Kolom RIYONO, ketua Iskindo Jateng: Poros Maritim Dunia, sampai di mana sekarang?

  • Whatsapp
Riyono, ketua Iskindo Jateng (dok: nistimewa)

DPRD Makassar

Riyono, Ketua DPP Aliansi Nelayan Indonesia sekaligus Ketua DPW Ikatan Sarjana Kelautan Jawa Tengah mengemukan pandangannya, sekaligus bertanya: Poros Maritim Dunia yang diidamkan Presiden Jokowi sudah sampai mana?

PELAKITA.ID – Indonesia memiliki luas wilayah laut sebesar 5,8 juta km2 dengan rincian 3,1 juta km2 merupakan laut teritorial dan 2,7 juta km2 merupakan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI).

Indonesia juga memiliki 17.504 pulau dan yang telah diberi nama (toponimi) dan telah diverifikasi oleh PBB sebanyak 16.056 pulau. Posisi geoekonomi dan geopolitik wilayah laut Indonesia sangat strategis, dimana 45 persen dari seluruh barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$ 1.500 trilyun/tahun diangkut melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2012).

Tanggal 23 September 1964 ditetapkan oleh Presiden Soekarno sebagai Hari Maritim Nasional. Penulis masih mengingat sebuah quote menarik dari founding father bangsa Indonesia pada National Maritime Convention I tahun 1963 yaitu National Building : To build Indonesia becomes A great nation, a powerful nation, a wealthy nation and a tranquil nation. Nation can be powerful, only if it controls the ocean: “To control the ocean, we must control sufficient fleet”.

Read More

Yang secara sederhana diartikan untuk membangun Indonesia sebagai sebuah Negara yang besar dan kaya adalah dengan mengendalikan laut.

Dengan mengendalikan laut sesungguhnya kita sedang berjuang dan memastikan laut bisa kita gunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran bangsa.

Asa tentang kejayaan maritim tersebut perlahan tumbuh ketika tahun 2014 Presiden Jokowi menyampaikan sebuah visi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia yang digadang-gadang merupakan bentuk “perlawanan” terhadap Maritime Silk Road yang dicanangkan oleh Presiden Xie Jinping.

Tahun ini hampir 7 tahun berlalu masa kepemimpinan Presiden Jokowi, nasib Visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia semakin tenggelam ditelan waktu.

Di periode kedua Jokowi, isu dan prioritas tentang Poros Maritim Dunia nyaris hilang dalam berbagai program prioritas nasional. Kenapa ini terjadi? Apakah Jokowi sudah tidak tertarik dengan PMD?

Harusnya wacana ini dikawal ketat minimal sampai 2030 seiring pertumbuhan global ditengah pandemi hanya sektor pertanian, kelauatan dan maritim yang bertahan. Pertanyaannya, sampai mana sekarang PMD?

 

Infrastruktur maritim kuncinya

Kunci utama keberhasilan visi maritime adalah konektivitas antar wilayah. Artinya pemerintah harus serius menyiapkan anggaran pendukung pengembangan maritim tapi lagi-lagi yang nampak malah pembangnan infrastruktur fokus kepada pembangunan infrastruktur jalan tol sedangkan tol laut hanya tinggal jargon yang tertulis di dinding kapal tanpa ada perencanaan yang baik.

Meskipun data bank dunia indeks performa logistic Indonesia menunjukkan adanya peningkatan sebesar 17 peringkat dari semula diposisi 63 pada tahun 2016 menjadi di posisi 46 pada tahun 2018 namun angka peningkatan performa logistik Indonesia belum diimbangi dengan penurunan biaya logistik.

Biaya logistik Indonesia pada 2020 masih mencapai 24 persen dari PDB, masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di ASEAN seperti Vietnam (15 persen), Thailand (13,2 persen), Malaysia (13 persen) dan Singapura (8,1 persen).

Menurut Indonesia Multimodal Transport Association (IMTA) pembangunan infrastruktur yang dibangun saat ini belum banyak dirasakan karena biaya pengiriman barang antar daerah masih melalui mekanisme yang panjang dan berbiaya mahal.

Persoalan akut besarnya biaya logistic tersebut menyebabkan permasalahan distribusi bahan baku antar wilayah menjadi tersendat.

Penulis mencontohkan lemahnya performa perikanan Indonesia secara umum karena masalah konetivitas logistic antar wilayah terbatas dan berbiaya tinggi menyebabkan bahan baku ikan untuk industri tepung ikan dan yang lainnya masih lebih mahal dari pada impor.

Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat dengan asosiasi pengusaha perikanan nasional di komisi IV DPR RI bahwa bahan baku sebagian produk perikanan masih diimpor untuk mengurangi biaya produksi.

Impor komoditas perikanan setiap tahunnya mempunyai trend yang meningkat. Pada kuartal I tahun 2021 saja impor produk perikanan mencapai 42.079 ton, dengan nilai US$65,34 juta atau sekitar Rp942,2 miliar (kurs Rp14.420 per dolar AS) pada periode Januari-Februari 2021.

Impor didominasi oleh komoditas tepung ikan dengan volume impor sebesar 24 465 ton atau setara 58,1 persen dari total ekspor. Nilainya sebesar US$16,94 juta. Untuk makarel, selama dua bulan terakhir sebanyak 5 844 ton diimpor dengan nilai transaksi sebesar US$8,07 juta. Lalu, 2 300 ton tuna-cakalang diimpor dengan nilai sebesar US$3,65 juta.

Secara sederhana konektivitas logistik akan menjadi sangat penting ketika stok perikanan yang tinggi di wilayah timur Indonesia (lumbung ikan nasional) menjadi tidak bermanfaat karena keterbatasan pasar.

Namun, di sisi lain untuk mengangkut ikan hasil produksi dari wilayah timur Indonesia juga terkendala sarana dan prasarana logistik yang terbatas sehingga biaya operasional akan jauh lebih mahal ketimbang dengan mendatangkan ikan secara import.

Harga ikan tongkol lokal juga jauh lebih mahal ketimbang ikan tongkol impor, menurut data yang diperoleh dari harga.web.id komoditas ikan tongkol perkilogramnya mencapai 34 ribu hingga 35 ribu rupiah per kilogramnya sedangkan untuk ikan impor hanya berada di kisaran 22 ribu rupiah per kg.

Contoh lain misalnya, harga Harga gula impor di jawatimur pada bulan april 2021 rata-rata Rp 6-7 ribu per kilogram. Sedangkan harga gula lokal ditetapkan sekitar Rp 10 600, – Rp 10 650,- per kilogramnya. Belum lagi beberapa komoditas hortikultura seperti sayur dan buah yang terus tertekan oleh keberadaan hortikulutra impor.

Beberapa peneliti mengatakan bahwa kualitas komoditas local sebenarnya mampu bersaing dengan komoditas impor namun kendala kestabilan jumlah produksi serta harga terkadang membuat para pelaku usaha memilih untuk melakukan impor.

Persoalan lainnya adalah dukungan infrastruktur yang belum begitu maksimal menyebabkan komoditas perikanan dan pertanian Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Negara lain.

 

Pandemi: Tantangan dan peluang

Meskipun pandemi covid 19 memporakporandakan ekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir ini namun sebuah fakta menarik bahwa berdasarkan Data BPS tahun 2020 mengungkapkan bahwa sektor pertanian dan perikanan telah menyumbang 14,2 persen terhadap struktur PDB nasional dengan nilai Rp2.115 triliun atau berada di urutan kedua setelah industri pengolahan (20,6 persen senilai Rp3.086 triliun).

Bahkan Pada tahun ini juga sektor pertanian termasuk perikanan tercatat menjadi satu-satunya lapangan usaha yang tumbuh positif saat PDB nasional terkontraksi 2,07 persen.

Sektor pertanian perikanan dan kehutanan tumbuh 1,75 persen dibandingkan sektor pertambangan minus 1,95 persen, industri pengolahan minus 2,93 persen, konstruksi minus 3,26 persen, perdagangan dan reparasi minus 3,72 persen, serta sektor lainnya minus 1,97 persen.

Salah satu kendala besar terkait dengan daya saing produk perikanan dan pertanian adalah persoalan konektivitas logistik atau secara lebih spesifik adalah konektivitas maritim.

Penulis tidak bermaksud mengkerdilkan upaya pemerintah dengan membangun jalan tol diberbagai daerah, namun pertanyaan yang muncul seberapa besar infrastruktur jalan tol tersebut mampu menurunkan biaya logistik?

Karena faktanya memang betul konektivitas membaik namun biaya logistiknya dirasakan masih cukup mahal.

Seharusnya kita belajar dari apa yang dilakukan Vietnam saat awal-awal pandemic, setelah fokus mengatasi pandemi mereka langsung menyerbu pasar-pasar internasional seperti udang yang dulunya dikuasai oleh Ekuador namun saat ini Vietnam sudah berhasil meng overtake Ekuador khususnya di pasar Amerika.

Industri dan UMKM perikanan serta  pertanian merupakan sumber utama penyerapan tenaga kerja di Indonesia yang rentan terhadap pasokan bahan baku.

Di tengah pandemic covid 19 kebutuhan akan pangan akan sangat meningkat sehingga dengan peribaikan infrastruktur maritime yang mampu meningkatkan konektivitas antar wilayah dengan biaya terjangkau diyakini akan meningkatkan daya saing produk-produk pertanian dan perikanan antar wilayah di Indonesia.

 

Menjaga Asa Poros Maritim

Dalam pidato presiden mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2022 pemerintah merencanakan sebesar Rp2.708,7 triliun yang meliputi, belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.938,3 triliun serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp770,4 triliun.

Pembangunan infrastruktur dianggarkan Rp384,8 triliun. Pembangunan infrastruktur diarahkan untuk: mendukung penguatan penyediaan pelayanan dasar; mendukung peningkatan produktivitas melalui infrastruktur konektivitas dan mobilitas; menyediakan infrastruktur energi dan pangan yang terjangkau, andal, dan memperhatikan aspek lingkungan; serta pemerataan infrastruktur dan akses Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Perencanaan ini tentu saja akan sangat bagus apabila pemerintah kembali focus mengembangkan infrastruktur maritime secara massif.

Jika kita mengingat kembali perencanaan pemerintah mengenai visi poros maritim dunia lalu kita bandingkan dengan fakta atau kenyataan saat ini tentu saja banyak muncul kekecewaan yang mendalam.

Pertanyaan yang muncul dari anggaran infrastruktur yang sudah atau sedang direncanakan tersebut berapa pelabuhan yang sudah dibagun?

Berapa jumlah kapal angkut yang sudah dimiliki? Seperti apa gambaran konektivitas antar wilayah di Indonesia saat ini?

Penulis sebagai wakil rakyat dan aktivis kelautan yang membidangi pertanian dan perikanan tentu saja mengharapkan agar janji Presiden Jokowi tentang visi menjadikan Indonesia sebaga Poros Maritim Dunia jangan sampai hanya menjadi jargon semata karena sejatinya pemimpin itu harus dipegang kata-katanya.

Sehingga melalui momentum hari maritim nasional tahun ini mari bersama-sama mewujudkan petani dan nelayan yang Berjaya di negeri sendiri.

Jadi, sampai di mana Poros Maritim Dunia sekarang?

 

Editor: K. Azis

Related posts