ISEW 2025 Regional Sulawesi | DJ EBT ESDM: Bauran Energi EBT Sulsel Baru Mencapai 2,14 Persen

  • Whatsapp
Inyo, ujung kiri

PELAKITA.ID – Makassar, 2025 — Upaya mendorong transisi energi bersih dan berkelanjutan kembali mendapat ruang refleksi dalam forum diskusi yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah, badan usaha, akademisi, dan organisasi masyarakat.

Acara yang berlangsung hangat itu menghadirkan empat narasumber, salah satunya Praptono Adhi, Koordinator Investasi dan Kemitraan Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJ EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memaparkan arah kebijakan nasional dan mekanisme dukungan pemerintah pusat terhadap percepatan transisi energi di kawasan Sulawesi.

“Transisi energi merupakan salah satu visi besar yang disampaikan oleh Presiden kita. Dalam Asta Cita, kemandirian bangsa ditentukan oleh swasembada pangan dan energi. Energi menjadi salah satu poin penting yang harus digarisbawahi,” ujar Praptono Adhi membuka paparannya.

Ia menekankan bahwa Indonesia, dengan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang sangat besar, sangat layak menuju swasembada energi dalam beberapa dekade mendatang.

Sebagai bagian dari upaya strategis itu, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Ketahanan Energi Nasional yang diketuai langsung oleh Menteri ESDM.

Kebijakan ini selaras dengan komitmen internasional, khususnya Perjanjian Paris (Paris Agreement) dan Nationally Determined Contribution (NDC), di mana Indonesia berkomitmen menahan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5°C dan mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

“Untuk mendukung target tersebut, kami sudah memiliki perangkat regulasi yang lengkap. Mulai dari Undang-Undang Energi hingga peraturan-peraturan teknis di tingkat menteri. Saat ini, kami juga tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan, serta sejumlah rancangan peraturan turunan lainnya,” lanjut Praptono Adhi.

Ia menegaskan bahwa forum-forum seperti ini penting untuk menjaring masukan dari publik dan pelaku sektor energi agar regulasi yang tengah disusun dapat lebih responsif terhadap kebutuhan di lapangan.

Potensi Energi Terbarukan di Sulawesi

Indonesia, kata Praptono, dianugerahi sumber daya energi terbarukan yang sangat berlimpah, dengan total potensi mencapai 3.600 gigawatt (GW). Namun, potensi itu baru dimanfaatkan sebagian kecil saja. Khusus untuk Pulau Sulawesi, tercatat memiliki potensi 257 GW, dengan kontribusi terbesar berasal dari energi surya, hidro, angin, dan bioenergi.

“Untuk Sulawesi Selatan, bauran energi terbarukan baru mencapai sekitar 2,14 persen, masih di bawah rata-rata nasional yang sekitar 15 persen. Ini menjadi tantangan besar sekaligus peluang bagi kita untuk mempercepat pemanfaatan potensi yang ada,” ujarnya.

Pemerintah, lanjutnya, telah menyiapkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang menetapkan arah pembangunan pembangkit energi terbarukan hingga 10 tahun ke depan.

“Kita sudah punya modal, arah, dan target per tahun. Harapannya, semua berjalan lancar sesuai rencana—syukur-syukur bisa melampaui target itu,” tambahnya optimistis.

Selain itu, peta jalan ketenagalistrikan nasional (RUKN) hingga 2060 juga mencakup pengembangan beragam sumber energi seperti surya, laut, hidro, biomassa, hidrogen, amonia, serta baterai penyimpanan (battery storage) sebesar 34 GW.

“Battery storage ini kita harapkan menjadi ‘pendamping’ bagi sumber energi yang sifatnya intermittence seperti surya dan angin,” jelasnya.

Infrastruktur dan Kolaborasi Multi Pihak

Dalam paparannya, Praptono Adhi juga menyinggung pentingnya pembangunan infrastruktur interkoneksi antarpulau agar suplai energi dari wilayah yang kaya sumber daya dapat tersalurkan ke daerah dengan permintaan tinggi.

“Kita ingin membangun sistem energi yang terintegrasi, di mana daerah penghasil energi dapat terkoneksi dengan pusat-pusat konsumsi,” ujarnya.

Ia juga menyoroti potensi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di kawasan Sulawesi, yang diperkirakan mencapai 15 juta ton CO₂ melalui penggantian pembangkit berbasis fosil dengan energi terbarukan setelah kontrak PLTU berakhir.

Namun, pencapaian itu tidak mungkin terwujud tanpa sinergi lintas sektor. “Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Kita membutuhkan kolaborasi dengan dunia usaha, akademisi, media, masyarakat sipil, dan organisasi non-pemerintah,” tegas Praptono.

Ia menambahkan bahwa masukan dari berbagai pihak sangat penting, baik terkait regulasi, komunikasi publik, maupun strategi politik energi, karena transisi energi selalu terkait dengan dinamika air, pangan, dan lingkungan.

“Transisi energi ini penuh tantangan, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita menyikapinya agar berjalan mulus dan tujuan bersama dapat tercapai,” pungkasnya.

Forum pun ditutup dengan moderator, Kamaruddin Azis, menyimpulkan dengan satu kalimat yang menegaskan makna dari keseluruhan dialog:

“Kolaborasi adalah kunci. Transisi energi tidak mungkin berhasil tanpa keterlibatan semua pihak.”