Prof Akabr Tahir: Ngopi-ngopi rong, punna tena jaki sibuk

  • Whatsapp
Prof Akbar Tahir, kedua dari kiri (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Tiga hari lalu, usai bersua dan ngobrol panjang lebar dengan Kandayya Anto Bachtiar di Warkop Kopizone, tetiba terlintas di benak saya untuk menjumpai Kanda Prof Akbar Tahir yang sedang sakit.

Obrolan saya dengan Pak Dosen, salah satu dosen di FIKP Unhas itu menuntun memori saya pada pesan WA dari Prof Akbar di FB. Dia sungguh ingin bersua dengan saya. Setidaknya itu yang saya abaca di messenger FB.

“Ngopi2 rong. Punna tena jaki sibu, Denun. Black Canyon Hertasing.” Pesannya via WA.

Read More

“Ri Jakartaka kanda Prof. Thank you.” Balasku. Itu rekaman messenger tertanggal 20 April 2021. Pukul 20.37.

Sebulan lalu saya mendapat kabar kalau Guru Besar Kelautan bidang Mikrobiologi Laut Unhas sedang sakit. Kena stroke ringan. Beberapa kali sempat terlintas namanya di tengah kesibukan saya dalam sebulan terakhir di Desember 2021 ini.

Lumayan banyak kegiatan saya sebulan ini sehingga waktu untuk menjumpai beliau setelah mendengar kabar sakitnya itu tak kunjung jua terlaksana, hingga kabar itu datang.

“Prof Akbar Tahir meninggal dunia hari ini.” Grup WA Alumni Unhas, grup WA Ilmu Kelautan Unhas hingga timeline media sosial saya hiruk pikuk dengan berita duka itu.

Bagi saya, Prof Akbar adalah guru besar Unhas yang selalu menyenangkan diajak bicara, menarik diajak berbagi perspektif, persis manakala saya bersua senior lain seperti Iqbal Djawad, Rijal Idrus hingga Kak Anto itu.

Saya merasa, saya sangat ‘berani’ – dibanding seangkatan saya di Kelautan Unhas – untuk mengajaknya masuk dalam ranah ‘baku gea’ kelautan dan perikanan dengan cara yang sangat ‘Makassar’: To the point atau silangsungangngang. Obrolan atau diskusi kami diisi dengan diksi-diksi berbahasa Makassar. Rupanya dia sama denganku, suka berbahasa Makassar.

Dia sangat mengenal Gowa-Takalar dan tentu saja entitas berbahasa Makassar. Dia punya sejarah masa kanak-kanak hingga remaja di kedua daerah itu. Yang saya tahu bapaknya tentara dan ‘Sangat Makassar’ walau ada yang bilang dia Mandar. “Nakke anak tantara tonja.” Katanya pada suatu waktu.

Pertemuan kami terakhir kali tanggal 9 Februari 2019 di Cafe Red Corner Makassar. Saat itu hadir pula kanda Dr Hamzah Latief, dosen ITB spesialis kebencanaan. Pertemuan yang gegas karena saya harus pamit untuk urusan lain.

Saya mengenal Prof Akbar sejak awal tahun 2000-an. Saat sama-sama mengabdi untuk Proyek Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP I). Meski merupakan dosen di Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas, saya belum pernah diajarnya sebab ketika saya masih kuliah antara tahun 1989 – 1995, dia sedang studi S2 dan S3 di Inggris (setahuku).

Pulang dari studi dia aktif di proyek itu dan mengurusi Pusat Studi Terumbu Karang Unhas atau tepatnya jadi pilar untuk komonen 5 COREMAP I Sulawesi Selatan kala itu, Coral Reef Information and Training Center (CRITC).

Media sosial seperti Facebook membuat saya kerap berinteraksi dengannya. Sering berbalas komen dan saling puji pada pekerjaan masing-masing.

Dia pernah menjadi Kepala Bappeda Sulawesi Barat, bersamaan saat saya bekerja untuk JICA CD Project, jika tak keliru antara tahun 2011 dan 2012 ada beberapa momen dimana kami bersua. Tidak lama di Sulbar, dia balik ke Kampus.

“Saya nampaknya lebih cocok jadi orang kampus saja Denun,” kurang lebih begitu jawabannya saat ditanya mengapa balik ke kampus.  “Toamaki, rambut putih, cammo maki poeng.”  “Sudah tua, rambut putih, gigi ompong.” Kalimat itu lekat dengan kejenakaan dia memandang situasinya yang menua.

Nia’mo poeng cucu.” “Cucu pun sudah ada.” Banyak diksi yang saya ingat dan terkait cara dia menghiasai obrolan kami.  Via telepon, via Whatsapp.

Di Unhas, terutama di FIKP, meski saya alumni Ilmu Kelautan, saya lebih intens berdiskusi dan dekat sebagai adik-kakak seperti Prof Akbar Tahir ini. Dia seperti senior FIKP yang lain – yang saya sebutkan sebelumnya – yang punya kemampuan komunikasi, humoris dan pandai menuntun adilk-adiknya dengan gaya dan caranya sendiri.

Kanda Prof Akbar Tahir yang baik hati itu kini telah berpulang. Dia meninggalkan legacy yang indah tentang akademisi yang tak bisa diam saat melihat persoalan yang kian hebat mendera lautan.

Lima tahun terakhir, dia selalu antusias saat membahas strategi atau upaya menghentikan ulah buruk manusia kota yang terus menerus merusak lautan dengan sampah plastik.

Selamat jalan kanda Prof. Sampai jumpa di Jannah yang kita rindukan bersama.

 

Tamarunang, 25/12

Kamaruddin Azis
Kelautan Unhas 89

Related posts