Manusia Silver dan Jalanan yang Makin Mempertontonkan Duka

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Di persimpangan jalan kota yang riuh dan tergesa, berdirilah sosok-sosok berbalut cat perak. Tubuh mereka menggigil dalam diam, namun sorot matanya berkata banyak.

Mereka adalah manusia silver—seniman jalanan, pengemis urban, atau potret getir dari sistem sosial yang gagal? Setiap hari, tubuh mereka menjadi kanvas kesedihan. Wajah nyaris tak terlihat karena lelehan cat, namun merekalah cermin dari wajah negeri yang gamang mencari keadilan.

Fenomena manusia silver bukan sekadar tontonan jalanan. Ia adalah tanda zaman. Jeritan sunyi dari masyarakat yang terpinggirkan.

Dalam debu dan asap kendaraan, mereka berdiri tegak, menggenggam kaleng plastik, berharap belas kasih dari balik kaca jendela mobil yang tertutup rapat.

Dari Mana Mereka Datang?

Fenomena ini mulai mencuat sejak pertengahan dekade 2010-an dan memuncak pascapandemi COVID-19.

Saat banyak perusahaan merumahkan karyawan, pekerja informal kehilangan pendapatan, dan negara belum cukup hadir, jalanan menjadi panggung baru untuk bertahan hidup. Dari Jakarta, fenomena ini menjalar ke kota-kota besar lain, termasuk Makassar.

Kini, bahkan anak-anak turut terlibat. Remaja, balita, ikut tampil dalam drama luka ini. Mereka bukan sekadar mencari uang, tetapi sedang mempertontonkan bagaimana sistem sosial kita mulai kehilangan empati.

Mengapa memilih cat perak? Karena warna itu mencolok. Karena dengan membeku dalam diam, mereka berharap bisa “menjual” perhatian.

Seolah berkata: “Kami tak punya kata, tapi tubuh ini bicara.”

Potret Kemiskinan dan Ketimpangan

Manusia silver bukan sekadar gejala estetika jalanan. Mereka adalah cermin retaknya realitas sosial. Di balik kilauan cat perak, tersembunyi luka kemiskinan struktural.

Mereka adalah bayang-bayang dari sulitnya mengakses pendidikan, sempitnya lapangan kerja, dan urbanisasi yang tak terkendali. Di kota, harapan kadang tumbuh dari debu—dan sayangnya, juga dari ilusi.

Ketika negara tak mampu menyediakan pekerjaan yang layak, dan kesenjangan ekonomi kian melebar, maka jalanan menjadi pasar alternatif.

Selama masyarakat terus memberi uang di lampu merah, negara hanya menertibkan tanpa solusi, dan politik hanya bicara pembangunan tanpa mendengar jeritan akar rumput—manusia silver akan terus bermunculan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem sosial kita belum menyentuh akar keadilan distributif. Di satu sisi, segelintir elite menguasai sumber daya; di sisi lain, rakyat kecil mempertaruhkan tubuh di bawah terik matahari demi recehan.

Jika Jalanan Jadi Kantor Terakhir

Fenomena ini bukan sekadar soal kemiskinan. Ini juga soal arah pembangunan. Ketika jalanan menjadi sumber penghidupan, artinya sektor informal telah menjadi ruang ekonomi terakhir bagi sebagian warga.

Namun, ruang itu rapuh, tak aman, dan tak manusiawi. Tanpa intervensi sosial dan kebijakan publik yang berpihak, jumlah manusia silver akan terus bertambah, dan jalanan akan penuh dengan kesedihan yang dicat perak.

Solusi: Dari Negara, Masyarakat, dan Nurani

Solusi tak bisa sekadar kosmetik. Penertiban semata justru melukai martabat mereka. Harus ada pendekatan yang menyeluruh—sosial, ekonomi, politik, dan spiritual:

Solusi Sosial: Pemerintah daerah perlu membangun pusat rehabilitasi sosial dan pelatihan kerja bagi para manusia silver dan peminta-minta jalanan. Pendekatan harus humanis, bukan represif.

Pendataan harus valid untuk intervensi yang tepat sasaran.

Solusi Ekonomi: Diperlukan penyediaan lapangan kerja berbasis kearifan lokal, pelatihan keterampilan, serta dukungan nyata untuk UMKM yang bisa diakses oleh warga marjinal.

Anggaran sosial harus untuk manusia, bukan sekadar proyek.

Solusi Politik: Kebijakan publik harus berpihak pada rakyat kecil. Paradigma pembangunan harus direvisi—tak cukup membangun infrastruktur fisik tanpa membangun manusia.

Pemimpin harus turun ke jalan, bukan hanya saat kampanye, tapi untuk mendengar denyut derita rakyat.

Solusi Agama: Dalam pandangan Islam dan agama-agama lain, manusia adalah makhluk yang mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”

Tapi bagaimana mereka bisa mengangkat tangan jika pundaknya penuh luka? Ulama dan tokoh agama perlu hadir dalam pendidikan kesadaran—baik kepada para manusia silver agar tak mengeksploitasi tubuhnya, maupun kepada masyarakat agar memberi secara bijak, bukan sekadar iba.

Menutup Luka dengan Cinta dan Kebijakan yang Adil

Jangan biarkan kota-kota kita menjadi panggung luka tanpa suara. Jangan biarkan tubuh mungil ditutupi cat demi sesuap nasi.

Negeri ini punya cukup sumber daya untuk mengangkat mereka dari debu—asal kita mau berbagi, bukan sekadar memberi. Asal kita mau membangun manusia, bukan hanya menertibkan jalanan.

Jalanan tak boleh menjadi kantor terakhir. Tubuh tak boleh menjadi alat pertunjukan derita. Kita butuh kebijakan yang adil, masyarakat yang sadar, dan nurani yang tak buta.

Dan kepada para manusia silver itu, izinkan kami berjanji: suatu hari, tubuhmu tak perlu lagi dicat agar terlihat. Karena negeri ini akhirnya benar-benar melihatmu.

___
Penulis Muliadi Saleh

Editor: Denun