PELAKITA.ID – Ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan terus meningkat, dan Amerika Serikat kembali menjadi bagian penting dalam dinamika ini.
Beijing semakin gencar menyuarakan keinginannya untuk menyatukan Taiwan, sementara Washington memperkuat dukungannya terhadap Taipei, memicu kekhawatiran global akan potensi konflik terbuka di Asia Timur.
Bagi pemerintah Tiongkok, Taiwan dianggap sebagai provinsi yang membangkang dan harus kembali bersatu dengan daratan utama, bahkan jika harus menggunakan kekuatan militer.
Namun, Taiwan memandang dirinya sebagai negara berdaulat dengan sistem pemerintahan demokratis dan dukungan dari sejumlah negara Barat, terutama Amerika Serikat.
Dalam beberapa pekan terakhir, dunia menyaksikan peningkatan aktivitas militer di sekitar Selat Taiwan.
Jet-jet tempur Tiongkok secara rutin memasuki zona identifikasi pertahanan udara Taiwan, sedangkan kapal perang Amerika melintasi selat tersebut sebagai simbol dukungan terhadap prinsip kebebasan navigasi.
Pernyataan Presiden Amerika Serikat yang menegaskan komitmen membantu Taiwan mempertahankan diri semakin menyulut ketegangan. Beijing mengecam langkah tersebut sebagai bentuk campur tangan dalam urusan dalam negeri Tiongkok.
Banyak analis menilai situasi ini sebagai permainan berbahaya, karena setiap manuver militer memiliki potensi disalahartikan dan memicu konfrontasi yang tidak disengaja.
Secara resmi, AS masih berpegang pada kebijakan “Satu Tiongkok” yang mengakui hanya satu pemerintahan Tiongkok, tetapi pada saat yang sama tetap menjalin hubungan tidak resmi dengan Taiwan dan memasok senjata ke pulau tersebut.
Untuk memahami konteks konflik ini, penting menengok sejarahnya. Setelah perang saudara Tiongkok berakhir pada tahun 1949, kaum nasionalis melarikan diri ke Taiwan dan mendirikan pemerintahan sendiri. Sejak itu, dua entitas politik terpisah tumbuh: satu di Beijing, satu di Taipei.
Tiongkok tidak pernah mengesampingkan opsi kekuatan untuk menyatukan kembali Taiwan. Dalam beberapa tahun terakhir, retorika dari Beijing semakin vokal dan agresif, memperingatkan negara-negara asing agar tidak mencampuri “urusan internal”-nya.
Bagi Amerika Serikat, Taiwan memiliki nilai strategis yang tinggi di kawasan Indo-Pasifik, tidak hanya karena lokasinya, tetapi juga perannya dalam rantai pasokan global, terutama dalam industri semikonduktor.
Perusahaan Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) memproduksi sebagian besar chip paling canggih di dunia, menjadikan Taiwan sebagai simpul penting ekonomi global.
Tiongkok tidak hanya meningkatkan tekanan militer, tetapi juga tekanan ekonomi dan diplomatik terhadap Taiwan.
Latihan militer besar-besaran yang mensimulasikan blokade dan serangan udara menjadi bentuk intimidasi sekaligus latihan nyata untuk kemungkinan invasi. Sementara itu, Amerika Serikat juga meningkatkan dukungan militernya melalui penjualan senjata, pelatihan, dan pertimbangan bantuan langsung jika Taiwan diserang.
Retorika dari Presiden Tiongkok bahwa reunifikasi adalah “misi sejarah yang tidak bisa dihindari” menambah kecemasan warga Taiwan.
Sebagian besar rakyat Taiwan menolak ide penyatuan, terutama karena perbedaan sistem politik dan nilai-nilai demokrasi. Banyak dari mereka menyatakan keinginan untuk mempertahankan hak memilih pemimpin sendiri dan hidup bebas dari kendali Beijing.
Tiongkok berulang kali memperingatkan bahwa deklarasi kemerdekaan resmi dari Taiwan akan memicu “tindakan keras”. Sementara itu, Taiwan menegaskan bahwa secara de facto mereka sudah merdeka.
Dalam menghadapi tekanan Beijing, Taiwan memperkuat hubungannya dengan negara-negara demokrasi lain seperti Jepang dan beberapa negara Eropa, meskipun sebagian besar negara masih enggan mengakui Taiwan secara diplomatik karena tekanan dari Tiongkok.
Situasi ini menciptakan kondisi yang disebut sebagai “ambiguitas strategis”.
Amerika Serikat tidak secara eksplisit menjanjikan pembelaan terhadap Taiwan, namun memberikan sinyal bahwa hal tersebut mungkin terjadi. Strategi ini dimaksudkan untuk mencegah baik invasi dari Tiongkok maupun deklarasi kemerdekaan formal dari Taiwan.
Namun, seiring meningkatnya ketegangan, banyak pengamat mempertanyakan apakah strategi ambiguitas masih relevan. Risiko salah perhitungan meningkat, dan saluran komunikasi militer antara AS dan Tiongkok sering kali membeku justru saat sangat dibutuhkan.
Tiongkok menolak dialog dengan pemimpin Taiwan saat ini yang dianggap pro-kemerdekaan, membuat solusi damai semakin sulit dicapai. Di sisi lain, Taiwan mengambil langkah-langkah untuk memperkuat pertahanannya, termasuk memperpanjang masa wajib militer dan melatih warga sipil menghadapi kemungkinan invasi.
Beijing menanggapi dengan lebih banyak latihan militer dan sanksi terhadap politisi Taiwan. Dunia menyaksikan dengan cemas, karena konflik di Selat Taiwan dapat mengguncang stabilitas ekonomi global dan keamanan internasional.
Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, dan bahkan beberapa negara Eropa telah menyuarakan keprihatinan, mengirim kapal perang, dan ikut serta dalam latihan bersama dengan AS.
Asia Timur berpotensi menjadi titik panas geopolitik berikutnya. Di tengah meningkatnya tekanan dan ketegangan, diplomasi menjadi semakin mendesak. Namun hingga kini, belum ada indikasi bahwa salah satu pihak akan mundur dari posisinya.