PELAKITA.ID – Pemanasan global sering dianggap sebagai isu besar yang jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun bagi Indonesia, dampaknya sangat nyata dan langsung dirasakan di wilayah pesisir. Salah satu ekosistem yang paling terancam adalah hutan mangrove.
Menurut Dr. Suhana, peneliti dan dosen Ekonomi Kelautan dan Perikanan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta, mangrove adalah garis pertahanan pertama dari bencana iklim.
Sayangnya, keberadaan mangrove kini berada dalam tekanan serius akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia yang tak terkendali.
Indonesia memiliki sekitar 1/5 dari total luas hutan mangrove dunia. Ini adalah aset ekologis dan ekonomi yang sangat besar. Namun, banyak kawasan pesisir terutama di Indonesia Timur dan Selatan sudah menunjukkan gejala kerusakan. Peningkatan suhu, perubahan pola hujan, dan kebakaran lahan menjadi ancaman nyata.
“Hutan mangrove tidak hanya soal pohon di tepi pantai, tapi benteng alami terhadap abrasi, banjir rob, dan badai. Tanpa perlindungan serius, kita kehilangan pertahanan utama dari krisis iklim,” ujar Dr. Suhana.
Mangrove juga memainkan peran penting dalam penyerap karbon. Studi menunjukkan bahwa mangrove bisa menyerap karbon hingga empat kali lebih banyak dibandingkan hutan tropis daratan.
Ini menjadikannya sebagai solusi iklim berbasis alam yang sangat potensial. Selain itu, mangrove menjaga kualitas air pesisir, menjadi habitat biota laut, serta menopang ekonomi masyarakat pesisir lewat perikanan dan ekowisata.
“Kalau kita serius bicara soal mitigasi perubahan iklim, maka mangrove harus ada di garis depan strategi nasional,” tegasnya.
Dr. Suhana juga menyoroti apa saja yang bisa dilakukan masyarakat dan pemerintah untuk menyelamatkan ekosistem mangrove.
Pertama, hentikan praktik penebangan ilegal mangrove yang masih banyak terjadi, terutama untuk membuka tambak atau permukiman. Kedua, masyarakat diajak ikut aktif dalam kegiatan penanaman kembali dan restorasi kawasan mangrove rusak.
Ketiga, diperlukan kebijakan yang mendukung perlindungan pesisir secara menyeluruh. Ini mencakup integrasi tata ruang, pengawasan berbasis komunitas, serta insentif bagi daerah yang sukses mempertahankan kawasan mangrovenya.
Terakhir, edukasi menjadi fondasi agar generasi muda memahami pentingnya menjaga mangrove sejak dini.
“Restorasi mangrove bukan sekadar urusan tanam-menanam, tapi juga soal kesadaran kolektif. Jika anak muda tahu bahwa mangrove menyelamatkan kota mereka dari banjir rob atau tsunami, maka mereka akan ikut menjaga,” jelasnya.
Dr. Suhana menutup dengan pesan penting bahwa menyelamatkan mangrove berarti menyelamatkan masa depan Indonesia. Dalam konteks krisis iklim global, solusi lokal yang berbasis ekosistem seperti ini jauh lebih murah, efektif, dan berkelanjutan daripada menunggu bantuan teknologi tinggi dari luar negeri.
“Mangrove adalah solusi iklim yang tumbuh dari akar bangsa sendiri. Jangan tunggu sampai semua hilang, baru kita sadar bahwa yang paling alami justru yang paling kita butuhkan,” pungkasnya.
Artikel ini disusun berdasarkan pemikiran dan analisis Dr. Suhana, S.Pi., M.Si., dosen dan peneliti bidang Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta. Untuk informasi lebih lanjut dan data visual terkait, kunjungi www.suhana.web.id.