Pemda Ingin Bangun Kawasan Industri Tambang? Mari Dengar Saran Pakar Hukum Lingkungan UNANDA

  • Whatsapp
Dr Abdul Rahman Nur salah satu pembicara pada FGD Investasi Kawasan Tambang dan Kedaulatan Ekonomi Daerah yang digelar The Sawerigading Institute, Makassar, 17 Oktober 2025

Kewenangan yang sangat dominan di pusat membuat daerah sering kali hanya menjadi penonton, padahal mereka yang menanggung langsung dampak lingkungan dan sosial dari kegiatan pertambangan.

Dr Abdul Rahman Nur, Wakil Rektor IV Unanda, Pakar Hukum Linkungan

PELAKITA.ID – Dr Abdul Rahman Nur, akademisi sekaligus Wakil Rektor IV Universitas Andi Djemma yang juga aktif sebagai anggota Dewan Kehutanan Nasional membagikan perspektifnya terkait ide Investasi Kawasan Industri dan Kedaulatan Ekonomi Daerah sebagaimana menjadi tema Focus Group Discussion yang digelar The Sawerigading Insititute.

Kegiatan yang digelar pada Jumat, 17 November 2025 itu menghadirkan perencana madya BKPM Kementerian Investasi Vela Sari, Guru Besar UMI Prof Andi Tamsil, perwakilan Kantor DPMTSP Sulsel Nuraffan, St Chadijah Lily yang merupakan Direktur Huadi Bantaeng Industrial Park.

Poin krusial Dr Abdul Rahman Nur

Menurut pria yang akrab disapa Maman itu. sejak lama, dia terbiasa melihat langsung dinamika investasi di berbagai daerah, mulai dari Papua hingga Sulawesi.

“Fokus saya memang lebih banyak pada sektor pertambangan. Dari pengalaman di Kolaka, Morowali, hingga beberapa wilayah di Sulawesi Selatan, saya melihat bahwa berbagai persoalan yang muncul tidak terjadi begitu saja. Semua ini merupakan bagian dari proses besar yang terkait dengan pengaruh globalisasi ekonomi,” ujarnya.

Negara kita, kata dia, mau tidak mau, ikut terikat dalam komitmen global itu—khususnya terkait kebutuhan bahan baku mineral di pasar internasional.

”Contohnya adalah nikel, yang kini menjadi sangat penting karena perubahan arah industri dunia menuju teknologi ramah lingkungan. Isu pemanasan global mendorong peralihan menuju energi bersih, seperti kendaraan listrik, yang membutuhkan pasokan besar bahan mineral, termasuk nikel,” terangnya.

Namun, sebut Maman, pernahkah kita berpikir bahwa tren global tersebut memberikan dampak besar terhadap wilayah-wilayah kaya sumber daya mineral di Indonesia?

“Menurut saya, dalam konteks ini, negara kita berada dalam posisi yang paradoksal: di satu sisi menjadi korban dari globalisasi ekonomi, tetapi di sisi lain tetap membutuhkan investasi untuk mendorong pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan,” sebutnya.

Kata dia, inilah dilema besar kita. “Kita membutuhkan investasi untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi di sisi lain aktivitas industri ekstraktif seperti pertambangan berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan dan sosial,” sebutnya.

“Pemerintah pun berupaya menjawab kebutuhan ini dengan berbagai kebijakan, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, yang semangat utamanya adalah mempermudah investasi,” ujar pakar Hukum Lingkungan Unanda ini.

Dikatakan Maman, pertanyaannya, bagaimana dengan masa depan lingkungan dan generasi kita? Ketika kebijakan negara begitu berpihak pada kemudahan investasi, muncul konsekuensi lain berupa konflik pertanahan, konflik agraria, dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Banyak masyarakat yang mengadu ke lembaga-lembaga negara karena kehilangan tanah, ruang hidup, atau mengalami pencemaran lingkungan,” lanjutnya.

“Komnas HAM kemudian mencoba merespons situasi ini dengan menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Bisnis dan HAM, sebuah upaya untuk mengintegrasikan dunia bisnis dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Prinsipnya sederhana: bisnis memang bisa menjadi sarana peningkatan kesejahteraan—tetapi bila tidak diatur dengan baik, justru dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM,” terang Maman.

Ada disparitas kewenangan

Masalah lain yang juga penting menurut Putra Luwu Raya itu adalah disparitas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan tambang.

”Kewenangan yang sangat dominan di pusat membuat daerah sering kali hanya menjadi penonton, padahal mereka yang menanggung langsung dampak lingkungan dan sosial dari kegiatan pertambangan,” nilainya.

Disebutkan, dalam konteks politik dan desentralisasi, ada beberapa celah yang sebenarnya dapat dimanfaatkan daerah. Misalnya, melalui kebijakan divestasi saham, di mana pemerintah provinsi atau kabupaten bisa memiliki saham di perusahaan tambang.

Beberapa daerah, seperti di Luwu Timur, telah mencoba model ini dengan membentuk perusahaan daerah (Perseroda) untuk ikut dalam industri pertambangan.

”Namun, langkah-langkah seperti ini perlu diimbangi dengan regulasi daerah yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Konstitusi memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk membentuk produk hukum yang melindungi kepentingan lokal,” sarannya.

Karena itu, sebut Maman, pemerintah daerah perlu memanfaatkan kewenangan tersebut dengan cermat: mendorong investasi yang menyejahterakan, tetapi sekaligus menjaga hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan.

”Jika hal ini diabaikan, maka dominasi kebijakan pusat yang terlalu kuat justru akan melahirkan kerusakan lingkungan yang lebih luas dan menimbulkan penderitaan sosial di masa depan. Investasi seharusnya membawa kesejahteraan, bukan penderitaan,” pungkasnya.

Redaksi