Semoga dari kasus ini kita belajar pentingnya kehati-hatian dalam komunikasi publik, transparansi dalam perdagangan internasional, dan sinergi antarinstansi dalam menjaga nama baik ekspor perikanan nasional kita.
Prof Andi Tamsil, Ketua Shrimp Club Indonesia, Guru Besar Perikanan UMI
PELAKITA.ID – Komoditas udang memiliki peran besar dalam ekspor perikanan Indonesia. Sekitar 40 persen ekspor hasil perikanan kita berasal dari udang, menjadikannya komoditas nomor dua setelah kelapa sawit.
Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Perikanan Universitas Muslim Indonesia UMI, Prof Andi Tamsil terkait nilai komoditi udang bagi Indonesia pada FGD Investasi Kawasan Industri dan Kedaulatan Ekonomi Daerah yang digelar The Sawerigading Insitutute kerjasama Pelakita.ID di Maxone Hotel, Makassar, 17 Oktober 2025.
Menurut Tamsil, mengapa dia langsung tertarik membahas ini pada FGD terkait investasi kawasan industri dan kedaulatan ekonomi daerah karena sebab kita semua bisa membandingkan apa saja tantangan dan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam menyediakan kawasan industri.
”Karena kebetulan saya juga berasal dari Palopo, dan beberapa waktu terakhir kita sering melihat pemberitaan mengenai pentingnya pengaturan kawasan industri perikanan. Nah, di tengah itu, muncul kasus yang cukup menghebohkan,” ungkapnya.
Kasus itu, ada empat dari 438 kontainer udang Indonesia yang diekspor ke Amerika Serikat diduga mengandung unsur radioaktif Cesium-137 (Cs-137).
Menurut Tamsil, Cesium-137 adalah isotop hasil reaksi fisi nuklir—zat yang tidak terbentuk secara alami.
”Jadi wajar jika pihak Amerika Serikat panik. Bahkan muncul pernyataan aneh dari seorang anggota parlemen di sana, yang mengatakan bahwa “kalau makan udang Indonesia, bisa jadi alien.” Tentu itu fitnah yang luar biasa,” ucapnya.
Dikatakan, begitu tuduhan itu muncul, pemerintah kita bergerak cepat. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Asosiasi dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) melakukan investigasi, dimulai dari kawasan industri Cikande, Tangerang, Jawa Barat—tempat salah satu pabrik pengolahan udang berada.
“Hasilnya? Tidak ditemukan kandungan Cesium-137 di air, tanah, atau produk udang. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan ke Lampung dan beberapa sentra udang lainnya, dan hasilnya tetap negatif,” sebutnya.
”Namun, pemeriksaan di cerobong asap salah satu pabrik di Cikande menemukan residu Cesium-137. Dari sini muncul kecurigaan bahwa sumbernya bukan dari udang, melainkan dari aktivitas industri sekitar,” sebutnya.
Pelajaran dari Cikande
Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Cesium-137 ini adalah perlunya memastikan bahwa peruntukan utama kawasan industri tidak boleh diusik oleh peruntukan lain dan perlunya pemantauan.
Dikatakan Tamsil terkait Cesium itu, telah dilakukan investigasi pun diperluas hingga radius dua kilometer dari lokasi pabrik. Di sana ternyata ada pabrik peleburan besi bekas (scrap metal) yang menggunakan bahan impor.
”Setelah ditelusuri, diketahui bahwa scrap tersebut berasal dari Filipina—dan Filipina pun mendapatkannya dari Amerika Serikat,” ucapnya.
Dari informasi yang kami peroleh, di Amerika sering terjadi kebakaran industri. Dalam proses pembersihan, logam-logam bekas dikumpulkan: yang bagus dipakai lagi, yang jelek dijual.
”Barang-barang sisa inilah yang kemudian dijual ke luar negeri, termasuk ke Filipina, dan akhirnya sampai ke Indonesia. Jadi jelas, sumber Cesium-137 bukan dari udang, tapi dari besi bekas impor yang terkontaminasi.
Atas temuan ini, kata Tamsil, Indonesia memutuskan menunda impor besi bekas dari Filipina. Namun keputusan itu justru menimbulkan reaksi keras dari pihak Amerika, yang menilai seharusnya Indonesia melarang total, bukan sekadar menunda.
Situasi ini semakin rumit karena muncul pernyataan dari beberapa pejabat yang kurang tepat.
Misalnya, ada yang menyebut bahwa meski udang yang dikembalikan mengandung Cesium-137, kadar itu masih di bawah ambang batas aman—sekitar 68 satuan, jauh di bawah standar Amerika yang mencapai 1200.
Pernyataan ini, ujar Tamsil, sebenarnya benar secara teknis, tetapi disalahpahami secara politis dan memicu ketegangan baru.
Bahkan ada yang mengaitkan kasus ini dengan dinamika geopolitik, seperti foto pertemuan pejabat Indonesia dengan Presiden Xi Jinping atau Vladimir Putin, yang dianggap membuat Amerika tersinggung.
Apa pun alasannya, kata Tamsil, akibat dari isu ini sangat serius: seluruh eksportir udang Indonesia sementara tidak bisa mengirim produk ke Amerika Serikat, padahal sekitar 63,7 persen ekspor udang kita selama ini ke pasar Amerika, dengan nilai mencapai 2,2 miliar dolar AS.
Sebagian orang mungkin bertanya, “Mengapa tidak cari pasar lain?” Jawabannya tidak semudah itu. Udang Indonesia memiliki karakteristik dan cita rasa yang paling cocok untuk pasar Amerika. Negara pesaing seperti Ekuador misalnya, sulit menembus pasar yang sama karena perbedaan jenis dan proses produksi. Konsumen Amerika lebih menyukai udang yang sudah dikupas dan diproses, sedangkan di sana tenaga kerjanya tidak banyak yang bisa melakukan itu.
Kini, untuk mengembalikan kepercayaan, pemerintah bersama KKP telah mengeluarkan sertifikasi tambahan yang memastikan semua ekspor udang benar-benar bebas dari unsur Cesium-137. Badan mutu KKP kini berperan penting dalam pengawasan ini.
“Semoga dari kasus ini kita belajar pentingnya kehati-hatian dalam komunikasi publik, transparansi dalam perdagangan internasional, dan sinergi antarinstansi dalam menjaga nama baik ekspor perikanan nasional kita,” pungkas Tamsil.
Redaksi
