Nelayan Indonesia di Persimpangan, Dr Suhana: Stabilitas Belum Tentu Sejahtera

  • Whatsapp
Dr Suhana, peneliti dan dosen ekonomi kelautan dan perikanan Universitas Muhammadiyah Jakarta (dok: Istimewa)

Pelakita.ID menganalisis dan mengutip penjelasan Dr. Suhana, S.Pi., M.Si – Dosen dan Peneliti Ekonomi Kelautan, Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta terkait kecenderungan ekonomi nelayan di Indonesia sesuai data BPS. Mari siimak 

PELAKITA.ID – Stabilitas ekonomi kerap dianggap sebagai tanda kesejahteraan. Namun bagi nelayan Indonesia, stabil belum tentu berarti aman.

Inilah pesan utama yang disampaikan oleh Dr. Suhana, peneliti ekonomi kelautan dari Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta, saat menganalisis tren kesejahteraan nelayan pada semester I tahun 2025.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dianalisis Dr. Suhana, Nilai Tukar Nelayan (NTN) selama Januari–Juni 2025 relatif stabil di atas ambang impas.

Pada bulan Juni, NTN tercatat sebesar 103,42. Ini berarti secara umum pendapatan nelayan masih mampu menutupi biaya produksi dan kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Namun, Suhana mengingatkan bahwa angka statistik tidak selalu mencerminkan ketangguhan ekonomi nelayan di lapangan. Stabilitas yang tidak ditopang oleh jaminan harga, perlindungan terhadap biaya operasional, serta akses pasar yang adil, pada dasarnya adalah stabilitas semu.

“Stabil bukan berarti aman. Apalagi jika biaya hidup naik, sementara harga jual hasil tangkapan tetap. Maka daya beli nelayan bisa runtuh kapan saja. Kita perlu kebijakan yang lebih responsif dan berpihak secara nyata,” ujarnya.

Untuk menjaga daya beli nelayan, Suhana menekankan pentingnya menjaga stabilitas harga bahan bakar minyak (BBM) dan pangan.

BBM merupakan komponen biaya terbesar dalam operasional melaut. Ketika harga solar melonjak, pendapatan nelayan bisa langsung tergerus. Begitu pula dengan harga kebutuhan pokok di wilayah pesisir yang kerap berfluktuasi tinggi.

Diversifikasi hasil perikanan juga menjadi kunci. Ketergantungan pada satu jenis komoditas membuat nelayan rentan terhadap fluktuasi pasar dan musim.

Dengan memperluas jenis tangkapan atau usaha budidaya, nelayan dapat memiliki lebih banyak opsi pendapatan.

Suhana juga menyoroti pentingnya hilirisasi produk laut yang melibatkan langsung nelayan.

Menurutnya, selama ini nelayan hanya berada di hulu produksi dan tidak mendapatkan nilai tambah dari rantai pasok.

Padahal, pengolahan sederhana seperti ikan asap, abon, atau olahan beku bisa meningkatkan pendapatan dan memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga.

“Kalau kita ingin nelayan sejahtera, mereka harus dilibatkan dalam proses hilirisasi. Bukan hanya menjual ikan mentah ke tengkulak, tapi juga memiliki akses ke pasar olahan yang nilainya lebih tinggi,” tegasnya.

Dalam telaah lebih lanjut, Suhana membandingkan kondisi nelayan laut dan nelayan perairan umum seperti danau, sungai, dan rawa.

Data BPS menunjukkan bahwa nelayan laut lebih diuntungkan. Hal ini tercermin dari indeks harga hasil laut yang terus naik dan mencapai 125,58 pada Juni 2025.

Sebaliknya, hasil perairan umum cenderung stagnan di angka 120,13.

Menurut Suhana, perbedaan ini muncul karena hasil laut memiliki akses pasar yang lebih luas, termasuk ekspor dan industri pengolahan, sementara produk dari perairan umum lebih terbatas jangkauannya.

Hal ini membuat nelayan perairan umum menjadi kelompok yang paling rentan tertinggal.

“Nelayan perairan umum sangat bergantung pada pasar lokal dan kebijakan daerah. Padahal mereka punya kontribusi besar dalam ketahanan pangan lokal. Intervensi khusus perlu diberikan agar mereka tidak terus tertinggal,” jelasnya.

Suhana menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan kelautan tidak bisa diukur hanya dari angka stabilitas atau pertumbuhan.

Yang lebih penting adalah keadilan distribusi manfaat. Jika hanya sebagian nelayan yang menikmati hasil, maka kita masih jauh dari cita-cita kesejahteraan yang inklusif.

“Bukan hanya soal NTN naik. Kita harus lihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang tertinggal. Kesejahteraan itu harus dirasakan di meja makan keluarga nelayan, bukan hanya tercatat di layar presentasi,” ungkapnya.

Indonesia saat ini berada di titik persimpangan. Ada potensi besar dari laut dan perairan darat yang belum dimanfaatkan secara optimal. Namun, jika kebijakan tidak segera diarahkan pada perlindungan daya beli, diversifikasi, dan hilirisasi yang inklusif, maka nelayan akan tetap berada dalam lingkaran ketidakpastian.

“Laut dan danau sudah memberi makan bangsa ini. Kini saatnya kebijakan memberi makan kembali nelayan. Tidak cukup stabil, kita butuh keadilan,” pungkas Suhana.


Artikel ini disusun berdasarkan analisis dan wawancara bersama Dr. Suhana, S.Pi., M.Si, dosen dan peneliti bidang ekonomi kelautan di Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta. Untuk publikasi visual dan data lengkap, kunjungi www.suhana.web.id.