Pelakunya bukan hanya mereka yang menulis komentar jahat, tetapi juga mereka yang diam dan membiarkan hal itu terjadi.
PELAKITA.ID – Lagi-lagi, kasus bullying menelan korban jiwa. Dalam dua hari terakhir, publik dikejutkan oleh dua peristiwa tragis: seorang mahasiswa Universitas Udayana di Bali dan seorang mahasiswi UIN Raden Mas Said Surakarta di Kartasura, yang keduanya diduga mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung kampus.
Ironis sekali—tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh dan berpikir justru menjadi lokasi akhir penderitaan.
Bukankah tindakan tragis ini juga bisa dibaca sebagai bentuk protes terakhir dari para korban terhadap lingkungan yang tak lagi memberi ruang aman bagi mereka?
Data dari berbagai survei, termasuk dari Universitas Pendidikan Indonesia, menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat kelima dunia dalam kasus perundungan (bullying), khususnya di lingkungan sekolah.
Tren ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat bahwa kasus perundungan lebih banyak dialami oleh siswa laki-laki dibandingkan perempuan, baik di jenjang SD, SMP, maupun SMA/SMK.
Angka-angka ini sungguh memprihatinkan, terlebih ketika masalah perundungan belum menjadi prioritas serius pemerintah dalam agenda perlindungan anak dan pendidikan.
Padahal, kasus bullying juga berkontribusi besar terhadap meningkatnya angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya mengantisipasi fenomena ini melalui berbagai kebijakan.
Salah satunya adalah Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang mencakup enam bentuk kekerasan—termasuk perundungan.
Meski demikian, efektivitas implementasinya masih perlu dikaji lebih jauh. Kasus yang terjadi di Universitas Udayana menunjukkan bahwa perundungan yang dialami korban bukan peristiwa sesaat, melainkan berlangsung lama dan dilakukan oleh banyak pihak.
Pelaku bukan hanya rekan se-fakultas, tetapi juga lintas fakultas, baik secara langsung maupun melalui grup WhatsApp.
Bullying di ruang digital yang beranggotakan mahasiswa—yang sejatinya adalah insan intelektual—merupakan bentuk kekerasan masif dan sistematis.
Pelakunya bukan hanya mereka yang menulis komentar jahat, tetapi juga mereka yang diam dan membiarkan hal itu terjadi.
Tragisnya, belum tampak adanya sikap tegas dari pihak kampus untuk mengakui bahwa tindakan tersebut merupakan tindak pidana yang melanggar hukum dan etika akademik.
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah terjadinya kekerasan dan perundungan di lingkungan kampus.
Sesuai regulasi, setiap perguruan tinggi wajib membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT).
Namun, kasus ini menimbulkan pertanyaan: apakah Satgas tersebut benar-benar berfungsi?
Apakah seluruh civitas akademika mengetahui keberadaannya, serta ke mana harus melapor ketika melihat atau mengalami kekerasan?
Jika sistem perlindungan ini berjalan sebagaimana mestinya, barangkali tragedi ini tak perlu terjadi—terutama di salah satu kampus ternama di Bali.
Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah: bagaimana mungkin mahasiswa—yang disebut calon intelektual bangsa—bisa melakukan perundungan secara kejam dan sistematis?
Di mana letak empati dan adab yang seharusnya melekat dalam diri seorang pelajar tinggi?
Pertanyaan ini mengarah pada akar yang lebih dalam: keluarga dan pola asuh.
Karakter anak dibentuk sejak dini, terutama oleh lingkungan keluarga.
Maka, peristiwa yang disebutkan sebelumnya, seharusnya menjadi cermin bagi setiap orang tua untuk merenungkan kembali bagaimana cara mereka menanamkan nilai empati, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama.
Tulisan ini tidak bermaksud menjawab seluruh pertanyaan besar itu, tetapi hendak mengajak kita semua untuk berhenti sejenak—merenung, menengok diri, keluarga, dan lingkungan.
Untuk apa? Agar tak ada lagi anak muda yang merasa sendirian menghadapi kekerasan, dan tak ada lagi nyawa yang melayang hanya karena kita memilih diam.
