Literasi bencana menurut Guru Besar Kebencanaan UNHAS Prof Adi Maulana

  • Whatsapp

DPRD Makassar

PELAKITA,ID – Kepala Pusat Studi Kebencanaan, Universitas Hasanuddin, Prof Adi Maulana, Ph.D menjadi penanggap pada refleksi Merajut Kerja sama Pemerintah dan Masyarakat dalam PRBBK pada Masa Pandemi di Sulselbar” Rabu, 8 September 2021.

Dia menjadi penanggap bersama Bupati Luwu Utara, Indah Indriani Putri, anggota DPRD Sulawesi Selatan, Andi Januar Jaury Dharwis untuk empat narasumber yaitu Baso Gandangsura, Kades Bonelemo Luwu, Shafar Mallomo, Gema Difabel Mamuju, Baharuddin, warga sekitar Danau Tempe Wajo serta Musdalifah Jamal dari SPAM Sulawesi Selatan.

Read More

Ada beberapa poin yang disampaikannya dan patut menjadi cermatan kita semua. Apa saja? Simak yiuk!

Pertama, kalau kita hitung rata-rata, satu hari itu delapan kali terjadi bencana di Indonesia, satu minggu 56 kali terjadi bencana dan satu bulan itu 240 kali bencana.

Menurutnya, itu adalah sebuah gambaran, Indonesia itu sangat rawan dengan bencana, kita sedang menghadapi bencana Covid.

Kedua, riset di Jepang faktor keselamatan dari bencana, 35 persen menyelamatkan diri sendiri, 32 persen diselamatkan oleh anggota keluarganya, 28 persen oleh teman atau tetangganya, 2,6 persen oleh orang yang kebetulan berada didekatnya, 1,7 persen oleh Tim SAR, 1 persen oleh factor lainnya.

Jadi apa yang ingin disampaikan di sini, betapa penting faktor kesadaran diri atau konteksnya disini komunitas yang konteksnya signifikan dalam terjadi bencana, sehingga literasi bencana atau pengetahuan akan bencana hukumnya wajib untuk orang Indonesia

Ketiga, mempersiapkan penanganan bencana dari tingkat TK sampai SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi dan pendidikan non formal, karena hamper setengah penduduk kita tinggal di desa-desa, tentu ada beberapa tidak punya akses di pendidikan.

Keempat, melakukan pelatihan kepada tenaga pelajar, apakah guru, dosen, mentor, bagaimana melakukan evakuasi, bagaimana melakukan mitigasi dan adaptasi hidup, sehingga risiko saat terjadi bencana itu bisa dikurangi, terus kebijakan yang kuat untuk implemetasi kebijakan bencana.

Kelima, diimplemetasikan literasi bencana untuk mendukung mengurangi risiko bencana, pemegang kebijakan dari Bupati, Kepala Dinas, Masyarakat, Swasta, media massa, akademisi, itu kemudian membentuk kolabosi, mengupayakan pengurangan risiko-risiko bencana, karena harus memahami bahwa kita hidup didaerah yang banyak jenis bencana alam dan non alam.

Keenam, prediksi akibat dari perubahan iklim di Kota makass3ar tahun 2050 itu terjadi pemanasan global, ketika ada pemanasan global, es di kutub utara dan selatan itu akan mencair, akan naik permukaan air laut dan tentu saja akan mengakibatkan daerah pesisir pantai abrasi.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts