Politisi Demokrat, Andi Januar J. Dharwis: Perlu kolaborasi dan penguatan regulasi daerah terkait PRB

  • Whatsapp
Anggota Komisi C DPRD Sulawesi Selatan dari Partai Demokrat, Andi Januar Jaury Dharwis menjadi penanggap bersama Bupati Lutra, Indah Putri Indriani, pada refleksi PRB Sulsebar, 8/9/2021 (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Anggoa DPRD Sulawesi Selatan, Andi Januar Jaury Dharwis dari Partai Demokrat yang juga anggota Komisi C menjadi penanggap pada refleksi “Merajut Kerja sama Pemerintah dan Masyarakat dalam PRBBK pada Masa Pandemi di Sulselbar” Rabu, 8 September 2021

Kegiatan ini digelar oleh beberapa organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Selatan dan Barat secara daring, 8/9/2021 sebagai ‘pemasanan’ menuju Konferensi Nasional Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas.

Read More

Hasil proses refleksi di wilayah ini akan didiskusikan pada Konferensi Nasional Konferensi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (KN-PRBBK)  dengan tema  “PRBBK Sebagai Strategi percepatan Penanggulangan Bencana dan Percepatan Pandemik Covid-19 di Indonesia” yang akan diselenggarakan pada 20 – 24 September 2021 untuk merumuskan kertas posisi PRBBK di Indonesia.

Andi Januar menjadi penanggap Bersama Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani, serta Prof Adi Maulana, Guru Besar Kebencanaan Unhas. Mereka menanggapi refleksi yang disampaikan narasumber Baso Gandangsura, Kepala Desa Bonelemo Luwu, Baharuddin masyarakat di pesisir Danau Tempe serta Shafar Malolo, aktivis difabel dari Mamuju.

Para narasumber bercerita pengalaman mereka dalam mendorong keberdayaan masyarakat untuk menghadapi bencana secara sukarela, patisipatif dan berbasis potensi lokal.

Baso misalnya, bercerita bagaimana di desanya, masyarakat bahu membahu untuk beradaptasi atas perubahan lingkungan, mengadopsi tradisi untuk menghadapi pandemi COVID-19 hingga merevitalisasi norma lokal untuk memperkuat daya tahan mereka mengantisipasi bencana.

Sementara Shafar bercerita tantangan warga difabel saat bencana dan bagaimana dia menumbuhkan daya tahan difabel untuk ikut menjadi bagian dalam pengelolaan kebencanaan di Sulbar. Sementara, Baharuddin bercerita tradisi warga dalam mengantisipasi bencana banjir serta kegotongroyongan mereka dalam mengurangi beban bencana di sekitar Danau Tempe.

Perlu inisiatif Pemda

Saat dimintai tanggapan atas paparan narasumber, Andi Januar menyebut bahwa sebagai anggota legislatif dia bertugas untuk membuat produk hukum daerah, produk hukum, konstitusi daerah yang mengikat kewajiban pemerintah dan hak-hak rakyat.

“Kalau merujuk ke hirarki, kita masih mengacu turunan UU 45, tentang kebencanaan, UU 24/2007, lalu turun ke PP 21/2008, terkait kebijakan (kebencanaan) Pemprov Sulsel memang masih sangat minim dalam produk hukum daerah, maupun peraturan kepada daerah,” katanya.

Sesuai dengan pembacaannya pada legislasi di Sulsel, terhitung ada 125 Perda dan Perkada namun terkait penyelenggaraan bencana, hanya ada peraturan kepada daerah. “Itu pun terkait petunjuk teknis, pertanggungjawaban penggunaan anggaran,” katanya.

Dia menjelaskan bahwa sejauh ini skop regulasi hukum daerah ada empat. Penyelenggaraan otonomi daerah, dan tugas pembantuan, lalu rencana pembangunan daerah dalam bentuk matriks RPJMD 2018-2023, dimana setiap tahun ada kebijakan kebencanaan lalu turun ke RKPD dalam bentuk peraturan daerah, kepada daerah.

“Yang ketiga adalah penjabaran dari UU yang lebih tinggi, 24/2007, lalu PP 21/2008, penanggulangan bencana belum ter-follow up dalam bentuk kebijakan Perda,” katanya.

Dia juga mengingatkan bahwa muatan-muatan lokal terkait kebencanaan kalaupun ada tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Januar menekankan bahwa pada UU kebencanaan itu Pasal 3,4,5 terlihat bagaimana UU membuka ruang unrtuk partisipasi publik termasuk kepastian akuntabilitas, partisipasi dan keterbukaan juga tercakup.

“Kita harus menemukan kesepahaman yang bisa diletakkan dan mengikat para pihak, semua elemen, sebab kita ketahui masalah bencana, prediksi, tidak bicara soal batas wilayah administrasi bahkan desa, harus mulai dari pra bencana, terjadinya bencana dan pasca bencana,” tambahnya.

“Tinggal memang, bagaimana caranya menciptakan konsensus dengan masyarakat dan mendesak Pemda sesuai turunan PP 21/2008, termasuk masalah sosialisasi kebencanaan,” katanya. “Yakin saja semua bisa dimasukkan ke dalam peraturan daerah.”

Januar optimis bahwa para pemangku kepentingan harusnya bisa mendesain proses legislasi dan sosialisasi yang lebih terbuka sebab PP dan UU sudah menegaskan itu.

“PP dan UU sudah memberikan tugas yang jelas ke Pemda dalam hal pendekatan penggunaan anggaran, ada dua hal, yang berkaitan dengan APBD dan yang sifatnya senantiasa bisa siap digunakan,” lanjutnya.

Menurutnya, Pemerintah dan masyarakat bisa mengakomodir materi-materi lokal, dan mengangtisipasi terjadinya bencana di Sulsel. Dia juga setuju agar data potensi bencana dapat dimutakhirkan.

Dia akan mencari tahu apakah memang tidak ada update mengenai data ini sebagaimana yang diharapkan oleh Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani terkait pemutakhiran data.

Terkait pelibatan masyarakat dalam pengelolaan bencana Januar menyebut sesuai PP 21/2008 hal tersebut jelas sekali ditegaskan.

“Jelas sekali peran-peran masyarakat dibuat secara luas termasuk di BPBD Daerah dimana ada unsur pengarah, ada unsur masyarakat dan ini perlu dimasukkan, juga diberi ruang dan ada mekanisme pelibatan. Ini bisa menjawab bagaimana peran dan partiisipasi, informasi, maupun masyarakat dan kelembagaan bersama masyarakat dalam memitigasi bencana,” paparnya.

“Kehadiran masyarakat adalah sebuah keniscayaan sebagai, sebagai fasilitator, melindungi, merupakan potensi yang dapat mengelola bencana, sehingga seluruh sumberdaya bisa dimanfaatkan secara optimal,” katanya.

“Kita berharap ada regulasi yang berkaitan dengan kewajibab Pemerintah dalam mengoptimalkan peran, membuka ruang partisipasi manajemen, dan mitigasi kebencanaan di Sulsel,” pungkasnya.

 

Penulis: K. Azis

Related posts