CCSBT bertanggung jawab atas pengelolaan, konservasi, dan pemanfaatan berkelanjutan Tuna Sirip Biru Selatan (Southern Bluefin Tuna / SBT) (Thunnus maccoyii), yaitu spesies bermigrasi tinggi dengan nilai ekonomi penting yang hidup terutama di belahan bumi selatan.
PELAKITA.ID – Benoa, Bali, menjadi salah satu pintu utama perikanan tuna Indonesia. Di pelabuhan ini, ribuan ton tuna dikemas untuk pasar global, merefleksikan peran strategis Indonesia dalam rantai pasok perikanan dunia.
Pada Oktober 2025, sorotan dunia akan tertuju ke Indonesia ketika Bali menjadi tuan rumah dua forum penting Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT): Pertemuan Komite Kepatuhan ke-20 (CC20) pada 2–4 Oktober dan Pertemuan Tahunan CCSBT ke-32 (CCSBT32) pada 6–9 Oktober.
Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT) adalah organisasi internasional pengelola perikanan (Regional Fisheries Management Organization / RFMO) yang dibentuk pada tahun 1994 berdasarkan Konvensi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan.
CCSBT bertanggung jawab atas pengelolaan, konservasi, dan pemanfaatan berkelanjutan Tuna Sirip Biru Selatan (Southern Bluefin Tuna / SBT) (Thunnus maccoyii), yaitu spesies bermigrasi tinggi dengan nilai ekonomi penting yang hidup terutama di belahan bumi selatan.
Anggotanya meliputi Australia, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Indonesia, Afrika Selatan, dan Uni Eropa. Selain itu terdapat pula Anggota Non-Kerja Sama (Cooperating Non-Members / CNMs) seperti Filipina, Fiji, dan negara lain yang terlibat dalam perikanan SBT namun belum menjadi anggota penuh.
Kegiatan utamanya menetapkan dan memantau Total Allowable Catch (TAC) serta mendistribusikan kuota kepada negara anggota.. Kedua, melakukan kajian stok dan mengawasi penelitian ilmiah melalui Komite Ilmiah.’
Ketiga, mengawasi kepatuhan melalui Komite Kepatuhan, termasuk pemantauan aktivitas penangkapan ikan, perdagangan, dan alihmuat serta menerapkan instrumen seperti Catch Documentation Scheme (CDS) untuk memastikan ketertelusuran dan mengurangi praktik IUUF (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing,.
Sekretariat mereka berkedudukan di Canberra, Australia.
Tuna Sirip Biru Selatan merupakan spesies bernilai tinggi (terutama untuk kebutuhan sashimi di Jepang), tetapi telah mengalami penangkapan berlebihan secara historis, sehingga masuk dalam daftar sangat terancam punah (critically endangered) menurut IUCN. CCSBT memegang peranan krusial dalam memulihkan dan menjaga stok SBT melalui pengelolaan internasional yang bersifat kolaboratif.
Posisi Indonesia
Salah satu isu krusial bagi Indonesia adalah penyelesaian kewajiban payback akibat tangkapan Southern Bluefin Tuna (SBT) yang melebihi kuota. Pada 2020, Indonesia tercatat melakukan overcatch sekitar 457 ton.
Sebagai konsekuensinya, Indonesia mencicil payback sebesar 91,3 ton per tahun pada 2022–2026, sehingga kuota tahunan atau Total Allowable Catch (TAC) menyusut menjadi 841 ton. Jumlah ini jauh di bawah kapasitas nelayan Indonesia dalam menangkap SBT.
CCSBT meminta Indonesia menyusun rencana kerja yang detail, mencakup langkah kebijakan, institusi pelaksana, jadwal implementasi, hingga target hasil.
Dokumen tersebut telah diserahkan dan mendapat pengesahan sekretariat serta anggota CCSBT, dan akan menjadi agenda utama dalam CC20.
Menguatkan Sistem Pengawasan dan Pencegahan IUU Fishing
Agenda lain yang menjadi sorotan adalah evaluasi uji coba program observer nasional Indonesia untuk pengawasan kegiatan alih muat di laut (at-sea transhipment).
Program ini akan diuji melalui mekanisme Quality Assurance Review (QAR), dan hasilnya akan dibawa ke CCSBT32. Keberhasilan pengawasan ini menjadi kunci untuk mencegah praktik tuna laundering dan menjaga kredibilitas Indonesia di forum regional.
Di dalam negeri, pemerintah harus memastikan implementasi Catch Documentation Scheme (CDS) berjalan konsisten. CDS bukan sekadar instrumen teknis, melainkan fondasi diplomasi Indonesia agar diakui sebagai negara yang serius menegakkan tata kelola perikanan berkelanjutan.
Menguatkan sistem pengawasan juga menuntut alokasi sumber daya yang berkelanjutan, baik dalam bentuk anggaran, teknologi pemantauan berbasis satelit, maupun pelatihan intensif bagi petugas di lapangan.
Tanpa dukungan tersebut, CDS dan program observer hanya akan menjadi formalitas di atas kertas. Sebaliknya, dengan pengawasan yang kredibel, Indonesia tidak hanya melindungi stok tuna sirip biru dari praktik IUU fishing, tetapi juga menegaskan perannya sebagai pionir tata kelola perikanan modern di kawasan.
Diplomasi Kenaikan Kuota TAC: Membangun Narasi Ilmiah
Tantangan berikutnya adalah diplomasi kuota. Delegasi Republik Indonesia (Delri) di CCSBT harus menegosiasikan kenaikan TAC agar kuota yang tergerus payback dapat dipulihkan.
Strategi utamanya ialah membangun narasi ilmiah bahwa perairan Indonesia merupakan habitat penting bagi siklus hidup tuna global.
Dokumen CCSBT-ESC/2308/16 menegaskan bahwa perairan selatan Jawa dan Nusa Tenggara adalah area pemijahan SBT sebelum ikan itu bermigrasi ke Samudera Selatan. Analogi yang dapat diangkat: seperti hutan tropis yang disebut “paru-paru dunia” dan mendapat insentif global agar tetap lestari, perairan pemijahan di Indonesia juga layak mendapatkan “insentif” berupa kuota yang lebih adil.
Narasi ini semakin kuat jika disandingkan dengan fakta bahwa Indonesia juga menjadi daerah pemijahan tuna lain seperti bigeye tuna (BET) dan yellowfin tuna (YFT) di Laut Banda yang menopang stok di Samudera Hindia dan Pasifik. Dengan demikian, pemberian kuota memadai bukan hanya untuk kepentingan nasional, tetapi juga sebagai investasi global menjaga keberlanjutan stok tuna dunia.
Data Ilmiah: Modal Tawar-menawar Diplomasi
Kontribusi Indonesia tidak berhenti pada ekologi. Sejak 1995 hingga 2021, Indonesia secara konsisten menyuplai data biologi SBT, termasuk panjang, berat, dan umur ikan.
Data ini sejalan dengan temuan kapal pukat cincin Australia, menegaskan kualitas riset Indonesia. Fakta ini merupakan aset diplomasi: negara yang memberikan data berkualitas berhak atas pengakuan lebih besar dalam pembagian TAC.
Karena itu, Indonesia perlu memperluas cakupan pendataan di lebih banyak pelabuhan pendaratan, bukan hanya Benoa, tetapi juga sentra-sentra lain seperti Sendang Biru (Malang), Tenau, dan Oeba (Kupang). Namun hal ini menuntut pendampingan petugas, peralatan memadai, serta dukungan teknologi informasi.
Perluasan data ini bukan hanya kepentingan teknis, melainkan juga investasi politik jangka panjang untuk memperkuat posisi Indonesia di RFMOs.
Untuk itu, sudah saatnya Indonesia membentuk Dana Tuna Sirip Biru sebagai instrumen pendukung riset, pendataan, dan diplomasi internasional. Dana ini dapat bersumber dari sinergi pemerintah, dunia usaha, dan mitra pembangunan internasional.
Dengan adanya dukungan finansial yang berkelanjutan, Indonesia tidak hanya mampu menjaga kesinambungan program pendataan dan observasi, tetapi juga meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, memperkuat infrastruktur pelabuhan, serta memastikan kepatuhan industri terhadap protokol internasional.
Pada akhirnya, dana ini akan menjadi fondasi strategis yang memperkuat daya tawar Indonesia dalam memperjuangkan kuota yang lebih adil dan kedaulatan pangan nasional di forum-forum global.
Aliansi Strategis dan Dukungan Jepang
Diplomasi tak dapat berjalan sendiri. Indonesia perlu membangun aliansi, khususnya dengan Jepang yang merupakan anggota kuat CCSBT sekaligus pasar utama SBT Indonesia.
Dukungan Jepang sudah nyata, misalnya lewat transfer TAC sebesar 21 ton per tahun pada periode 2021–2026. Kerja sama ini bisa diperkuat sebagai jalan diplomatik untuk mendorong kenaikan TAC Indonesia.
Di sisi domestik, dukungan pengusaha perikanan tuna menjadi prasyarat keberhasilan.
Mereka harus disiplin menerapkan CDS, menyediakan fasilitas yang layak bagi observer di kapal, serta memastikan tidak ada intimidasi terhadap petugas lapangan. Kepatuhan pengusaha akan memperbaiki citra Indonesia di CCSBT, yang pada gilirannya memperbesar peluang diplomasi kuota.
Diplomasi untuk Kedaulatan Pangan dan Keadilan Global
Diplomasi perikanan tuna sirip biru Indonesia di RFMOs bukan sekadar soal angka TAC. Ia mencerminkan kemampuan Indonesia menegakkan tata kelola laut, melindungi sumber daya, sekaligus memperjuangkan hak sebagai negara pemijahan tuna dunia.
Jika langkah-langkah diplomasi ini berjalan konsisten—didukung oleh pengusaha, peneliti, dan aparat pengawasan—Indonesia tidak hanya memperoleh kuota lebih besar, tetapi juga mengamankan lapangan kerja, ketahanan pangan, dan reputasi internasional sebagai pelopor tata kelola perikanan berkelanjutan.
Diplomasi perikanan juga sejatinya adalah diplomasi kedaulatan. Dengan menegaskan posisi Indonesia sebagai wilayah penting dalam siklus hidup tuna, negara ini menunjukkan bahwa kepentingan global tidak boleh mengabaikan hak-hak negara pesisir yang menjadi penopang ekosistem laut.
Keberhasilan Indonesia di forum-forum internasional akan menjadi bukti bahwa kepemimpinan global tidak hanya diukur dari kekuatan ekonomi dan militer, tetapi juga dari kemampuan menjaga keberlanjutan sumber daya yang menopang umat manusia.
Lebih jauh, perjuangan ini merefleksikan panggilan moral: memastikan laut tetap menjadi sumber kehidupan yang adil, bukan hanya bagi negara-negara besar, tetapi juga bagi komunitas nelayan kecil yang menggantungkan hidup pada tuna.
Dengan konsistensi diplomasi, integritas data ilmiah, dan kepatuhan industri, Indonesia dapat memperlihatkan bahwa kedaulatan pangan dan keadilan global dapat berjalan beriringan—dan bahwa suara negara kepulauan di garis khatulistiwa mampu memberi arah bagi tata kelola laut dunia.
