Kolom Muhd Nur Sangadji | Puasa Mengingatkan Kita untuk Pulang

  • Whatsapp
Ilustrasi Kota ternate (dok: K. Azis)

Lebih baik pergi umrah daripada pulang ke Ternate. Tiket pulang-pergi Palu-Ternate bisa mencapai 16 juta rupiah. Kita pun pernah mendengar, tiket Jakarta ke Medan sering kali lebih mahal dibandingkan Jakarta-Malaysia-Medan.

PELAKITA.ID –  Hari-hari di bulan Ramadan kian menipis. Tidak lama lagi, ia akan pergi meninggalkan kita. Bukan kita yang pergi, tetapi Ramadan yang beranjak menjauh. Namun, jika selama ini kita abai dan tidak peduli dengan keberadaannya, maka sejatinya kitalah yang menjauh darinya.

Kini, ia benar-benar akan pergi, menyisakan jarak sebelas bulan lamanya. Saat ia datang kembali, belum tentu kita masih bisa menyambutnya.

Kemarin, sahabat saya pulang. Pulang dalam arti sesungguhnya—meninggalkan dunia ini. Tepat di ujung Ramadan, di hari-hari terakhir puasa.

Sudah pasti ia tidak akan lagi bertemu dengan siklus Ramadan berikutnya. Semoga kepulangannya membawa berkah.

Suatu hari, giliran kita akan tiba. Entah kapan. Tak ada yang bisa memastikan, karena itu adalah urusan Allah. Seperti firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, ruh itu urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra: 85).

Perbedaan Ilmu Pengetahuan dan Agama

Di sinilah letak perbedaan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Ilmu pengetahuan umum hanya membedakan dua hal: (1) sesuatu yang telah diketahui hari ini mungkin belum diketahui kemarin, dan (2) sesuatu yang belum diketahui hari ini mungkin akan diketahui esok.

Namun, agama menambahkan satu aspek lagi: (3) sesuatu yang tidak akan pernah bisa diketahui selamanya. Salah satunya adalah kepastian waktu kematian manusia.

Jika ada seseorang yang seolah mengetahui kapan ia akan mati, itu hanyalah pengecualian yang sangat langka. Karena itu, kita diminta untuk berpikir tentang ciptaan-Nya, bukan tentang Zat Ilahi.

Tradisi Pulang di Ujung Ramadan

Di penghujung Ramadan, banyak orang yang disibukkan dengan tradisi pulang kampung. Kembali ke tanah kelahiran untuk bertemu keluarga, menyambung tali kasih sayang yang renggang atau terputus selama berbulan atau bertahun.

Tradisi yang sangat mulia. Namun, sayangnya, biaya untuk ini sangat mahal. Salah satunya adalah biaya transportasi yang melambung tinggi.

Saya merenung, mengapa harga tiket begitu mahal? Padahal, harga avtur tidak naik, suku cadang pun tidak berubah. Satu-satunya alasan yang sering dikemukakan adalah teori ekonomi Adam Smith: permintaan tinggi menyebabkan harga naik. Tetapi, logika ini terasa ganjil. Apakah ini benar-benar hukum pasar atau hanya kerakusan?

Mengapa di saat-saat seperti ini—menjelang Idul Fitri, Natal, atau Tahun Baru—banyak toko yang memberikan diskon besar, bahkan ada yang menggelar cuci gudang? Sementara harga tiket transportasi justru melonjak drastis.

Di banyak negara lain, justru terjadi sebaliknya. Di saat musim liburan, harga tiket pesawat sering kali lebih murah. Saya sendiri mengalaminya saat tinggal di Eropa.

Tiket dari Lyon ke Jakarta melalui Frankfurt sering kali lebih murah dibandingkan tiket penerbangan domestik di Indonesia. Mengapa di negeri ini keadaannya justru terbalik?

Kita punya kebijakan harga minimum (floor price) dan harga maksimum (ceiling price). Namun, kenyataannya, kita jarang menikmati harga dasar tersebut.

Sebab, manusia bukan hanya ingin menghindari kerugian, tetapi juga mencari keuntungan sebesar-besarnya. Di sinilah seharusnya pemerintah hadir, agar kita bangga memiliki negara yang berpihak pada rakyatnya.

Bekal untuk Pulang

Seorang adik saya yang berprofesi sebagai jurnalis pernah menulis, “Lebih baik pergi umrah daripada pulang ke Ternate.” Pernyataannya beralasan.

Tiket pulang-pergi Palu-Ternate bisa mencapai 16 juta rupiah. Kita pun pernah mendengar, tiket Jakarta ke Medan sering kali lebih mahal dibandingkan Jakarta-Malaysia-Medan.

Lalu, masihkah kita berniat pulang? Jika iya, kita harus menyiapkan bekal yang matang. Itu baru urusan dunia. Bagaimana dengan perjalanan pulang ke akhirat? Bekalnya harus jauh lebih istimewa.

Bekal terbaik untuk perjalanan pulang ini adalah takwa. Dan takwa itulah tujuan hakiki dari perintah puasa Ramadan. Wallahu a’lam bish-shawab.