PELAKITA.ID – Perubahan iklim bukan lagi sekadar wacana global yang abstrak. Di sekitar kita, dampaknya sudah nyata: suhu malam kian hangat, hujan datang tak menentu, dan laut perlahan menelan daratan. Bagi masyarakat pesisir, ini bukan hanya kabar buruk—tapi peringatan dini.
Demikin pengantar Ayi Sudrajat, Kepala Staisun Klimatologi BMKG Sulsel menjadi pembicara pada Lokakarya Weathering With You yang digelar di Pulau Barrang Lompo, Makassar, atas dukungan NUS Sinfapura, Pusat Studi Perubahan Iklim Unhas, BMKG Sulsel dan Pemerintah Kelurahan Barrang Lompo, Sabtu, 31 Mei 2025.
“Iklim memang berubah, tapi kita masih punya waktu. Yang dibutuhkan bukan kepanikan, tapi kesadaran dan aksi nyata dari masyarakat,” ujar Ayi.

Prakiraan Cuaca Bukan Soal Firasat
Ayi meluruskan kesalahpahaman yang masih sering muncul di masyarakat: bahwa prakiraan cuaca adalah ramalan, bukan ilmu. “Kami tidak menebak. Kami menganalisis. Prakiraan BMKG didasarkan pada data, citra satelit, dan model ilmiah. Ini bisa dipelajari siapa saja,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa perubahan iklim bukan hanya soal pohon yang ditebang, tapi juga soal cara hidup kita sehari-hari. Konsumsi berlebih, limbah rumah tangga, dan ketergantungan pada energi fosil menjadi bagian dari penyebab krisis ini.
Menurut Ayi, BMKG dan lembaga meteorologi dunia mencatat bahwa suhu rata-rata global telah naik sekitar 1,45°C. Di Indonesia, lonjakan suhu terasa hingga malam hari. “Kalau dulu pagi dingin, sekarang tengah malam pun masih gerah,” kata Ayi.
Tak hanya suhu, permukaan laut pun terus naik. “Di Sumatera Utara, Pulau Kuda sudah tenggelam. Ini bukan teori, ini kenyataan,” lanjutnya. Di Sulawesi Selatan, meski kenaikannya ‘hanya’ 0,03°C per tahun, dampaknya tetap besar. Ketidakteraturan curah hujan menyebabkan banjir dan kekeringan silih berganti.
“Kita butuh lebih banyak stasiun pengamatan di pulau-pulau kecil. Tanpa data, kita ibarat berjalan dalam gelap,” tegas Ayi.
Dalam menghadapi perubahan iklim, Ayi menekankan pentingnya mitigasi (mengurangi dampak) dan adaptasi (menyesuaikan diri).
Tapi, katanya, mitigasi juga harus dilakukan dengan cermat. Ia mencontohkan kasus di Australia yang memusnahkan ribuan sapi karena dianggap penghasil gas metana—padahal keputusan itu kemudian dinilai keliru dan berdampak negatif pada sektor lain.
“Langkah besar harus disertai pemahaman yang benar. Jangan sampai salah arah,” ujarnya.
Ketika Alam Tak Lagi Memberi Petunjuk
Salah satu hal paling menyedihkan menurut Ayi adalah hilangnya tanda-tanda alam yang dulunya menjadi penunjuk musim. “Dulu, di Ciwidey, suara tongeret jadi pertanda musim kemarau. Sekarang, suara itu nyaris hilang,” katanya.
Pengetahuan lokal seperti Palotara di Sulsel dan Pranoto Mongso di Jawa perlahan kehilangan relevansi. Alam berubah terlalu cepat. Kini, BMKG menggantikannya dengan teknologi seperti radar, sensor cuaca, dan citra satelit.
“Kalau dulu lihat bintang, sekarang lihat data satelit,” ujarnya dengan senyum kecil.
Menurut Ayi, banjir bukan semata-mata akibat hujan deras, tapi karena air kehilangan ‘rumahnya’. “Air itu tidak hilang, dia cuma mencari tempat tinggal. Kalau rawa, pohon, dan tanah resapan dihilangkan, air akan datang ke rumah kita,” ungkapnya.
Solusinya tidak selalu rumit. Menanam pohon seperti kelapa dan pisang, menjaga saluran air, dan tidak membangun di atas aliran sungai bisa menjadi bentuk mitigasi yang efektif. Sayangnya, ia mengkritik pengembang dan pembuat kebijakan yang sering mengabaikan aspek ini.
“Jangan salahkan hujan. Yang harus kita perbaiki adalah cara kita memperlakukan ruang hidup air,” pungkasnya.
Mulai dari Diri Sendiri
BMKG mendorong masyarakat untuk terlibat aktif melalui program seperti Desa Tangguh Iklim, Kampung Iklim, atau inisiatif lokal lain. “Perubahan besar dimulai dari langkah kecil: bersihkan selokan, tanam pohon, kurangi sampah plastik,” ajak Ayi.
Sebagai penutup, ia menyampaikan pesan yang kuat:
“Cuaca bisa diprediksi, tapi masa depan iklim bergantung pada pilihan kita hari ini.”
Penulis Kamaruddin Azis