak di dunia, India juga memiliki demografi yang lebih muda dibandingkan China.
Ini sangat penting karena generasi muda adalah tenaga kerja masa kini dan masa depan. Selain itu, kemampuan bahasa Inggris yang meluas memungkinkan India untuk menyediakan layanan global dalam bahasa internasional utama dunia.
Potensi terbesar India bukan hanya mengekspor barang, tetapi juga jasa. Dalam dunia kerja jarak jauh, banyak perusahaan lebih memilih pekerjaan dilakukan di India karena biaya yang jauh lebih murah. Walau kadang hasilnya tidak sebaik negara maju, efisiensi biaya membuatnya menarik.
Selain call center, kini semakin banyak pekerjaan teknis seperti pemrograman juga dialihkan ke India. Pekerjaan ini mungkin bukan inovasi tercanggih, tapi mereka penting bagi bisnis skala kecil-menengah di seluruh dunia.
Peluang ini menciptakan lingkaran positif: orang India yang bisa bekerja di perusahaan global memperoleh pendapatan lebih tinggi daripada buruh tani atau pekerja domestik.
Ini mendorong generasi muda untuk mengejar pendidikan agar bisa ikut serta dalam ekonomi jasa global. Namun, India menghadapi tantangan “brain drain” di kalangan tenaga terampil dan “muscle drain” di kalangan tenaga kasar.
Banyak tenaga kerja India bekerja di luar negeri dengan kondisi yang sering kali buruk, tapi tetap menghasilkan lebih banyak daripada bekerja di dalam negeri.
Akibatnya, pembangunan infrastruktur dalam negeri tertinggal karena kekurangan tenaga kerja.
Perbedaan utama antara output per kapita China dan India dapat dijelaskan oleh infrastruktur China yang jauh lebih baik.
Ketergantungan India pada kelompok pekerja menengah—seperti operator call center atau teknisi tingkat menengah—membuat ekonomi menjadi rentan terhadap otomatisasi. Pekerjaan semacam ini sangat mudah digantikan oleh AI.
Bahkan Amazon diketahui mempekerjakan ribuan pekerja India di balik sistem toko tanpa kasir yang sebenarnya masih membutuhkan banyak intervensi manusia.
Masalahnya adalah, meskipun saat ini manusia menggantikan AI dalam beberapa peran, dalam jangka panjang AI akan mengambil kembali pekerjaan tersebut.
Apalagi AI semakin murah dan efisien, membuat outsourcing ke India terlihat kurang inovatif dibandingkan penggunaan teknologi. Pandangan umum bahwa menggunakan AI itu keren, sementara outsourcing ke India hanya upaya pemotongan biaya, menjadi masalah reputasi bagi India.
Namun, tantangan eksternal seperti AI mungkin masih kalah penting dibandingkan masalah internal India sendiri. Meskipun India memiliki populasi yang lebih besar dan lebih muda dibandingkan China, jumlah tenaga kerjanya justru lebih kecil.
Alasannya? Tingkat partisipasi tenaga kerja India masih sangat rendah, terutama karena sebagian besar perempuan tidak bekerja secara formal.
Banyak pekerjaan rumah tangga di India masih dilakukan secara manual—memasak dengan kayu bakar, mencuci baju dengan tangan—yang menyita banyak waktu.
Hal ini membuat perempuan sulit memasuki dunia kerja formal. Meski banyak perempuan India memiliki pendidikan yang baik, mereka tetap tidak bekerja secara formal.
Beberapa ekonom berpendapat bahwa penemuan mesin cuci berdampak lebih besar terhadap ekonomi global dibandingkan internet, karena memungkinkan perempuan ikut serta dalam angkatan kerja.
India masih miskin, dan tidak memiliki insentif kuat untuk mengadopsi teknologi domestik yang dapat menghemat waktu pekerjaan rumah tangga.
Jika India memiliki tingkat partisipasi tenaga kerja seperti China, maka ukuran tenaga kerjanya bisa jauh lebih besar. Ini berarti ekonomi India bisa hampir dua kali lipat lebih produktif, dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap pekerja migran.
Ke depan, India tetap berpotensi menjadi ekonomi terbesar dunia, atau setidaknya salah satu yang terbesar.
Tapi angka-angka itu tidak akan berarti jika hanya dinikmati segelintir orang di puncak piramida, sementara mayoritas rakyat tertinggal.
Dengan kebijakan yang tepat, masalah-masalah ini bisa diatasi. Namun, India juga dikenal sebagai negara yang sangat sulit untuk diperintah secara efektif, bahkan jika para pemimpinnya memiliki niat terbaik.
Ketika India terus tumbuh dan mengambil alih banyak industri dari China, ia pun pada akhirnya akan membutuhkan negara lain untuk di-outsourcing, dan Bangladesh mungkin menjadi target logis berikutnya.
Ini membuka babak baru dalam peta ekonomi Asia Selatan yang patut dicermati ke depannya.
Redaksi