PELAKITA.ID – Praktik pertambangan yang marak belakangan ini menunjukkan kecenderungan mengabaikan aspek ekologi.
Eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan keterkaitan erat antara daratan, sungai, dan lautan sebagai satu kesatuan ekosistem.
Akibatnya, kerusakan di satu wilayah—seperti hutan yang digunduli atau sungai yang tercemar—dampaknya menjalar hingga ke wilayah pesisir dan laut.
Pendekatan pembangunan yang menomorsatukan keuntungan ekonomi jangka pendek ini telah melupakan kenyataan bahwa alam memiliki sistem keseimbangan yang saling terhubung dan saling mempengaruhi.
Ironisnya, meski aturan sudah terlalu banyak, praktis menerabas hutan, area konservasi laut, hingga kawasan-kawasan cagar atau wilayah proteksi kelas dunia seperti Raja Ampat justeru semakin dirangsek masuk untuk ditambang.
Di sisi lain, ada juga praktik ambivalensi terkait peraturan dan bagaimana memberlakukannya secara adil dan mengayomi.
Contoh, di Pulau Wawonii, masyarakat bahkan memenangkan gugatan terhadap aktivitas tambang di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengacu pada Pasal 23 dan 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Dalam regulasi tersebut, disebutkan secara tegas bahwa pulau-pulau kecil tidak boleh dijadikan lokasi pertambangan.
Putusan MK ini seharusnya berlaku untuk semua pulau kecil di Indonesia, tanpa pengecualian. Jadi menjadi pertanyaan besar: mengapa masih ada perusahaan yang mendapatkan izin tambang di pulau kecil?
Kenapa bisa lolos? Ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam implementasi hukum yang seharusnya melindungi wilayah-wilayah rentan tersebut.
Degradasi relasi mutualistik
Menurut Jumardi Lanta, aktivis CSR dari The COMMIT Foundation, realitas hingga krisis ekologis itu mencerminkan kerapuhan hubungan spiritual manusia dengan alam. Konsep hablumin al-‘alam—hubungan harmonis antara manusia dan ciptaan Tuhan lainnya—semakin ditinggalkan.
”Alam tidak lagi dipandang sebagai entitas hidup yang harus dihormati dan dijaga, melainkan hanya sebagai objek eksploitasi. Ini realitas relasi kita dengan alam, tak lagi mutualistik,” nilainya.
Kata dia, ketika prinsip keseimbangan ini dilanggar, alam merespons melalui bencana, krisis air bersih, penurunan kualitas udara, hingga kerusakan mata pencaharian masyarakat lokal. Pada akhirnya, semua ini bermuara pada penurunan kualitas hidup manusia itu sendiri.
Pakar hukum lingkungan Universitas Andi Djemma Palopo, Dr Abdul Rahman Nur memandangnya dari sisi lain.
Dikatakan, investasi yang layak secara ekonomi seharusnya tidak hanya menguntungkan pihak pemodal, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat yang terdampak.
”Selain itu, investasi perlu diterima secara sosial, yang berarti masyarakat harus dilibatkan sejak awal melalui prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC),” ujarnya saat dihubungi Pelakita.ID, Kamis, 12 Juni 2025.
”Dari sisi lingkungan, investasi harus dikelola dengan ramah lingkungan melalui pengelolaan dan pengendalian teknis yang baik,” kata dia.
”Regulasi dan instrumen hukum juga harus mampu menyesuaikan diri dengan karakteristik wilayah tempat investasi dilakukan, karena setiap daerah memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda,” tambahnya.
Itu yang Rahman sebut pertambangan harus sesuai teks dan konteksnya.
Antara FPIC dan Konsistensi AMDAL
Terkait keniscayaan itu, menurut peneliti dan praktisi pengelolaan mangrove Indonesia dari Yayasan Blue Forest, Yusran Nurdin Massa, sangat niscaya dengan alasan saat ini tercatat ada 195 izin usaha pertambangan (IUP) yang berlokasi di pulau-pulau kecil di Indonesia.
”Padahal, jika merujuk secara konsisten pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 serta beberapa regulasi terkait lainnya, seharusnya izin-izin tersebut tidak pernah diterbitkan. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik ekologi yang rentan dan keterbatasan daya dukung, sehingga aktivitas pertambangan seharusnya dilarang sejak awal,” tegasnya.
Dengan demikian, lanjut Yusran, izin-izin tambang di pulau kecil seharusnya langsung dinyatakan gugur tanpa perlu melewati proses analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), konsultasi masyarakat melalui prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), atau tahapan teknis lainnya.
”Ketentuan hukumnya sudah cukup jelas: tambang tidak boleh dibuka di pulau-pulau kecil. Ketika izin tetap diterbitkan, maka itu mencerminkan ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum dan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” kunci Yusran.
Jumardi Lanta, menambahkan, agar apa yang selama ini menjadi titik lemah perizinan tambang pada aspek pengendalian dan pengawasan menjadi agenda bersama. Dia berharap Pemerintah bisa sungguh-sungguh dalam mengambil peran tanggung jawab saat telah memberi izin.
”Aspek pengendalian dan pengawasan ini yang perlu diperkuat,” sebutnya.
Muhammad Rizky Latjindung, Direktur Lembaga Maritim Nusantara merespon bahwa apa yang terjadi di Raja Ampat, di Pulau Gag mestinya menjadi cermatan seluruh pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi, LSM dan pemerhati pemberdayaan masyarakat.
”Kolaborasi pelaksanaan pemantauan, inspeksi bersama, mestinya menjadi langkah prioritas untuk memastikan dampak tambang itu, pada aspek sosial, ekonomi hingga dampak lingkungan, pada karang, pada mangrove hingga laut luas,” kata Rizky.
Koordinator FIK Ornop Sulsel, Syamsang Syamsir merespon positif sejumlah pemikiran dan langkah-langkah solutif yang dipaparkan dan di atas.
Dia menyebut, pengendalian dan pemantauan izin tambang menjadi niscaya, para pihak harus urunan untuk memeriksa dokumen pengusahaan tambang dan terus bergerak menyuarakan semangat perlawanan pada praktik pengusahaan tambang, di mana pun.
”Jika ada dugaan mal-administrasi, langkah-langkah hukum bisa dilakukan seperti menggugat PTUN lalu cabut izin,” ucapnya. Apa yang disampaikannya ini sangat beralasan dan menjanjikan sebab di Sulawesi Selatan, sudah ada catatan manis gerakan advokasi tambang dengan adanya kisa sukses Walhi yang menang dengan mencabut izin pabrik semen di Kabupaten Barru.
Bagaimana dengan Raja Ampat?
Note Taker: Denun