Sesditjen PRL KKP paparkan hulu-hilir pengelolaan ruang laut pada FGD pesisir laut Malili

  • Whatsapp
Dr Hendra Yusran Siry, M.Sc, kanan bawah, saat memaparkan 'hulu-hilir'pengelolaan ruang laut NKRI pada FGD pesisir dan laut Malili Luwu Timur (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Dr Hendra Yusran Siry, Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi narasumber pada Focus Group Discussion (FGD) Pesisir dan Laut Terjaga, Masyarakat Tangguh dan Berdaya: Mengelola Potensi Sumberdaya Mangrove dan Terumbu Karang Malili secara Mandiri dan Berkelanjutan.

FGD tersebut merupakan kerjasama Komunitas Merah Putih Parasulu Malili, Pemda Luwu Timur dan PT Vale Indonesia, Tbk. (Rabu, 18/8/2021). Tidak kurang 140 orang menjadi peserta acara yang digelar daring dan luring ini.

Read More

Dr Hendra memaparkan hulu-hilir pengelolaan ruang laut melalui materi berjudul Arah Baru Kebijakan Pengelolaan Ruang  Laut Nasional: Membangun NKRI dari Sektor Kelautan dan Perikanan secara Terpadu dan Berkelanjutan.

Pada alur paparan, dia menekankan perlunya mengembangkan potensi kelautan dan perikanan Indonesia, kemudian perlunya memahami dimensi pengelolaan ruang laut serta UU Cipta Kerja dan implikasinya pengaturan perizinan pemanfaatan ruang laut.

Menurutnya, Indonesia mempunyai luas laut mencapai 6,4 juta kilometer persegi atau kurang lebih 75 persen sementara luas darat mencapai 1,9 juta kilometer persegi atau 25 persen.

“Kita ada 17 504 pulau dimana ada 16 771 telah dibakukan namanya, 16 671 pulau telah dilaporkan ke PBB,” katanya.

Dia juga menyebutkan bahwa luas landas kontinen mencapai 2,8 Juta kilometer persegi, luas perairan mencapai 6,4 juta kilometer persegi, 0,29 juta kilometer persegi sebagai laut territorial, 3,11 juta kilometer persegi sebagai perairan pedalam dan kepulauan dan 3 juta kilometer sebagai luas laut Zona Ekonomi Ekslusif.

Hal lain yang disampaikannya adalah panjang pantai NKRI yang mencapai 108 ribu kilometer. “Kita ada 111 pulau pulau kecil terluar, dan ada  327 kabupaten-kota yang yang memiliki pesisir, ada 12 873 desa yang memiliki garis pantai,” katanya.

“Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia mencapai US$ 1 338 miliar per tahun atau 5 kali lipat APBN 2019 atau Rp 2.400 triliun setara US$ 190 miliar atau 1,3 PDB nasional saat ini,” ungkapnya.

Sebagai tambahan, Dr Hendra juga menyebut nilai potensi perikanan tangkap yang disebut mencapai 20 miliar US Dollar per tahun, perikanan budidaya 210 miliar US Dollar, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi Kelautan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata bahari senilai 60 miliar US Dollar hingga sumber daya non konvensional senilai 200 US Dollar.

“Total 1 338 miliar US dollar,” katanya.  Selain itu, diapun menyebut potensi penyerapan lapangan kerja mencapai 45 juta orang atau 40 persen total angkatan kerja Indonesia.

“Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 22 persen.Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia, kontribusinya di bawah 30 persen,” katanya.

Disebutkan pula luas kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

“Luasnya 24,11 Juta Ha dan 201 kawasan. “2,5 Juta Ha luas terumbu karang Indonesia dilindungi di dalam kawasan konservasi yang luasnya mencapai 1 juta hektar,” katanya.

Jebolan Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas Riau ini mengungkapkan luas sebaran hutan mangrove yang mencapai 3,31 juta hektar.

“Dimana 2,5 juta hektar kawasan hutan, 0,76 juta luar kawasan hutan. Luas sebaran hutan lamun yaitu 1,7 Juta Ha sementara sebanyak 111 pulau-pulau kecil terluar tersebar di 21 provinsi dan 50 kabupaten-kota,” terangnya.

Arah kebijakan

Dengan potensi kelautan dan perikanan seperti itu maka menurut Dr Hendra, arah kebijakan pengelolaan kelautan dan perikanan ditujukan untuk penyerapan lapangan pekerjaan dan peningkatan devisa.

Ada lima bagian kebijakan itu. “Pertama, mengoptimalkan dan memperkuat industrialisasi perikanan budidaya untuk penyerapan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan nilai tambah, serta penyediaan sumber protein hewan untuk konsumsi masyarakat,” sebutnya.

“Kedua, memperbaiki komunikasi dengan nelayan, evaluasi kebijakan, penyederhanaan perizinan, pengembangan pelabuhan perikanan,pengaturan penangkapan ikan sampai ZEEI dan laut lepas, perlindungan dan pemberdayaan nelayan untuk peningkatan pendapatan,” tambahnya.

Bupati Luwu Timur di tangah peserta FGD daring dan luring bertema Mengelola Sumberdaya Mangrove dan Terumbu Karang Malili (dok: istimewa)

“Lalu membangkitkan industri kelautan dan perikanan melalui pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, peningkatan kualitas mutu produk dan nilai tambah untuk peningkatan investasi dan ekspor hasil perikanan dan kelautan,” katanya lagi.

Yang keempat menurutnya adalah pengelolaan wilayah laut, pesisir dan pulau – pulau kecil, penguatan, pengawasan, sumber daya kelautan dan perikanan dan karantina ikan melalui koordinasi dengan instansi terkait.

“Keima, penguatan SDM dan inovasi riset kelautan dan Perikanan,” tambahnya.

Untuk pengelolaan ruang laut Dr Hendra menyebut ada beberapa landasan hukum yang menjadi payungnya.

“Landasan Hukum UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No 27 Tahun 2007/ UU No 1 Tahun 2014 tentang PengelolaanWilayah Pesisir danPulau-Pulau Kecil, UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam serta UU 11/2021 tentang Cipta Lapangan Kerja,” sebutnya.

Landasan Kebijakan ini bermuara pada perwujudan Indonesia Maju, melalui pembangunan SDM, pembangunan Infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi  dan tranformasi ekonomi.

“Untuk program priorotas KKP saat ini adalah penguatan sumber daya manusia, penataan regulasi, menyederhanakan birokrasi, infrastruktur dan transformasi ekonomi,” tambahnya.

Beberapa kebijakan pembangunan KKP antara tahun 2020 hingga 2024 di antaranya penguatan usaha perikanan, optimalisasi perikanan budidaya, membangkitkan industri kelautandan perikanan, pengelolaan wilayah laut, pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, penguatan pengawasan SDKP dan karantina ikan, penguatan SDM daninovasi riset kelautan danperikanan.

Untuk pengelolaan ruang laut Dr Hendra menyebutkan beberapa bagian seperti perencanaan ruang laut yang sejatinya dijalankan secara partisipatif, serasi, dan terkendali pemanfaatan ruangnya secara koordinatif dan efektif untuk kesejahteraan masyarakat.

“Lalu konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati laut yang efektif yang menjamin kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan yang mensejahterakan rakyat,” ucapnya.

Berikutnya adalah pendayagunaan pesisir dan pulau- pulau kecil yang lestari, mandiri dan sejahtera.  Lalu Jasa kelautan atau penataan dan pemanfaatan jasa kelautan dalam rangka optimalisasi potensi ekonomi kelautan.

Ada beberapa kegiatan yang menjadi prioritas di KKP terkait pengelolaan ruang laut seperti lahirnya 86 rencana zonasi seperti RZKAW, RZKSN, RZKSNT serta 150 bantuan KOMPAK atau  Kelompok Masyararakat Penggerak Konservasi, lalu target 2,7 juta hektar luas lahan kawasan konservasi hingga 1 500 hektar rehabilitasi mangrove.  Termasuk pengadaan 26 unit dermaga apung, 21 unit sarpras petani  garam hingga 4 lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu.

PT Vale Indonesia Tbk bersama Komunitas Merah Putih Parasulu dan Pemda Luwu Timur menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema Pesisir dan Laut Terjaga, Masyarakat Tangguh dan Berdaya (dok: istimewa)

Implikasi UU CK

Dr Hendra juga menyebut bagaimana UU Cipta Kerja berimplikasi pada pengaturan perizinan pemanfaatan ruang laut.

Dia menyebut bahwa permasalahan perizinan  yang rumit dengan  banyaknya regulasi pusat  dan daerah (hiper- regulasi) yang mengatur  sektor, menyebabkan  disharmoni, tumpang  tindih, tidak operasional,  dan sektoral.

Disebutkan bahwa dengan UU yang baru, sudah pasti kegiatan usaha berdasarkan KBLI, persyaratan dan standar sudah pasti sesuai yang ditentukan, hingga OSS berbasis RDTR/RTRW digital yang dapat diakses pelaku usaha.

Intinya, kata Hendra, implementasi UU Cipta Kerja mereformasi regulasi perizinan usaha  dengan menerapkan norma, standar, prosedur, kriteria berbasis risiko.

“Pendekatan berbasis izin ini bertujuan untuk penerbitan izin usaha yang lebih efektif dan  sederhana sementara pengawasan terintegrasi terhadap kegiatan usaha yang lebih transparan, terstruktur dan akuntabel.

“Prinsip implementasi UU CK pada tata ruang menjadi terintegrasi, darat, pesisir, pulau-pulau kecil laut) dan telah memperhitungkan daya dukung lingkungan. Lalu perizinan berusaha berbasis risiko (RBA). Risiko Menengah Tinggi dan Risiko Tinggi memerlukan verifikasi syarat/standar dari K/L/D serta pengawasan  yangketat.  Berbasis online OSSRBA Perizinan Berusaha,” jelasnya.

Dia menyebutkan bahwa dalam perizinan berusaha, rujukannya adalah pada Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 2021 tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.

“Pasal 4, untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau b. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko,” katanya.

Pasal 5, lanjut Hendra, menjelaskan persyaratan dasar Perizinan Berusaha meliputi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi.

“Ketentuan mengenai persyaratan dasar Perizinan Berusaha diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan gedung,” pungkasnya.

 

Editor: K. Azis

Related posts