Tanda dan Isyarat Alami sebagai Alarm Ekologi

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Penulis: Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan

PELAKITA.ID – Masih pagi, seekor burung murai berkicau nyaring di ujung ranting. Suaranya seperti doa yang dititipkan pada embun, menandai keseimbangan yang masih tersisa di antara pepohonan yang kian jarang. Di kejauhan, suara jangkrik berulang seperti denting jam alam yang tak pernah berhenti berdetak.

Sementara semut-semut merayap teratur, membawa serpihan kehidupan di atas tanah yang mulai kehilangan kesuburannya. Sesungguhnya alam sedang berbicara, mengirimkan tanda-tanda kecil — tanda yang, bagi mereka yang peka, merupakan alarm ekologis yang lebih jujur dari teknologi mana pun.

Namun kini, alarm itu kian tenggelam di tengah hiruk-pikuk mesin dan dering notifikasi. Kita lebih percaya pada aplikasi cuaca daripada arah angin.

Kita menunggu laporan satelit sebelum percaya bahwa hutan terbakar, padahal udara sudah lama berbau arang. Kita menyebut diri “modern”, padahal telah kehilangan kemampuan paling purba: membaca isyarat semesta.

Kicauan burung yang tiba-tiba senyap bukan sekadar perubahan perilaku fauna. Ia adalah simbol ekosistem yang terguncang. Ketika burung enggan bernyanyi di pagi hari, ada sesuatu yang salah dengan udara dan vegetasi di sekitarnya.

Begitu pula jangkrik yang berhenti bersuara, atau semut yang berpindah jalur massal menuju tempat lebih tinggi — semua adalah bentuk komunikasi ekologis, peringatan dini dari bumi kepada manusia.

Sayangnya, manusia kini hidup dalam ruang gema buatan: dipagari beton, diselimuti sinyal, dan terpisah dari tanah tempat pijaknya sendiri.

Dalam tradisi masyarakat Nusantara, tanda-tanda alam selalu menjadi petunjuk kebijaksanaan. Petani dahulu membaca langit sebelum menanam, menatap arah terbang burung sebelum menebar benih, dan mendengarkan desiran angin sebelum memutuskan hari panen. Nelayan tak butuh satelit; mereka membaca bintang, arus, serta arah terbang kelelawar laut.

Alam bukan objek yang ditaklukkan, melainkan guru yang diajak berdialog. Tetapi kini, ketika alam semata dijadikan objek dan sumber daya yang dieksploitasi, maka segala isyaratnya dianggap tak relevan dan kehilangan makna.

Para pelaut ulung di Bira dan Darubia, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dahulu memiliki pengetahuan mumpuni membaca tanda dan pesan alam.

Mereka mampu menerjemahkan isyarat semesta sebagai informasi valid untuk membuat keputusan. Mereka membaca gugus bintang sebagai penuntun arah berlayar, munculnya bintang sebagai tanda musim bercocok tanam, bahkan untuk mengantisipasi gangguan hewan.

Jika bintang tertentu muncul, mereka tahu banyak babi hutan akan berkeliaran — bintang itu disebut Bintang Bahiya. Bila bintang lain muncul di langit selatan, mereka paham bahwa arah itu menuju sebuah kota. Dan ketika angin berhembus dengan tanda tertentu, mereka segera tahu: sebentar lagi ombak besar akan datang. Begitulah alam berbicara kepada mereka — dengan bahasa yang lembut tapi pasti.

Perpaduan antara kepekaan terhadap isyarat alam dan pemanfaatan teknologi modern sejatinya akan sangat membantu manusia masa kini dalam menentukan respon terhadap berbagai kondisi dan perubahan ekologi, baik kini maupun di masa depan.

Kelelawar yang terbang lebih awal dari biasanya bisa jadi pertanda perubahan tekanan udara. Lolongan anjing yang berkepanjangan dapat menjadi respon terhadap gelombang getar yang belum kita rasakan — gempa yang belum terjadi.

Ombak yang tak biasa di malam hari mungkin menyampaikan pesan dari laut dalam: ada yang bergerak, ada yang terganggu. Tetapi manusia modern tak lagi peka merasakan isyarat alam. Kita menunggu pemberitahuan resmi, laporan ilmiah, atau peringatan digital. Kita lupa bahwa bumi pun memiliki bahasa — dan bahasa itu mendahului semua teknologi.

Sebagai makhluk yang mengaku berakal, kita sesungguhnya tengah mengalami krisis kepekaan ekologis. Krisis ini bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga persoalan spiritualitas: hilangnya rasa keterhubungan dengan semesta.

Seperti diingatkan sufi besar Jalaluddin Rumi, “Alam semesta tidak berbicara dengan suara, tetapi dengan getarannya. Dan mereka yang hatinya bersih akan memahaminya.” Getaran itu kini semakin lemah terdengar, bukan karena alam berhenti berbicara, tetapi karena manusia menutup telinganya dengan kebisingan ciptaannya sendiri.

Dalam kerangka ilmu pengetahuan modern, tanda-tanda alam yang dahulu dianggap mistis sejatinya memiliki penjelasan ekologis yang rasional. Perilaku hewan dan pola alam adalah indikator awal perubahan lingkungan.

Ketika suhu mikro naik, burung mengubah pola migrasinya. Ketika kadar karbon meningkat, serangga kehilangan orientasi. Ketika gelombang elektromagnetik buatan manusia terlalu padat, jangkrik pun menjadi gelisah. Semua ini adalah data biologis yang kini terkonfirmasi secara ilmiah, meski dahulu disampaikan melalui intuisi nenek moyang.

Sayangnya, kemajuan teknologi yang seharusnya memperkuat hubungan manusia dengan alam justru menciptakan jarak. Kita sibuk mengembangkan sensor, tetapi kehilangan rasa.

Kita mengukur suhu bumi, tetapi tidak lagi merasakan panasnya di dada. Kita melacak perubahan iklim global, tetapi gagal membaca keringat bumi di kampung sendiri. Alarm digital memang berguna, tetapi alarm alam lebih arif — ia tidak sekadar memperingatkan, melainkan mengajak berdamai.

Mungkin sudah waktunya kita menata ulang cara berpikir tentang kemajuan. Bahwa kemajuan sejati bukanlah kemampuan mengendalikan alam, melainkan kemampuan hidup selaras dengannya.

Ilmu pengetahuan dan kearifan lokal seharusnya tidak saling meniadakan, melainkan saling menyempurnakan. Alam tidak pernah memusuhi manusia; manusialah yang sering berkhianat pada janji kebersamaan dengan bumi.

Kini, ketika gunung murka, sungai meluap, dan udara menjadi racun, kita baru sadar: tanda-tanda itu sudah lama dikirim. Alarm semesta sudah berbunyi, hanya saja manusia memilih untuk mematikan volumenya.

Marilah kita belajar kembali membaca tanda-tanda kecil itu — suara jangkrik di malam hari, angin yang berbisik di sela daun, atau burung yang tak lagi hinggap di halaman.

Mungkin di sanalah Tuhan sedang berbicara dengan cara paling lembut. Alam bukan hanya latar kehidupan; ia adalah naskah yang kita tinggali, dan setiap ayatnya adalah peringatan kasih agar kita tak lupa arah pulang.

Sesungguhnya, tanda alam bukan sekadar fenomena ekologis. Ia adalah zikir semesta — panggilan lembut dari bumi yang sedang sakit, meminta kita berhenti sejenak, mendengarkan, dan kembali menjadi manusia yang peka terhadap kehidupan.

Dan mungkin, jika kita kembali mendengar, burung-burung itu akan berkicau lagi. Bukan sekadar karena fajar datang, tetapi karena manusia telah belajar untuk tidak lagi tuli terhadap suara alam.

___
Muliadi Saleh

“Menulis untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”