Mengenal BMKG Sulsel Bersama Ayi Sudrajat, Menjaga Cuaca dan Iklim untuk Kehidupan Kita

  • Whatsapp
Ayi Sudrajat (dok: Weathering with You)

PELAKITA.ID – Di Sulawesi Selatan, pelayanan informasi cuaca dan iklim sudah semakin lengkap dan modern. Tiga bandara utama di wilayah ini—Bandara Sendin, Bandara Toraja, dan Bandara Masamba—dilengkapi dengan layanan BMKG khusus meteorologi penerbangan.

Demikian penjelasan Ayi Sudrajat, Kepala Statisun Klimatologi BMKG Sulawesi Selatan, saat menjadi narasumber pada Workshop Weathering with You, di Pulau Barrang Lompo yang digelar oleh Pusat Studi Perubahan Iklim Unhas, BMKG Sulsel dan Pemerintah Kelurahan Barrang Lompo atas dukungan NUS Singapure, Sabtu, 31 Mei 2025.

Ayi melanjutkan. “Jadi, setiap harinya, pengamatan cuaca di tiga lokasi ini berjalan aktif demi menjamin keselamatan penerbangan dan aktivitas masyarakat,” tambah Ayi.

Selain itu, BMKG Sulsel juga mengoperasikan layanan meteorologi maritim yang sangat penting bagi wilayah kepulauan, terutama bagi nelayan dan pelayaran tradisional.

“Dari pos pengamatan yang berlokasi di Paotere, Makassar, informasi cuaca laut dan kondisi gelombang terus dipantau dan disebarkan lewat media sosial serta grup WhatsApp, sehingga masyarakat selalu mendapatkan kabar terbaru tentang situasi laut. Contohnya, hari ini kondisi gelombang laut di Sulsel dilaporkan tenang, bahkan tidak masuk kategori gelombang rendah,” kata Ayi

“Informasi ini tentu sudah terpantau dan disampaikan BMKG sebelumnya, jadi masyarakat bisa beraktivitas dengan rasa aman,” sebut Ayi, yang mengaku baru bertugas di Sulsel sejak setahun terakhir.

Tak hanya soal cuaca harian, BMKG Sulsel juga punya stasiun klimatologi yang bertugas mengamati iklim sepanjang waktu untuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan, termasuk pulau-pulau kecil seperti Pulau Lumulumu. Peran klimatologi jauh lebih luas dari sekadar memprediksi bencana.

“Data iklim membantu kita memahami pola kesehatan masyarakat, pembangunan infrastruktur, hingga budaya dan gaya hidup yang tumbuh sesuai kondisi alam,” imbuh Ayi.

“Misalnya, bentuk rumah di daerah pegunungan yang dingin tentu berbeda dengan rumah di pesisir yang panas dan lembap. Pakaian yang dikenakan masyarakat pun mengikuti iklim setempat. Iklim, pada akhirnya, membentuk identitas budaya sekaligus keseharian kita,” jelasnya.

Perubahan Iklim

Ayi menjelaskan, saat ini, dunia menghadapi tantangan besar bernama perubahan iklim. Banyak yang merasa bahwa cuaca sudah tidak seperti dulu lagi, tapi bagaimana kita tahu pasti tanpa data?

“Nah, tugas BMKG adalah mengamati, mencatat, dan menyediakan data tersebut secara akurat. Layaknya catatan pertumbuhan seorang anak yang membuktikan perubahan, data BMKG memberikan bukti nyata tentang perubahan cuaca dan iklim,” sebutnya.

“BMKG memantau cuaca setiap jam, setiap hari, bahkan saat hari libur. Kami hanya berhenti jika matahari tak lagi terbit, karena cuaca sangat bergantung pada energi matahari,” jelasnya.

Dia menambahkan, meteorologi memprediksi cuaca jangka pendek seperti cerah hari ini atau hujan besok, sementara klimatologi mengolah data jangka panjang untuk memahami pola musim hujan, kemarau, dan fenomena global seperti El Niño dan La Niña. Keduanya saling terkait, layaknya pertanyaan klasik “ayam atau telur, mana yang lebih dulu?”

Keberadaan layanan meteorologi, klimatologi, dan geofisika di Sulsel membuat provinsi ini cukup istimewa. “Dulu saya bertugas di Riau, di sana belum ada layanan geofisika. Jadi kita patut bersyukur Sulsel sudah memiliki fasilitas lengkap ini,” kata Ayi.

Ia juga menekankan pentingnya layanan meteorologi penerbangan dan maritim untuk mendukung keselamatan serta perencanaan berbagai sektor, khususnya di daerah rawan seperti Pulau Lumulumu.

Mengenai perubahan iklim, Ayi menjelaskan bahwa penyebab utama adalah peningkatan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), yang juga dihasilkan oleh aktivitas manusia, termasuk saat berbicara sekalipun. “Semakin banyak orang, semakin besar karbon dioksida yang dilepaskan. Itu sebabnya di ruangan tertutup dan padat, kita sering merasa sesak bukan hanya karena kekurangan oksigen, tapi juga karena kadar CO2 yang tinggi.”

“Faktor lain yang mempercepat perubahan iklim adalah polusi udara, perubahan tata guna lahan, dan pengelolaan lingkungan yang kurang baik. Kalau masyarakat terus membuang sampah sembarangan, merusak hutan tanpa pertimbangan, bencana iklim akan semakin cepat datang,” ujarnya.

Ayi sempat bercanda mengingat ramalan kiamat dari seorang paranormal yang ternyata tidak terjadi. “BMKG juga ‘meramal’, tapi kami menggunakan ilmu dan teknologi, bukan cara mistis seperti peramal di televisi.

“Oleh karena itu, istilah ‘ramalan cuaca’ kami ganti menjadi ‘prakiraan cuaca’ untuk menegaskan metode ilmiah kami. Dengan segala data dan teknologi yang dimiliki, BMKG Sulsel siap mendukung masyarakat dan pemerintah dalam mengambil keputusan yang tepat demi keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup,” kuncinya.

Penulis Kamaruddin Azis