PELAKITA.ID – Beberapa waktu lalu, seorang kawan dari Takalar meminta saya membuat profil dirinya untuk digunakan dalam tender program lembaganya. Ini bukan pertama kalinya.
Sudah beberapa kali teman-teman lain meminta CV atau profil saya untuk memperkuat aplikasi mereka.
Saat memeriksa CV itu, saya meringkasnya menjadi profil singkat. Hasilnya membuat saya termenung, mengingat kembali perjalanan panjang yang membuat saya jatuh cinta pada dunia menulis.
Pengalaman Pertama
Saya teringat pertama kali mengenal internet di Banda Aceh, tahun 2007. Sebelumnya, ketika bekerja di COREMAP I di Selayar (2000-2003), internet belum menjadi sesuatu yang menarik bagi saya.
Perjalanan ke Taka Bonerate, melihat pesisir, lumba-lumba bermain di sisi perahu, atau ikan paus melintas di Laut Flores terasa lebih menakjubkan dibanding berselancar di dunia maya.
Namun, semua berubah ketika saya bertemu dengan seorang sahabat bernama Agung Prasetio.
Dia bekerja di LSM Bina Swadaya dan belakangan saya dengar menjadi sosok penting di PT Bina Swadaya Konsultan. Orangnya rendah hati, suka bersepeda, dan khas Jawa Timuran.
Dia yang membuka pintu bagi saya untuk mulai menulis di platform Multiply (rest in peace Multiply).
“Kan sering bepergian ke pesisir Aceh, ke Nias, tulislah pengalaman dari situ,” pesannya suatu hari saat kami ngopi di Solong, Banda Aceh.
Dari saran itu, saya akhirnya mulai aktif menulis. Saya menemukan dua “dermaga” yang memberi semangat: Komunitas Blogger Makassar dan Panyingkul, portal citizen reporter yang berbasis di Kota Makassar.
Dua tempat ini menjadi ruang bagi saya untuk belajar, berbagi, dan mengasah kemampuan literasi.
Menulis, Pelampung yang Menyelamatkan
Semalam, saya menyadari bahwa menulis bukan sekadar aktivitas berbagi pengalaman, melainkan juga jaring pengaman sosial. Dengan menulis, saya bisa menerbitkan buku, menjadi reporter, menulis laporan kerja yang layak, bahkan mendapatkan pekerjaan yang saya idamkan.
Beberapa orang mengatakan bahwa generasi milenial dan generasi sekarang lebih memilih vlog atau YouTube daripada menulis.
Itu pilihan. Tapi jangan sampai kita menjadi manusia yang gagap literasi. Jangan sampai salah menulis antara “di sana” dan “disana” lalu dianggap sepele. Kesalahan kecil bisa berujung cibiran, bahkan mempermalukan diri sendiri.
Menulis adalah keterampilan dasar. Mau sehebat apa pun posisi dan sebesar apa pun penghasilan kita, jika tak bisa menulis dengan baik, itu bisa menjadi beban moral.
Tentu, typo bisa dimaklumi, tapi jika salah terus-menerus, itu tanda ada yang salah dengan kebiasaan kita dalam berbahasa dan berkomunikasi.
Ketika bekerja di Aceh dan Nias, saya mulai belajar menulis bersama beberapa teman di dunia maya. Nama-nama mereka masih terukir dalam ingatan, meski kini jarang berinteraksi. Mereka telah menemukan dermaga masing-masing dalam dunia literasi.
Dermaga Penulisan, Jalan ke Masa Depan
Berkat kebiasaan menulis, saya bisa kembali ke Makassar dan bekerja di organisasi pembangunan internasional pada 2008. Saat itu, saya merasa lebih mudah mendapatkan pekerjaan karena sudah memiliki keterampilan menulis dan berpikir sistematis.
Antara tahun 2007-2008, saat bekerja di proyek ADB dan KKP, saya menggunakan Facebook untuk melacak perjalanan, mendokumentasikan aktivitas, dan menyimpan foto-foto untuk laporan kerja.
Begitu juga saat bekerja di Makassar (2008-2012), saya terus mengasah kemampuan menulis dengan menjadi citizen reporter dan mengikuti lomba menulis.
Saya juga teringat ketika menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Kelautan Unhas (2010-2012).
Salah satu program yang saya perjuangkan adalah workshop penulisan bagi alumni Kelautan Unhas.
Saya yakin, di masa depan, kemampuan literasi akan sangat dibutuhkan. Kini, beberapa peserta workshop itu telah menunjukkan prestasi luar biasa di bidangnya.
Terima kasih untuk Amir PR, Dandy Sirimorok, dan Jimpe Rahman yang turut membantu mewujudkan program ini. Tappaka!

Menulis, Membangun Jaring Pengaman Sosial
Kini, saya menemukan dermaga baru dalam perjalanan menulis. Dalam tiga tahun terakhir, saya menerbitkan beberapa buku setelah melanglang dari Aceh ke Manokwari, dari Rote ke Ternate, dari Saumlaki ke Anambas, hingga ke Raja Ampat. Menulis telah mengantarkan saya menjadi Konsultan Komunikasi di proyek lembaga internasional, sekaligus tetap aktif sebagai jurnalis lepas di media online.
Saya ingin berbagi pesan bagi generasi muda: daripada menghabiskan waktu di dunia maya untuk menyebarkan hoaks atau candaan yang hanya sesaat, lebih baik menulis pengalaman dan membangun jejak digital yang bermanfaat.
Dengan berbagi inspirasi, tips, atau cerita pribadi, kita bisa merintis jalan menuju dermaga impian kita sendiri.
Seorang kawan di Yayasan COMMIT pernah berkata, “Setiap orang punya pengalaman, dan dengan pengalaman itu, kita bisa menjadikannya pesan kebaikan atau inspirasi bagi orang lain.”
Menulis bukan sekadar aktivitas, tapi juga investasi. Ia bisa menjadi pelampung di saat kita tenggelam sebelum mencapai dermaga cita-cita. Apalagi di tengah ketidakpastian akibat pandemi atau perubahan zaman, menulis bisa menjadi penyelamat yang tak kita duga sebelumnya.
Banyak jalan menuju Roma, dan menulis adalah salah satunya. Jadi, menulislah! #eh