Kolom Andi Adri Arief | Dekonstruksi Pemberdayaan Menuju Ekonomi Biru yang Inklusif

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

Merebut Kembali Laut Kita: Dekonstruksi Pemberdayaan Menuju Ekonomi Biru yang Inklusif ditulis oleh Prof. Dr. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si, Guru Besar Ilmu Sosiologi Perikanan, Universitas Hasanuddin

PELAKITA.ID – Ekonomi biru telah menjadi mantra pembangunan yang sering diulang dalam berbagai forum nasional maupun internasional.

Label “berkelanjutan” dan “inklusif” seakan menjanjikan masa depan cerah bagi masyarakat pesisir. Namun, jika ditelaah dari perspektif sosiologi kritis, narasi ini masih menyimpan persoalan mendasar.

Implementasinya terjebak dalam pendekatan teknokratis dan cenderung top-down, menjauh dari akar ketimpangan struktural yang selama ini meminggirkan komunitas pesisir. Alih-alih membebaskan, ekonomi biru bisa saja menjadi instrumen baru dari relasi kuasa lama.

Pemerintah menampilkan data makro yang menggembirakan: pertumbuhan sektor kelautan, berbagai program pemberdayaan, hingga penurunan angka kemiskinan. Namun, di balik statistik itu, kehidupan nyata nelayan kecil dan pembudidaya tradisional tetap dihantui ketidakpastian.

Pendapatan mereka berfluktuasi, akses terhadap sumber daya terbatas, dan posisi tawar di pasar sangat lemah. Ketergantungan terhadap tengkulak terus berlangsung. Ironisnya, proyek pembangunan yang mengusung jargon “berkelanjutan” seringkali justru mengorbankan ruang hidup mereka. Terjadi jurang antara ruang kebijakan dan ruang kehidupan.

Alienasi Rakyat dalam Praktik Pembangunan

Dalam pandangan sosiologi kritis, ini merupakan bentuk alienasi—ketika pembangunan tidak lagi berpihak pada kebutuhan dan aspirasi rakyat, melainkan sekadar mengikuti logika program dan target institusional.

Realitas ini menuntut dekonstruksi atas cara kita memahami pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pesisir.

Kemiskinan di wilayah pesisir bukan sekadar persoalan ketidaktahuan atau kurangnya keterampilan, melainkan cerminan dari masalah struktural yang dalam.

Lebih dari 90% nelayan Indonesia adalah nelayan kecil yang bergantung pada alat tangkap sederhana dan akses pasar yang terbatas. Dalam budidaya pun, sistem tradisional masih dominan. Sementara itu, hanya sebagian kecil pelaku bermodal besar yang mampu meraup keuntungan signifikan.

Margin keuntungan nelayan kecil sangat kecil—kadang tak sampai sepuluh persen dari harga pasar.

Lebih dari 16 juta orang hidup dalam kemiskinan di sekitar 10.000 desa pesisir. Kerusakan ekosistem laut seperti terumbu karang, mangrove, dan berkurangnya stok ikan memperparah situasi ini.

Selama ini, program pemberdayaan masih didominasi pendekatan seragam. Pelatihan, bantuan alat, dan akses modal cenderung disalurkan secara top-down, mengabaikan konteks sosial dan kultural masyarakat lokal.

Komunitas pesisir sering diposisikan sebagai objek yang pasif, bukan sebagai subjek yang punya pengetahuan dan pengalaman yang sah. Ini bukan sekadar masalah pendekatan teknis, melainkan kegagalan dalam memahami dan menghargai realitas sosial masyarakat yang hendak diberdayakan.

Perlu perubahan cara pandang

Dalam kerangka pemberdayaan yang lebih transformatif, penting untuk mengubah cara pandang terhadap komunitas pesisir. Mereka bukanlah sekadar penerima bantuan, tetapi sistem sosial yang hidup—terdiri dari relasi antara sumber daya, organisasi lokal, dan nilai-nilai budaya.

Proses pemberdayaan perlu mengakui keberadaan dan kapasitas ini, melibatkan masyarakat secara nyata dalam semua tahapan pembangunan, dan meningkatkan kemampuan kolektif mereka agar dapat mandiri dalam mengelola sumber daya dan ekonomi lokal.

Penting pula mengedepankan prinsip co-production, yaitu menjadikan masyarakat sebagai mitra sejajar dalam merancang dan menjalankan solusi pembangunan.

Mereka adalah produsen solusi, bukan sekadar penerima manfaat. Melalui pendekatan ini, pemberdayaan dapat menjadi proses penguatan kapasitas, bukan hanya transfer teknologi atau modal.

Dalam konteks ini, peran masyarakat pesisir perlu didekati secara lebih dinamis. Mereka adalah pelaku usaha perikanan yang membutuhkan akses modal, teknologi, dan pasar.

Mereka juga adalah manajer yang mengatur usaha secara kolektif, wirausaha agribisnis yang cakap membaca peluang dan menjalin jejaring, pengurus tata produksi yang memperkuat kelembagaan lokal, serta produsen pengetahuan lokal yang menjadi sumber inovasi berbasis pengalaman dan budaya.

Menguatkan peran-peran ini tidak cukup dengan pelatihan teknis, tapi memerlukan transformasi yang menyeluruh: kebijakan yang berpihak, dukungan kelembagaan, dan sistem pembelajaran yang berkelanjutan.

Untuk merumuskan strategi pemberdayaan yang utuh dan adil, kita dapat belajar dari tiga pendekatan teoretik utama.

Pendekatan liberal menekankan pada kapasitas individu dan mekanisme pasar, namun sering abai terhadap struktur ketimpangan. Pendekatan marxis mengingatkan pentingnya melihat relasi kuasa dan mendesak adanya redistribusi sumber daya. Sementara itu, pendekatan poststruktural menyoroti pentingnya menggugat narasi dominan dan mengakui pluralitas pengetahuan.

Gabungan pendekatan

Gabungan dari ketiga pendekatan ini memungkinkan terbentuknya strategi pemberdayaan yang tidak hanya efektif secara ekonomi, tapi juga adil secara sosial dan kontekstual secara budaya.

Pendekatan ini menghargai keberagaman, mendorong keadilan struktural, dan memulihkan kontrol komunitas atas masa depan mereka sendiri.

Pada akhirnya, ekonomi biru yang sejati bukanlah sekadar proyek peningkatan Produk Domestik Bruto atau modernisasi industri kelautan.

Ia adalah agenda sosial-politik yang menuntut perubahan dalam relasi kuasa pengelolaan sumber daya laut, dan menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam pembangunan. Ini menuntut rekonstruksi institusi pembangunan agar lebih demokratis, serta pengakuan terhadap pengetahuan lokal sebagai bagian sah dari ilmu pembangunan.

Pemberdayaan masyarakat pesisir sebagai bagian dari agenda Ekonomi Biru harus dibaca sebagai bagian dari politik pengetahuan. Kita perlu bertanya: siapa yang bicara, siapa yang diakui, dan siapa yang disenyapkan dalam narasi pembangunan?

Dekonsktruksi yang dimaksudkan secara spesifik meliputi  upaya mengkritisi asumsi-asumsi dasar dalam desain pemberdayaan. Membongkar logika tersembunyi dalam model pemberdayaan konvensional yang sering bersifat teknokratik dan meragukan kapasitas masyarakat lokal.

Kedua, mereposisi masyarakat sebagai aktor utama, bukan penerima manfaat pasif. Mengembalikan peran masyarakat
sebagai aktor utama yang memiliki pengetahuan dan agensi, bukan sekadar penerima manfaat.

Ketiga, mendorong transformasi struktural, bukan hanya perbaikan teknis. Melampaui solusi teknis dengan menantang ketimpangan struktural seperti akses sumber daya dan relasi kuasa yang timpang.

Keempat, membangun pemberdayaan yang partisipatif, kontekstual, dan berkeadilan. Menghindari pendekatan
seragam dengan merancang pemberdayaan yang partisipatif, berbasis konteks lokal, dan responsif terhadap keragaman sosial.

***

Pembaca sekalian, tanpa dimensi sosial dan etis, ekonomi biru akan menjadi wajah baru dari ketimpangan lama—biru dalam retorika, tapi tetap abu-abu dalam praktik keadilan.

Menuju tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan, kita tidak cukup hanya membenahi aspek ekologis. Kita harus sekaligus memastikan keadilan sosial. Dunia kelautan yang produktif namun tidak manusiawi adalah sebuah paradoks.

Maka, yang dibutuhkan bukan hanya kapal modern atau peningkatan ekspor rumput laut, tetapi transformasi mendasar dalam struktur kekuasaan dan ruang partisipasi.

Hanya dengan itu, ekonomi biru bisa menjadi jalan bukan hanya untuk keberlanjutan ekologis, tetapi juga keadilan dan kemanusiaan yang sejati.

Editor: Denun